Simak Asal-Usul Bendera Negara Sang Merah Putih
01 August 2022 |
17:46 WIB
Merah dan Putih yang menjadi warna Bendera Negara Indonesia ternyata memiliki sejarah panjang yang bahkan melampaui peristiwa kemerdekaan. Dilatarbelakangi oleh izin kemerdekaan dari Jepang pada 7 September 1944, saat itu Jepang berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada para pejuang untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Dilansir dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), badan yang membantu pemerintah pendudukan Jepang—Chuo Sangi-In, yang terdiri dari orang Jepang dan Indonesia—segera menindaklanjuti izin tersebut dengan mengadakan sidang tidak resmi.
Di samping membahas persiapan kemerdekaan, pembahasan yang berlangsung pada 12 September 1944 itu dipimpin oleh Soekarno itu juga membahas soal pengaturan pemakaian bendera dan lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia.
Baca juga: Mau Pasang Bendera Merah Putih? Yuk Simak Aturannya
Hasil sidang tersebut adalah pembentukan panitia bendera kebangsaan merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Adapun, panitia bendera kebangsaan merah putih menggunakan warna merah dan warna putih sebagai simbol berani dan suci.
Selain memiliki arti berani dan suci, penggunaan kombinasi merah dan putih untuk warna bendera yang akan dipakai di seluruh Indonesia itu juga telah menjadi bagian dalam sejarah dan kebudayaan tradisi Indonesia pada masa lampau. Contohnya Kerajaan Majapahit yang menggunakan kombinasi warna merah dan putih pada desain sembilan garis benderanya.
Setelah warna merah dan putih ditetapkan sebagai warna bendera yang akan dipakai sama di seluruh Indonesia, Fatmawati yang merupakan istri Soekarno menjahit bendera yang nantinya akan dikibarkan pada 17 Agustus 1945.
Bendera yang kemudian menjadi Bendera Sang Saka Merah Putih tersebut dibuat dari kain katun halus. Chaerul Basri adalah orang yang mengambil kain tersebut dari gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta, untuk diantarkan ke Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta atas permintaan Soekarno kepada Shimizu, kepala barisan propaganda Jepang (Sedenbu).
Bendera ini pun berkibar bersamaan dengan roklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, oleh pengibar bender Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo.
Setelah dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan, bendera dengan ukuran panjang 300 cm dan lebar 200 cm itu pun dibawa dan dikibarkan di Gedung Agung, Yogyakarta pada 4 Januari 1946 seturut perpindahan Presiden dan Wakil Presiden ke Yogyakarta karena keamanan keduanya tidak terjamin di Jakarta.
Presiden Soekarno sempat menyelamatkan bendera tersebut saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 194. Saat itu, sang presiden mempercayakan bendera ke sang ajudan yang bernama Husein Mutahar.
Husein pun mengungsi dengan membawa bendera tersebut. Sang ajudan membawanya dalam 2 tas terpisah setelah melepaskan benang jahitan Bendera Sang Saka Merah Putih sehingga bagian merah dan putih terpisah demi keamanan dari penyitaan Belanda.
Presiden Soekarno meminta kembali bendera pusaka kepada Husein saat berada di pengasingan, di Bangka pada pertengahan Juni 1949. Husein pun menjahit dan menyatukan kembali bendera pusaka dengan mengikuti lubangnya satu demi satu.
Husein menyamarkan bendera pusaka dengan membungkusnya menggunakan kertas koran, dan menyerahkannya ke Soejono untuk dikembalikan ke Presiden Soekarno. Bendera itu pun kemudian berkibar kembali di halaman depan Gedung Agung pada 17 Agustus 1949.
Sang Saka Merah Putih disimpan di dalam sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belandai di Den Haag.
Bendera Pusaka masih dikibarkan pada era Presiden Soeharto sampai dengan 17 Agustus 1968. Sejak saat itu, Sang Saka Merah Putih tidak lagi dikibarkan karena kondisinya yang sudang sangat rapuh hingga digantikan dengan duplikatnya.
