Mengenal Karya Pahlawan Nasional Usmar Ismail yang Melampaui Zamannya
11 May 2022 |
12:01 WIB
Gagasan dan ide yang dimiliki oleh Usmar Ismail dalam membuat sebuah film pada saat itu telah melampaui zamannya. Kondisi ini membuat film – film yang diproduksi oleh Bapak Perfilman Nasional itu kerap tidak diminati oleh sejumlah masyarakat pada saat itu.
Engel Tanzil, Kurator Pameran Boeng Ismail Dalam Sinema Indonesia, menuturkan film-film yang dibuat oleh Usmar Ismail adalah film-film yang mengandung nilai bangsa selain membuat film-film komersial.
Dia selalu berpikir agar film – film yang dibuat dapat membentuk karakter anak-anak atau orang-orang Indonesia yang baru saja merdeka sehingga memiliki kecintaan terhadap bangsa sendiri atau memiliki rasa nasionalisme.
Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat tersebut khawatir orang-orang Indonesia yang baru saja merdeka dapat lupa terhadap jati dirinya kalau dijejali dengan film-film dari luar negeri atau film-film yang tidak meningkatkan nasionalisme. “Dia mengorbankan dirinya atau Perfini untuk membuat film yang secara komersial belum tentu laku di pasaran,” katanya.
Salah satu contoh film tersebut adalah film Tamu Agung. Film ini bercerita tentang seseorang tukang obat yang mengaku sebagai tamu agung. Film ini adalah sebuah film komedi satir yang dibuat oleh Usmar untuk menyindir penguasa pada saat itu.
[Baca juga: Perjalanan Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail dari Bangku Sekolah hingga Meraih Gelar Pahlawan Nasional]
Namun, sang sutradara lupa bahwa tidak semua masyarakat Indonesia yang menjadi penonton pada saat itu memiliki pemikiran yang setara. Tamu Agung gagal di pasar setelah rilis pada 21 Mei 1955 karena dianggap mengkritik Soekarno.
Saat tayang di Asia Film Festival pada 1956 di Hong Kong, film Tamu Agung memenangkan kategori Film Komedi Terbaik. "Jadi, menurut saya, film-film yang jenius tidak laku pada masa itu," katanya.
Pemikirannya yang melampaui pada zamannya pada saat itu juga dapat terlihat dari inspirasi Usmar dalam membuat sebuah film. Pada saat itu, dia terpikirkan untuk membuat film berjudul Anak Perawan di Sarang Penjamun dari sebuah novel, yakni karya Sutan Takdir Alisyahbana.
Kemudian, Usmar juga membuat film yang terinspirasi dari kearifan lokal seperti Tjambuk Api yang merupakan sebuah cerita legenda dari budaya Tjambuk di Jawa Timur.
Film ini dibuat olehnya karena pada saat itu orang-orang Indonesia menonton film koboi. Dia ingin menunjukkan bahwa Indonesia juga memiliki film seperti itu dalam versi Tjambuk Api. Inspirasi dari kearifan lokal lainnya adalah Harimau Tjampa.
Di film Harimau Tjampa, Usmar berperan sebagai produser. Adapun sutradaranya adalah D. Djajakusuma, dan M. Alwi Dahlan sebagai penulis. Film ini terinspirasi dari cerita rakyat di Minang tentang Harimau Tjampa dengan teknik pembabakan Randai.
Usmar menjadi perhatian dunia melalui film Harimau Tjampa. Film ini memenangkan Piala Perunggu untuk ilustrasi musik yang digubah Tjok Sinsu dalam Festival Film Asia 1955 di Singapura.
“Dia berjuang bukan cuma menciptakan film, tapi bagaimana filmnya itu bisa diterima di bioskop karena bioskop menolak film-filmnya, karena tidak ada yang menonton,” katanya.
Sadar harus ada kas masuk ke Perusahaan Film Indonesia (Perfini) yang didirikan bersama dengan Rosihan Anwar, dia pun berusaha membuat film yang bisa laku di pasar pada saat itu. Akhirnya dia menciptakan film Tiga Dara, yang memopulerkan artis senior Mieke Wijaya.
[Baca juga:Enam Dekade Perjalanan Karier Mieke Wijaya]
Usmar mengajak M. Alwi Dahlan untuk membuat film Tiga Dara lantaran butuh orang muda untuk membuat cerita yang kekinian. Selain keponakan, Usmar mengajak Alwi lantaran jago menulis. Tulisan pertamanya saat Alwi duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas 2 di Padang menjadi film Usmar berjudul Djenderal Kantjil.
Film tersebut tayang selama 8 minggu di bioskop dengan pemasukan Rp10 juta. Tidak hanya itu, film itu juga masuk ke beberapa bioskop kelas 1 yang berafiliasi dengan American Motion Picture Association of Indonesia.
Film tersebut disebut-sebut menjadi pelopor film dengan gaya adegan dan dialog yang tidak kaku pada masanya.
