Nanang Hape, Dalang Pertunjukan Wayang Urban yang Kekinian
12 July 2022 |
21:21 WIB
Bertemu dengan sosok ini akan mengubah pandangan kita tentang kesenian wayang menjadi berbeda. Wayang baik dengan medium manusia, kayu, maupun kulit selalu lekat dengan kata kuno. Namun, di tangan Nanang Hape, wayang berubah menjadi kesenian kekinian yang menyajikan keceriaan dan sarat makna.
Upaya memancing emosi penonton untuk ikut terlibat saat melihat pertunjukan wayang urban hasil besutan dalang kelahiran Ponorogo, Jawa Timur ini dinilai sukses. Kaum urban Ibu Kota menilai wayang urban menjadi sebuah pentas wayang alternatif yang layak ditonton.
Linier dengan label urban yang melekat pada pertunjukkannya, saat di atas panggung, Nanang tidak berpakaian beskap serius layaknya dalang tradisional. Dia justru tampil sedikit santai seperti layaknya kugiran musik cadas.
Baca juga: Anak Betawi Asli Merapat, Yuk Kepoin Cerita Si Pitung & Mariyam lewat Wayang Golek
Tampil meyakinkan dengan rambut ikal sebahu, Nanang yakin bahwa wayang urban yang memadukan pertunjukan wayang, musik, teater, dan monolog merupakan napas baru dalam dunia kesenian. Dalam pertunjukan juga kerap kali disisipkan isu-isu menyoal peristiwa terkini di Tanah Air.
Guna menarik perhatian khalayak, lakon wayang urban dibawakan dengan Bahasa Indonesia. Wayang urban diciptakan Nanang sebagai jawaban atas kegelisahannya melihat begitu lebar jarak antara seni tradisi dan generasi muda.
Padahal, seni tradisi sangat kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sifat generasi muda Indonesia yang perlu menyerap nasihat bijak tetapi dengan kemasan yang menarik dan menghibur menjadi awal penciptaan wayang urban.
“Saya menyelipkan pesan bijak dalam pagelaran wayang urban berlakon Sukrasana Sumatri. Lakon itu berpijak pada obrolan manusia yang ingin pergi ke kota. Dari situ dapat dikaitkan dengan urbanisasi yang membuat berkurangnya jumlah anak muda di desa,” katanya dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 26 Juli 2015.
Ya, melalui wayang urban, Nanang menyelipkan pesan bahwa generasi muda harus lebih memiliki rasa kepedulian, kepekaan, menahan ambisi pribadi, dan membangun kembali rasa bersama lewat gotong royong.
Menurutnya, wayang urban bukan menjadi tujuan akhir. Wayang Urban hanya sebagai media ungkap untuk menyampaikan muatan tradisi dalam bahasa hari ini. Generasi yang seringkali terkendala bahasa dan ritme pertunjukkan, akan terbiasa menyaksikan wayang melalui wayang urban.
Harapannya, selanjutnya mereka mulai tertarik menyaksikan wayang tradisi. “Seni adalah soal membangun manusia,” tuturnya.
Latar belakang Nanang yang cukup terampil memainkan beragam alat musik, menulis naskah, berteater, hingga menari dari hasil kerja kerasnya ngenger atau berguru kepada para maestro membuatnya menjadi seniman yang paripurna.
Eksplorasi wayang urban dimulai Nanang sejak 2006 di Solo. Tiga tahun setelah masa eksplorasi selesai, Nanang mulai menampilkan wayang urban di atas panggung. Dengan personil mencapai 15 orang, misinya mengenalkan wayang urban kepada masyarakat perkotaan tidak serta merta membuatnya lepas dari seni wayang klasik.
Menurutnya, dua jenis wayang ini hanya sebatas persoalan segmentasi pasar, tetapi masih dalam satu rumah besar yakni tradisi. “Untuk generasi kalian [muda], saya lebih dikenal dengan wayang urban. Namun, untuk mereka yang tradisi [orang tua], mengenal saya sebagai dalang. Sudah itu saja. Tidak ada masalah dengan keduanya,” ujarnya.
Dunia tradisi memang tidak pernah berjarak dengan Nanang. Tidak mengherankan karena seniman yang satu ini memang lahir dan besar dalam lingkungan yang kental dengan dunia pewayangan. Semasa di bangku sekolah menengah atas, Nanang seringkali membantu pamannya yakni dalang kondang Kondo Suwarno saat pentas mendalang.
Baca juga: Yuk Intip Proses Pembuatan Wayang Kulit Cirebon
Selepas sekolah menengah atas, dia mulai tergerak untuk berguru kepada dalang sepuh Ki Gondo Suyatno di Ponorogo. Bakat alaminya membuatnya hanya membutuhkan waktu empat bulan, untuk dinobatkan menjadi dalang.
Masih lekat dalam ingatannya dari hasil mendalang pertama kali pada 1994, dia menerima uang Rp180.000. Pembawaannya yang santai, tidak berarti dia tidak dapat serius saat latihan untuk mempersiapkan pertunjukkan.