Editor: Nirmala Aninda
Dilansir dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), badan yang membantu pemerintah pendudukan Jepang—Chuo Sangi-In, yang terdiri dari orang Jepang dan Indonesia—segera menindaklanjuti izin tersebut dengan mengadakan sidang tidak resmi.
Di samping membahas persiapan kemerdekaan, pembahasan yang berlangsung pada 12 September 1944 itu dipimpin oleh Soekarno itu juga membahas soal pengaturan pemakaian bendera dan lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia.
Baca juga: Mau Pasang Bendera Merah Putih? Yuk Simak Aturannya
Hasil sidang tersebut adalah pembentukan panitia bendera kebangsaan merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Adapun, panitia bendera kebangsaan merah putih menggunakan warna merah dan warna putih sebagai simbol berani dan suci.
Selain memiliki arti berani dan suci, penggunaan kombinasi merah dan putih untuk warna bendera yang akan dipakai di seluruh Indonesia itu juga telah menjadi bagian dalam sejarah dan kebudayaan tradisi Indonesia pada masa lampau. Contohnya Kerajaan Majapahit yang menggunakan kombinasi warna merah dan putih pada desain sembilan garis benderanya.
Setelah warna merah dan putih ditetapkan sebagai warna bendera yang akan dipakai sama di seluruh Indonesia, Fatmawati yang merupakan istri Soekarno menjahit bendera yang nantinya akan dikibarkan pada 17 Agustus 1945.
Bendera yang kemudian menjadi Bendera Sang Saka Merah Putih tersebut dibuat dari kain katun halus. Chaerul Basri adalah orang yang mengambil kain tersebut dari gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta, untuk diantarkan ke Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta atas permintaan Soekarno kepada Shimizu, kepala barisan propaganda Jepang (Sedenbu).
Bendera ini pun berkibar bersamaan dengan roklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, oleh pengibar bender Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo.
Pengibaran bendera Merah Putih di Jakarta, 17 Agustus 1945. (Sumber gambar: Kemdikbudristek)
Setelah dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan, bendera dengan ukuran panjang 300 cm dan lebar 200 cm itu pun dibawa dan dikibarkan di Gedung Agung, Yogyakarta pada 4 Januari 1946 seturut perpindahan Presiden dan Wakil Presiden ke Yogyakarta karena keamanan keduanya tidak terjamin di Jakarta.
Presiden Soekarno sempat menyelamatkan bendera tersebut saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 194. Saat itu, sang presiden mempercayakan bendera ke sang ajudan yang bernama Husein Mutahar.
Husein pun mengungsi dengan membawa bendera tersebut. Sang ajudan membawanya dalam 2 tas terpisah setelah melepaskan benang jahitan Bendera Sang Saka Merah Putih sehingga bagian merah dan putih terpisah demi keamanan dari penyitaan Belanda.
Presiden Soekarno meminta kembali bendera pusaka kepada Husein saat berada di pengasingan, di Bangka pada pertengahan Juni 1949. Husein pun menjahit dan menyatukan kembali bendera pusaka dengan mengikuti lubangnya satu demi satu.
Husein menyamarkan bendera pusaka dengan membungkusnya menggunakan kertas koran, dan menyerahkannya ke Soejono untuk dikembalikan ke Presiden Soekarno. Bendera itu pun kemudian berkibar kembali di halaman depan Gedung Agung pada 17 Agustus 1949.
Sang Saka Merah Putih disimpan di dalam sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belandai di Den Haag.
Bendera Pusaka masih dikibarkan pada era Presiden Soeharto sampai dengan 17 Agustus 1968. Sejak saat itu, Sang Saka Merah Putih tidak lagi dikibarkan karena kondisinya yang sudang sangat rapuh hingga digantikan dengan duplikatnya.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.