Usmar Ismail telah membuat lebih dari 30 film sepanjang hidupnya. Pada 1949, Usmar Ismail terlibat dalam produksi film berjudul Harta Karun berdasarkan karya pujangga Prancis bernama Moliere. Saat itu dia sebagai asisten sutradara. Kemudian, dia menjadi sutradara untuk film Tjitra untuk perusahaan Belanda di Jakarta bernama South Pacific Film Corporation.
Dalam pameran disebutkan, bahwa film Tjitra menggambarkan arus perubahan dari masyarakat petani tradisional ke masyarakat urban yang kompleks. Usmar mengungkapkan bahwa pada masa damai selepas perjuangan revolusi fisik, arus urbanisasi terjadi.
Kota-kota mulai menjadi magnet, dan desa-desa ditinggalkan oleh orang-orang. Nama film ini diambil dari lagu berjudul Tjitra yang ditulis oleh Usmar dan diaransemen oleh Cornell Simanjuntak. Kata “Citra” pertama kali diciptakan oleh Usmar bersama dengan Rosihan Anwar, dan pada akhirnya menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
[Baca juga:Hari Film Nasional, Melihat Peran Usmar Ismail dan Industri Perfilman Hari Ini]
Di dalam timeline Usmar Ismail di Pameran Boeng Ismail Dalam Sinema Indonesia, Usmar menuturkan film Tjitra terlalu banyak mengingatkan pada ikatan-ikatan yang dirasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi meskipun mendapatkan sambutan yang baik dari pers.
Dia juga menuturkan tidak dapat mengatakan bahwa 2 film tersebut adalah karyanya karena pada waktu penulisan dan pembuatan, dia mendapat banyak sekali petunjuk yang tidak disetujui dari produser.
Pada 1950, dia bersama Rosihan Anwar mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dia bersama dengan tim membuat film Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi. Di film ini, dia sebagai penulis skenario, sutradara, penata rias, dan juga sebagai salah satu pemerannya.
Film terakhir Usmar Ismail adalah film Ananda. Dalam laman filmindonesia.or.id, film tersebut bercerita tentang Irma alias Ananda yang diperankan oleh Lenny Marlina yang harus berjualan pisang goreng sejak sang ibu meninggal dunia, terlebih dia mendapat ibu tiri yang tidak baik. Ananda mulai “petualangannya” dengan sejumlah lelaki.
Film ini menjadi pemenang di Asian Film Festival di kategori Tema Terbaik, dan Lenny Marlina sebagai pemainnya menjadi pemenang di kategori Pendatang Baru Terbaik.
Editor: Gita Carla
Engel Tanzil, Kurator Pameran Boeng Ismail Dalam Sinema Indonesia, menuturkan film-film yang dibuat oleh Usmar Ismail adalah film-film yang mengandung nilai bangsa selain membuat film-film komersial.
Dia selalu berpikir agar film – film yang dibuat dapat membentuk karakter anak-anak atau orang-orang Indonesia yang baru saja merdeka sehingga memiliki kecintaan terhadap bangsa sendiri atau memiliki rasa nasionalisme.
Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat tersebut khawatir orang-orang Indonesia yang baru saja merdeka dapat lupa terhadap jati dirinya kalau dijejali dengan film-film dari luar negeri atau film-film yang tidak meningkatkan nasionalisme. “Dia mengorbankan dirinya atau Perfini untuk membuat film yang secara komersial belum tentu laku di pasaran,” katanya.
Salah satu contoh film tersebut adalah film Tamu Agung. Film ini bercerita tentang seseorang tukang obat yang mengaku sebagai tamu agung. Film ini adalah sebuah film komedi satir yang dibuat oleh Usmar untuk menyindir penguasa pada saat itu.
[Baca juga: Perjalanan Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail dari Bangku Sekolah hingga Meraih Gelar Pahlawan Nasional]
Namun, sang sutradara lupa bahwa tidak semua masyarakat Indonesia yang menjadi penonton pada saat itu memiliki pemikiran yang setara. Tamu Agung gagal di pasar setelah rilis pada 21 Mei 1955 karena dianggap mengkritik Soekarno.
Salah satu adegan dalam film Tamu Agung (Sumber gambar: Tangkapan layar akun instagram @dialogue_arts)
Saat tayang di Asia Film Festival pada 1956 di Hong Kong, film Tamu Agung memenangkan kategori Film Komedi Terbaik. "Jadi, menurut saya, film-film yang jenius tidak laku pada masa itu," katanya.
Pemikirannya yang melampaui pada zamannya pada saat itu juga dapat terlihat dari inspirasi Usmar dalam membuat sebuah film. Pada saat itu, dia terpikirkan untuk membuat film berjudul Anak Perawan di Sarang Penjamun dari sebuah novel, yakni karya Sutan Takdir Alisyahbana.
Kemudian, Usmar juga membuat film yang terinspirasi dari kearifan lokal seperti Tjambuk Api yang merupakan sebuah cerita legenda dari budaya Tjambuk di Jawa Timur.
