Mengintip Keunikan Desain Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon
13 July 2022 |
17:36 WIB
Kota Cirebon, Jawa Barat merupakan salah satu kota yang memiliki warisan peradaban tertua di Tanah Air. Semua berawal dari abad ke-15, ketika Cirebon menjadi salah satu pintu perdagangan internasional di Pulau Jawa dan terjadi akulturasi budaya mulai dari Eropa, China, Jawa, dan Hindu.
Ciri khas dari percampuran budaya ini dapat dilihat pada bentuk arsitektur pada keraton Kasepuhan. Keraton yang dibangun pada 1529, mendapatkan pengaruh kental Hindu-Jawa di seluruh bangunannya. Dimulai dari bangunan siti hinggil yang merupakan bangunan terbuka denga lima buah bangunan panggung tanpa dinding, dan beratap joglo dari bahan sirap, kerap kali disebut sebagai candi Bentar.
Tembok yang mengelilingi keraton Kasepuhan mirip dengan bangunan candi Hindu yang biasa ditemukan di daerah Jawa Timur dan Bali. Bahan pembuat pagar terdiri dari batu bata merah tanpa diplester.
Baca juga: Keraton Jadi Inspirasi Angga Dwimas Sasongko Menggarap Film Mencuri Raden Saleh
Beranjak ke bagian dalam keraton, Anda dapat melihat pengaruh China dan Eropa dapat dilihat di sepanjang dinding bangsal Prabayasa yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan Raja dan para menteri. Bangsal ini terletak di belakang komplek Siti Hinggil.
Sepanjang dinding bangunan menempel porselen berukuran standar dengan dominasi warna biru dan merah kecokelatan. Hiasan porselin tidak hanya ditempelkan di dinding, tetapi juga menutup lantai bangsal Prabayasa.
Pengaruh Eropa dapat disaksikan pada tiang penyangga bangunan yang biasa disebut dorik. Tiang bergaya Yunani tersebut menyangga beberapa bangunan, salah satunya adalah pendopo Pancaniti dan Pancaratna yagn terletak di sisi timur dan barat keraton.
Meskipun tiang bergaya Yunani, tetapi digunakan untuk menyangga konstruksi atap dari kayu bergaya Joglo khas arsitektur Jawa. Arsitektur bergaya Eropa dapat ditemukan pada model ambang pintu yang berbentuk setengah lingkaran di bangunan Lawang Sanga.
Masing-masing dari ketiga sisinya memiliki tiga lengkungan yang berangkai. Bangunan tersebut letaknya di luar kompleks keraton, bercampur dengan rumah-rumah penduduk.
Baca juga: Sajian Sedap Ayam Keraton, Intip Resepnya Yuk
Pengaruh Eropa yang sangat kuat juga terdapat di bangsal Pringgodani, di mana benttuk pintu dan jendela berukuran lebar dan tinggi, dilengkapi dengan penggunaan jalusi yang berfungsi sebagai ventilasi udara.
Pada bagian atas pintu terdapat bovenlicht sebagai tempat masuknya cahaya dan udara masuk. Bovenlicht berupa kaca dengan ukiran bermotif flora dan fauna. Objek utamanya berupa motif bunga yang memiliki sulur-sulur dengan ornamen pendukung berbentuk hewan berukuran kecil.
Gaya sulur-suluran tersebut mengingatkan pada gaya Art Nouveau yang berkembang di Eropa pada abad ke-18. Selain pengaruh arsitektur dari China dan Eropa, gaya arsitektur Jawa dapat dilihat di bangunan Langgar Agung, Pagilaran, dan bangsal Pangada.
Langgar Agung yang merupakan tempat beribadah raja sebelum menunaikan upacara Maulid Nabi, memiliki bentuk seperti rumah limasan. Seperti layaknya rumah limasan pada umumnya, bangunan langgar ini juga memiliki bagian gandok yang berada di sisi kanan dan kiri ruangan utama. Bangunan ini juga memiliki senthong yang berbentuk bilik di bagian belakang bangunan.
Sementara itu, bentuk joglo dapat dilihat di dua bangunan utama di area keraton ini, yaitu Pagilaran dan Pangada yang terletak di tengah area keraton. Keduanya memiliki bagian pendapa, prigitan dan juga ndalem, yang membedakan adalah ukuran Pagilaran yang jauh lebih besar dan luas.
PERCAMPURAN GAYA
Menurut arsitek Han Awal, konsep percampuran budaya pada bangunan keraton memang lazim dan dapat ditemukan di sejumlah kerajaan di wilayah pesisir kerap disebut sebagai vernakuler. Pengaruh tersebut masuk bersamaan dengan proses perdagangan dengan orang-orang asing.
”Percampurnan gaya pada bangunan vernakuler Ini memang lazim terjadi pada tahun 1200 -1500- an, di mana pengaruh Islam, China, dan Eropa datang hampir bersamaan,” ujarnya.
Baca juga: Menikmati Keindahan Bangunan di Keraton Surakarta
Han menuturkan kehadiran para pendatang dari Eropa, China, dan Timur Tengah secara tak langsung membawa konsep baru dalam pembangunan sebuah bangunan, yakni kehadiran arsitek. Tidak mengherankan jika sejumlah kerajaan yang bertautan erat dengan warga asing pada waktu itu, tertarik untuk menggunakan jasa para arsitek itu.
