Apa Itu Sindrom Paris? Turis Asal Negara Ini Sering Mengalaminya
08 July 2022 |
08:04 WIB
Paris, ibu kota Prancis ini menjadi destinasi wisata yang ingin dituju banyak pelancong. Kota di Eropa ini penuh dengan peninggalan sejarah dan arsitektur kuno seperti Menara Eiffel, monumen Arc de Triomphe, Katedral Notre-Dame, dan museum Louvre.
Terlepas dari kemegahan dan romantisme Paris, beberapa turis tidak dapat menikmati perjalanan yang tenang di ibu kota itu. Sebagian kecil dari mereka yang pergi ke The City of Light tersebut mengalami ‘sindrom Paris’, suatu kondisi psikologis dengan gejala mual, muntah, halusinasi, dan peningkatan detak jantung.
Meskipun tidak masuk ke dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), sindrom Paris diakui oleh banyak ahli sebagai fenomena nyata, meskipun jarang terjadi.
Baca juga: Punya 4 Tanda Ini? Kamu Mungkin Punya Sindrom Karakter Utama
Menurut Mathieu Deflem, seorang profesor sosiologi di University of South Carolina, sindrom Paris paling umum dialami turis Jepang. Menurutnya ini tidak lepas dari perbedaan budaya dan harapan romantisme yang tidak terpenuhi.
“Sindrom Paris harus dianggap sebagai bentuk kejutan budaya yang ekstrem,” ujar Deflem dikutip dari Live Science, Jumat (8/7/2022).
Dia menyebut kejutan budaya atau culture shock dalam kasus yang sangat parah, menyebabkan orang merasa disorientasi, depresi, mudah tersinggung, dan sakit secara fisik.
Peneliti ilmu budaya dari Universitas Lund di Swedia Rachel Irwin menambahkan culture shock adalah penyakit akibat hilangnya makna yang ditimbulkan ketika orang-orang dari satu realitas simbolik menemukan diri mereka tenggelam dalam realitas lain. Dengan kata lain, orang menjadi bingung ketika dikelilingi oleh simbol (logo, nama, tanda, merek) yang berbeda dari yang biasanya mereka temui.
Gejala yang terkait dengan culture shock ini mirip dengan yang dialami oleh seseorang yang merasa cemas. Menurut Calm Clinic, ketika seseorang mengalami kecemasan, sinyal akan dikirim ke perut yang terkait dengan respons melawan atau lari. Alhasil, sinyal mengubah cara perut dan usus memproses dan mencerna makanan, dan selanjutnya menyebabkan mual.
Dalam kasus kecemasan yang sangat ekstrem seperti halnya culture shock, mual ini dapat menyebabkan muntah, disorientasi, dan sejumlah reaksi fisik lainnya.
Deflem mencatat secara umum, budaya Jepang memiliki pandangan yang agak romantis tentang Barat, terutama Eropa. Padangan itu direpresentasikan dalam sejumlah film dan buku yang cenderung berfokus pada seni, budaya kopi, restoran kuno, dan percakapan yang ramah serta cerdas.
Faktanya, harapan romantisme ini tidak realistis, terutama di Paris, kota paling tidak ramah ketiga di Eropa untuk ekspatriat.
Selain itu, Deflem menyoroti bahwa Jepang memiliki budaya yang sangat tertib dan sopan. Sementara kehidupan sehari-hari Paris bisa dikatakan sebaliknya.
"Perbedaan yang sangat halus mengenai norma budaya atau harapan masyarakat dapat menyebabkan kebingungan,” imbuhnya.
Mengingat Indonesia juga memiliki perbedaan budaya dengan Paris, tetap waspada saat mengunjungi negara di Eropa itu ya, Genhype.
Editor: Gita Carla
Terlepas dari kemegahan dan romantisme Paris, beberapa turis tidak dapat menikmati perjalanan yang tenang di ibu kota itu. Sebagian kecil dari mereka yang pergi ke The City of Light tersebut mengalami ‘sindrom Paris’, suatu kondisi psikologis dengan gejala mual, muntah, halusinasi, dan peningkatan detak jantung.
Meskipun tidak masuk ke dalam daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), sindrom Paris diakui oleh banyak ahli sebagai fenomena nyata, meskipun jarang terjadi.
Baca juga: Punya 4 Tanda Ini? Kamu Mungkin Punya Sindrom Karakter Utama
Monumen Arc de Triomphe, Paris (Sumber gambar : Unsplash/Rodriguez Kugnharski)
“Sindrom Paris harus dianggap sebagai bentuk kejutan budaya yang ekstrem,” ujar Deflem dikutip dari Live Science, Jumat (8/7/2022).
Dia menyebut kejutan budaya atau culture shock dalam kasus yang sangat parah, menyebabkan orang merasa disorientasi, depresi, mudah tersinggung, dan sakit secara fisik.
Peneliti ilmu budaya dari Universitas Lund di Swedia Rachel Irwin menambahkan culture shock adalah penyakit akibat hilangnya makna yang ditimbulkan ketika orang-orang dari satu realitas simbolik menemukan diri mereka tenggelam dalam realitas lain. Dengan kata lain, orang menjadi bingung ketika dikelilingi oleh simbol (logo, nama, tanda, merek) yang berbeda dari yang biasanya mereka temui.
Gejala yang terkait dengan culture shock ini mirip dengan yang dialami oleh seseorang yang merasa cemas. Menurut Calm Clinic, ketika seseorang mengalami kecemasan, sinyal akan dikirim ke perut yang terkait dengan respons melawan atau lari. Alhasil, sinyal mengubah cara perut dan usus memproses dan mencerna makanan, dan selanjutnya menyebabkan mual.
Museum Louvre (Sumber gambar : Unsplash/Mehmet Turgut Kirkgoz)
Deflem mencatat secara umum, budaya Jepang memiliki pandangan yang agak romantis tentang Barat, terutama Eropa. Padangan itu direpresentasikan dalam sejumlah film dan buku yang cenderung berfokus pada seni, budaya kopi, restoran kuno, dan percakapan yang ramah serta cerdas.
Faktanya, harapan romantisme ini tidak realistis, terutama di Paris, kota paling tidak ramah ketiga di Eropa untuk ekspatriat.
Selain itu, Deflem menyoroti bahwa Jepang memiliki budaya yang sangat tertib dan sopan. Sementara kehidupan sehari-hari Paris bisa dikatakan sebaliknya.
"Perbedaan yang sangat halus mengenai norma budaya atau harapan masyarakat dapat menyebabkan kebingungan,” imbuhnya.
Mengingat Indonesia juga memiliki perbedaan budaya dengan Paris, tetap waspada saat mengunjungi negara di Eropa itu ya, Genhype.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.