Film ini dibuat olehnya karena pada saat itu orang-orang Indonesia menonton film koboi. Dia ingin menunjukkan bahwa Indonesia juga memiliki film seperti itu dalam versi Tjambuk Api. Inspirasi dari kearifan lokal lainnya adalah Harimau Tjampa.
Di film Harimau Tjampa, Usmar berperan sebagai produser. Adapun sutradaranya adalah D. Djajakusuma, dan M. Alwi Dahlan sebagai penulis. Film ini terinspirasi dari cerita rakyat di Minang tentang Harimau Tjampa dengan teknik pembabakan Randai.
Usmar menjadi perhatian dunia melalui film Harimau Tjampa. Film ini memenangkan Piala Perunggu untuk ilustrasi musik yang digubah Tjok Sinsu dalam Festival Film Asia 1955 di Singapura.
“Dia berjuang bukan cuma menciptakan film, tapi bagaimana filmnya itu bisa diterima di bioskop karena bioskop menolak film-filmnya, karena tidak ada yang menonton,” katanya.
Sadar harus ada kas masuk ke Perusahaan Film Indonesia (Perfini) yang didirikan bersama dengan Rosihan Anwar, dia pun berusaha membuat film yang bisa laku di pasar pada saat itu. Akhirnya dia menciptakan film Tiga Dara, yang memopulerkan artis senior Mieke Wijaya.
[Baca juga:Enam Dekade Perjalanan Karier Mieke Wijaya]
Usmar mengajak M. Alwi Dahlan untuk membuat film Tiga Dara lantaran butuh orang muda untuk membuat cerita yang kekinian. Selain keponakan, Usmar mengajak Alwi lantaran jago menulis. Tulisan pertamanya saat Alwi duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas 2 di Padang menjadi film Usmar berjudul Djenderal Kantjil.
Film tersebut tayang selama 8 minggu di bioskop dengan pemasukan Rp10 juta. Tidak hanya itu, film itu juga masuk ke beberapa bioskop kelas 1 yang berafiliasi dengan American Motion Picture Association of Indonesia.
Film tersebut disebut-sebut menjadi pelopor film dengan gaya adegan dan dialog yang tidak kaku pada masanya.
Warisan Usmar Ismail untuk Perfilman Nasional
Salah satu adegan film TIga Dara (Sumber gambar: Tangkapan layar akun Instagram @dialogue_arts)
Usmar Ismail telah membuat lebih dari 30 film sepanjang hidupnya. Pada 1949, Usmar Ismail terlibat dalam produksi film berjudul Harta Karun berdasarkan karya pujangga Prancis bernama Moliere. Saat itu dia sebagai asisten sutradara. Kemudian, dia menjadi sutradara untuk film Tjitra untuk perusahaan Belanda di Jakarta bernama South Pacific Film Corporation.
Dalam pameran disebutkan, bahwa film Tjitra menggambarkan arus perubahan dari masyarakat petani tradisional ke masyarakat urban yang kompleks. Usmar mengungkapkan bahwa pada masa damai selepas perjuangan revolusi fisik, arus urbanisasi terjadi.
Kota-kota mulai menjadi magnet, dan desa-desa ditinggalkan oleh orang-orang. Nama film ini diambil dari lagu berjudul Tjitra yang ditulis oleh Usmar dan diaransemen oleh Cornell Simanjuntak. Kata “Citra” pertama kali diciptakan oleh Usmar bersama dengan Rosihan Anwar, dan pada akhirnya menjadi bagian dari bahasa Indonesia.
[Baca juga:Hari Film Nasional, Melihat Peran Usmar Ismail dan Industri Perfilman Hari Ini]
Di dalam timeline Usmar Ismail di Pameran Boeng Ismail Dalam Sinema Indonesia, Usmar menuturkan film Tjitra terlalu banyak mengingatkan pada ikatan-ikatan yang dirasakan sebagai pengekangan terhadap daya kreasi meskipun mendapatkan sambutan yang baik dari pers.
Dia juga menuturkan tidak dapat mengatakan bahwa 2 film tersebut adalah karyanya karena pada waktu penulisan dan pembuatan, dia mendapat banyak sekali petunjuk yang tidak disetujui dari produser.
Pada 1950, dia bersama Rosihan Anwar mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dia bersama dengan tim membuat film Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi. Di film ini, dia sebagai penulis skenario, sutradara, penata rias, dan juga sebagai salah satu pemerannya.
Film terakhir Usmar Ismail adalah film Ananda. Dalam laman filmindonesia.or.id, film tersebut bercerita tentang Irma alias Ananda yang diperankan oleh Lenny Marlina yang harus berjualan pisang goreng sejak sang ibu meninggal dunia, terlebih dia mendapat ibu tiri yang tidak baik. Ananda mulai “petualangannya” dengan sejumlah lelaki.
Film ini menjadi pemenang di Asian Film Festival di kategori Tema Terbaik, dan Lenny Marlina sebagai pemainnya menjadi pemenang di kategori Pendatang Baru Terbaik.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.