Gaji Istri Lebih Besar dari Suami, Masalahkah?
24 June 2022 |
10:00 WIB
Persoalan gaji atau pendapatan kerap menjadi pemicu terjadinya pertengkaran dalam sebuah hubungan pernikahan, terutama bagi suami-istri yang sama-sama memiliki pekerjaan dan penghasilan bulanan. Apalagi, bila gaji yang diperoleh istri lebih besar ketimbang suami.
Menurut psikolog sekaligus pemilik Ahmada Consulting Rima Olivia, sebetulnya persoalan gaji bisa menjadi salah satu topik netral dalam rumah tangga, bila dibicarakan secara terbuka antara suami dan istri.
Ketika value keluarga telah dibicarakan bersama, seharusnya juga sudah dibahas dan ditemukan visi berumah tangga untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Dengan demikian, persoalan gaji tidak lagi menjadi masalah, yang tentunya bisa mengganggu keharmonisan keluarga bila tidak ada keterbukaan.
“Gaji adalah hal yang perlu dikelola untuk mencapai tujuan bersama, memenuhi kebutuhan bersama, membantu pihak-pihak yang perlu dibantu, dan tabungan bersama untuk masa depan, terutama ketika sudah sama-sama tidak bekerja lagi nantinya,” katanya.
Hal yang paling penting dibangun ketika kondisi gaji istri lebih besar daripada yang diperoleh suami, jelasnya, adalah keyakinan yang positif. Jika memang sudah dibicarakan dengan baik, maka ini menjadi sebuah kenyataan saja, bahwa sumber keuangan yang lebih besar berasal dari pihak istri.
Keyakinan positif ini juga akan melahirkan pemikiran bahwa berapapun gaji suami dan istri, memiliki tujuan untuk dikelola secara bersama-sama sesuai dengan yang ingin dicapai. Dengan keyakinan positif, juga akan menghilangkan pikiran negatif yakni paradigma tentang keharusan gaji lebih besar dari pihak suami.
Pemikiran-pemikiran negatif inilah yang menjadi sumber permasalahan dalam berumah tangga, antara lain suami menjadi rendah diri sehingga kerap mempengaruhi emosinya, atau istri bisa menjadi merasa bersalah atau malah merasa paling berkontribusi.
Padahal, ketika kontribusi salah satu pihak lebih besar dalam hal penghasilan, seharusnya masing-masing pihak patut mensyukurinya. Menjaga pikiran tetap positif dan realistis dapat membantu kalian dan pasangan bersikap positif, apalagi jika sudah memiliki anak.
Sebagai tokoh inspiratif, orang tua seharusnya mampu memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Seberapa pun besarnya gaji yang diperoleh, istri harus tetap menghormati suami, dan suami juga harus tetap melindungi istri dan anak-anak.
Besar kecilnya porsi penghasilan Anda dan pasangan, seharusnya tidak menjadi konflik, karena yang terpenting adalah mampu mengelolanya secara bersama-sama sesuai dengan kebutuhan.
Agar keharmonisan keluarga tetap terjaga, hal yang harus dipahami adalah dengan menciptakan komunikasi yang baik, yang bersumber dari rasa saling percaya, keterbukaan, apresiasi, respek, dan saling menghargai.
Jika sudah berlandaskan kepercayaan, maka keterbukaan soal kondisi keuangan menjadi keniscayaan yang akan terjadi. Selanjutnya, tinggal menjaga keterbukaan komunikasi, termasuk masalah keuangan.
Menghormati kesepakatan tentang keuangan sama halnya dengan menjalani kesepakatan lainnya. Artinya, jika tidak dipatuhi, akan merusak diri sendiri dan pasangan.
Catatan redaksi: artikel diambil dari Bisnis Indonesia Minggu edisi 31 Mei 2015
Editor: Fajar Sidik.
Menurut psikolog sekaligus pemilik Ahmada Consulting Rima Olivia, sebetulnya persoalan gaji bisa menjadi salah satu topik netral dalam rumah tangga, bila dibicarakan secara terbuka antara suami dan istri.
Ketika value keluarga telah dibicarakan bersama, seharusnya juga sudah dibahas dan ditemukan visi berumah tangga untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Dengan demikian, persoalan gaji tidak lagi menjadi masalah, yang tentunya bisa mengganggu keharmonisan keluarga bila tidak ada keterbukaan.
“Gaji adalah hal yang perlu dikelola untuk mencapai tujuan bersama, memenuhi kebutuhan bersama, membantu pihak-pihak yang perlu dibantu, dan tabungan bersama untuk masa depan, terutama ketika sudah sama-sama tidak bekerja lagi nantinya,” katanya.
Hal yang paling penting dibangun ketika kondisi gaji istri lebih besar daripada yang diperoleh suami, jelasnya, adalah keyakinan yang positif. Jika memang sudah dibicarakan dengan baik, maka ini menjadi sebuah kenyataan saja, bahwa sumber keuangan yang lebih besar berasal dari pihak istri.
Keyakinan positif ini juga akan melahirkan pemikiran bahwa berapapun gaji suami dan istri, memiliki tujuan untuk dikelola secara bersama-sama sesuai dengan yang ingin dicapai. Dengan keyakinan positif, juga akan menghilangkan pikiran negatif yakni paradigma tentang keharusan gaji lebih besar dari pihak suami.
Pemikiran-pemikiran negatif inilah yang menjadi sumber permasalahan dalam berumah tangga, antara lain suami menjadi rendah diri sehingga kerap mempengaruhi emosinya, atau istri bisa menjadi merasa bersalah atau malah merasa paling berkontribusi.
Padahal, ketika kontribusi salah satu pihak lebih besar dalam hal penghasilan, seharusnya masing-masing pihak patut mensyukurinya. Menjaga pikiran tetap positif dan realistis dapat membantu kalian dan pasangan bersikap positif, apalagi jika sudah memiliki anak.
Sebagai tokoh inspiratif, orang tua seharusnya mampu memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Seberapa pun besarnya gaji yang diperoleh, istri harus tetap menghormati suami, dan suami juga harus tetap melindungi istri dan anak-anak.
Besar kecilnya porsi penghasilan Anda dan pasangan, seharusnya tidak menjadi konflik, karena yang terpenting adalah mampu mengelolanya secara bersama-sama sesuai dengan kebutuhan.
Agar keharmonisan keluarga tetap terjaga, hal yang harus dipahami adalah dengan menciptakan komunikasi yang baik, yang bersumber dari rasa saling percaya, keterbukaan, apresiasi, respek, dan saling menghargai.
Jika sudah berlandaskan kepercayaan, maka keterbukaan soal kondisi keuangan menjadi keniscayaan yang akan terjadi. Selanjutnya, tinggal menjaga keterbukaan komunikasi, termasuk masalah keuangan.
Menghormati kesepakatan tentang keuangan sama halnya dengan menjalani kesepakatan lainnya. Artinya, jika tidak dipatuhi, akan merusak diri sendiri dan pasangan.
Catatan redaksi: artikel diambil dari Bisnis Indonesia Minggu edisi 31 Mei 2015
Editor: Fajar Sidik.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.