“Saat latihan kita seriusin membaca naskah. Setelah dipahami, sudah ditutup. Saat workshop dan pentas, mereka harus jadi diri sendiri. Saya ingin mempertahankan unsur unik dan spontanitas dalam wayang tradisi,” katanya.
Editor: Fajar Sidik
Upaya memancing emosi penonton untuk ikut terlibat saat melihat pertunjukan wayang urban hasil besutan dalang kelahiran Ponorogo, Jawa Timur ini dinilai sukses. Kaum urban Ibu Kota menilai wayang urban menjadi sebuah pentas wayang alternatif yang layak ditonton.
Linier dengan label urban yang melekat pada pertunjukkannya, saat di atas panggung, Nanang tidak berpakaian beskap serius layaknya dalang tradisional. Dia justru tampil sedikit santai seperti layaknya kugiran musik cadas.
Baca juga: Anak Betawi Asli Merapat, Yuk Kepoin Cerita Si Pitung & Mariyam lewat Wayang Golek
Tampil meyakinkan dengan rambut ikal sebahu, Nanang yakin bahwa wayang urban yang memadukan pertunjukan wayang, musik, teater, dan monolog merupakan napas baru dalam dunia kesenian. Dalam pertunjukan juga kerap kali disisipkan isu-isu menyoal peristiwa terkini di Tanah Air.
Guna menarik perhatian khalayak, lakon wayang urban dibawakan dengan Bahasa Indonesia. Wayang urban diciptakan Nanang sebagai jawaban atas kegelisahannya melihat begitu lebar jarak antara seni tradisi dan generasi muda.
Padahal, seni tradisi sangat kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sifat generasi muda Indonesia yang perlu menyerap nasihat bijak tetapi dengan kemasan yang menarik dan menghibur menjadi awal penciptaan wayang urban.
“Saya menyelipkan pesan bijak dalam pagelaran wayang urban berlakon Sukrasana Sumatri. Lakon itu berpijak pada obrolan manusia yang ingin pergi ke kota. Dari situ dapat dikaitkan dengan urbanisasi yang membuat berkurangnya jumlah anak muda di desa,” katanya dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 26 Juli 2015.
Ya, melalui wayang urban, Nanang menyelipkan pesan bahwa generasi muda harus lebih memiliki rasa kepedulian, kepekaan, menahan ambisi pribadi, dan membangun kembali rasa bersama lewat gotong royong.
Menurutnya, wayang urban bukan menjadi tujuan akhir. Wayang Urban hanya sebagai media ungkap untuk menyampaikan muatan tradisi dalam bahasa hari ini. Generasi yang seringkali terkendala bahasa dan ritme pertunjukkan, akan terbiasa menyaksikan wayang melalui wayang urban.
Harapannya, selanjutnya mereka mulai tertarik menyaksikan wayang tradisi. “Seni adalah soal membangun manusia,” tuturnya.
Latar belakang Nanang yang cukup terampil memainkan beragam alat musik, menulis naskah, berteater, hingga menari dari hasil kerja kerasnya ngenger atau berguru kepada para maestro membuatnya menjadi seniman yang paripurna.
Eksplorasi wayang urban dimulai Nanang sejak 2006 di Solo. Tiga tahun setelah masa eksplorasi selesai, Nanang mulai menampilkan wayang urban di atas panggung. Dengan personil mencapai 15 orang, misinya mengenalkan wayang urban kepada masyarakat perkotaan tidak serta merta membuatnya lepas dari seni wayang klasik.
Menurutnya, dua jenis wayang ini hanya sebatas persoalan segmentasi pasar, tetapi masih dalam satu rumah besar yakni tradisi. “Untuk generasi kalian [muda], saya lebih dikenal dengan wayang urban. Namun, untuk mereka yang tradisi [orang tua], mengenal saya sebagai dalang. Sudah itu saja. Tidak ada masalah dengan keduanya,” ujarnya.
Dunia tradisi memang tidak pernah berjarak dengan Nanang. Tidak mengherankan karena seniman yang satu ini memang lahir dan besar dalam lingkungan yang kental dengan dunia pewayangan. Semasa di bangku sekolah menengah atas, Nanang seringkali membantu pamannya yakni dalang kondang Kondo Suwarno saat pentas mendalang.
Baca juga: Yuk Intip Proses Pembuatan Wayang Kulit Cirebon
Selepas sekolah menengah atas, dia mulai tergerak untuk berguru kepada dalang sepuh Ki Gondo Suyatno di Ponorogo. Bakat alaminya membuatnya hanya membutuhkan waktu empat bulan, untuk dinobatkan menjadi dalang.
Masih lekat dalam ingatannya dari hasil mendalang pertama kali pada 1994, dia menerima uang Rp180.000. Pembawaannya yang santai, tidak berarti dia tidak dapat serius saat latihan untuk mempersiapkan pertunjukkan.
“Saat latihan kita seriusin membaca naskah. Setelah dipahami, sudah ditutup. Saat workshop dan pentas, mereka harus jadi diri sendiri. Saya ingin mempertahankan unsur unik dan spontanitas dalam wayang tradisi,” katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.