”Arsitek dari luar membawa gaya dari negara masing-masing. Ketika di terapkan di kerajaan-kerajaan Indonesia, mau tak mau mereka harus menggabungkannya dengan unsur arsitektur yang sudah terlebih dahulu,” kata Han.
Editor: Fajar Sidik
Ciri khas dari percampuran budaya ini dapat dilihat pada bentuk arsitektur pada keraton Kasepuhan. Keraton yang dibangun pada 1529, mendapatkan pengaruh kental Hindu-Jawa di seluruh bangunannya. Dimulai dari bangunan siti hinggil yang merupakan bangunan terbuka denga lima buah bangunan panggung tanpa dinding, dan beratap joglo dari bahan sirap, kerap kali disebut sebagai candi Bentar.
Tembok yang mengelilingi keraton Kasepuhan mirip dengan bangunan candi Hindu yang biasa ditemukan di daerah Jawa Timur dan Bali. Bahan pembuat pagar terdiri dari batu bata merah tanpa diplester.
Baca juga: Keraton Jadi Inspirasi Angga Dwimas Sasongko Menggarap Film Mencuri Raden Saleh
Beranjak ke bagian dalam keraton, Anda dapat melihat pengaruh China dan Eropa dapat dilihat di sepanjang dinding bangsal Prabayasa yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan Raja dan para menteri. Bangsal ini terletak di belakang komplek Siti Hinggil.
Sepanjang dinding bangunan menempel porselen berukuran standar dengan dominasi warna biru dan merah kecokelatan. Hiasan porselin tidak hanya ditempelkan di dinding, tetapi juga menutup lantai bangsal Prabayasa.
Pengaruh Eropa dapat disaksikan pada tiang penyangga bangunan yang biasa disebut dorik. Tiang bergaya Yunani tersebut menyangga beberapa bangunan, salah satunya adalah pendopo Pancaniti dan Pancaratna yagn terletak di sisi timur dan barat keraton.
Meskipun tiang bergaya Yunani, tetapi digunakan untuk menyangga konstruksi atap dari kayu bergaya Joglo khas arsitektur Jawa. Arsitektur bergaya Eropa dapat ditemukan pada model ambang pintu yang berbentuk setengah lingkaran di bangunan Lawang Sanga.
Masing-masing dari ketiga sisinya memiliki tiga lengkungan yang berangkai. Bangunan tersebut letaknya di luar kompleks keraton, bercampur dengan rumah-rumah penduduk.
Baca juga: Sajian Sedap Ayam Keraton, Intip Resepnya Yuk
Pengaruh Eropa yang sangat kuat juga terdapat di bangsal Pringgodani, di mana benttuk pintu dan jendela berukuran lebar dan tinggi, dilengkapi dengan penggunaan jalusi yang berfungsi sebagai ventilasi udara.
Pada bagian atas pintu terdapat bovenlicht sebagai tempat masuknya cahaya dan udara masuk. Bovenlicht berupa kaca dengan ukiran bermotif flora dan fauna. Objek utamanya berupa motif bunga yang memiliki sulur-sulur dengan ornamen pendukung berbentuk hewan berukuran kecil.
Gaya sulur-suluran tersebut mengingatkan pada gaya Art Nouveau yang berkembang di Eropa pada abad ke-18. Selain pengaruh arsitektur dari China dan Eropa, gaya arsitektur Jawa dapat dilihat di bangunan Langgar Agung, Pagilaran, dan bangsal Pangada.
Langgar Agung yang merupakan tempat beribadah raja sebelum menunaikan upacara Maulid Nabi, memiliki bentuk seperti rumah limasan. Seperti layaknya rumah limasan pada umumnya, bangunan langgar ini juga memiliki bagian gandok yang berada di sisi kanan dan kiri ruangan utama. Bangunan ini juga memiliki senthong yang berbentuk bilik di bagian belakang bangunan.
Sementara itu, bentuk joglo dapat dilihat di dua bangunan utama di area keraton ini, yaitu Pagilaran dan Pangada yang terletak di tengah area keraton. Keduanya memiliki bagian pendapa, prigitan dan juga ndalem, yang membedakan adalah ukuran Pagilaran yang jauh lebih besar dan luas.
PERCAMPURAN GAYA
Menurut arsitek Han Awal, konsep percampuran budaya pada bangunan keraton memang lazim dan dapat ditemukan di sejumlah kerajaan di wilayah pesisir kerap disebut sebagai vernakuler. Pengaruh tersebut masuk bersamaan dengan proses perdagangan dengan orang-orang asing.
”Percampurnan gaya pada bangunan vernakuler Ini memang lazim terjadi pada tahun 1200 -1500- an, di mana pengaruh Islam, China, dan Eropa datang hampir bersamaan,” ujarnya.
Baca juga: Menikmati Keindahan Bangunan di Keraton Surakarta
Han menuturkan kehadiran para pendatang dari Eropa, China, dan Timur Tengah secara tak langsung membawa konsep baru dalam pembangunan sebuah bangunan, yakni kehadiran arsitek. Tidak mengherankan jika sejumlah kerajaan yang bertautan erat dengan warga asing pada waktu itu, tertarik untuk menggunakan jasa para arsitek itu.
”Arsitek dari luar membawa gaya dari negara masing-masing. Ketika di terapkan di kerajaan-kerajaan Indonesia, mau tak mau mereka harus menggabungkannya dengan unsur arsitektur yang sudah terlebih dahulu,” kata Han.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.