Penari tari Pendet asal Bali Nyoman Trianawati dan Ni Ketut Putri Minangsari (Sumber gambar : Instagram/Poetryreading)

Upaya Bangkitkan Kartini Di Sektor Seni

22 April 2022   |   14:04 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Melalui ilmu pengetahuan, Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat telah mendobrak batas gender serta membuat posisi perempuan dan laki-laki menjadi setara. Kaum hawa kini bisa berekspresi menjadi apa yang dia inginkan tanpa stereotip perempuan hanya mengurusi dapur, sumur, dan kasur.

Di era ini, banyak pula perempuan yang berani tampil sebagai pemimpin di berbagai bidang, salah satunya seni dan budaya. Tidak hanya sekadar memimpin, perempuan juga dapat menyatukan mereka yang berjuang sendiri-sendiri.

Membuat wadah agar disetarakan dengan profesi lainnya dilakukan oleh Agustina Rochyanti dan keempat seniman dan budayawan tari, Luluk Sumiarso, Atien Kisam, M. Ahmad, dan Jefriandi Usman, dengan mendirikan Asosiasi Seniman Tari Indonesia (ASETI).

Ya, Agustina yang karib disapa Anti itu menjadi satu-satunya wanita yang mendirikan organisasi ini bahkan ditunjuk sebagai ketua. Mungkin karena perhatiannya yang begitu besar pada dunia seni tari.

Namun yang pasti, Anti sudah menggeluti bidang ini sejak kecil. Kecintaannya pada seni tari tradisional begitu tinggi.

Seni memiliki banyak pengaruh pada hidup Anti yang sejak mengenyam pendidikan di bangku Taman Kanak-kanak (TK) hingga di Perguruan Tinggi (PT) tidak pernah berpaling dari dunia seni. Wanita berusia 53 tahun itu tercatat sebagai lulusan Jurusan Antropologi Tari di Institut Kesenian Jakarta pada 1992.

Delapan tahun kemudian, Anti sempat menambah pengalaman di bidang lain yakni produksi perfilman di kampus yang sama. Namun jiwanya memang sudah tertambat pada seni tari.

"Akhirnya saya menetapkan diri berprofesi sebagai seniman tari," ujar Ketua Komite Seni Budaya Indonesia Korea Friendship Association (IKFA) 2006, kepada Hypeabis.id.

Tidak mau sekadar disebut sebagai seniman tari, Anti ingin menjadi pejuang agar profesi yang ditekuninya ini dipandang positif di mata masyarakat. Tidak ada lagi yang meremehkan, menganggap profesi ini rendahan dan selalu dikaitkan dengan kemiskinan.

"Saya ingin seniman tari punya kesetaraan dengan profesi lain. Seniman tari bukan sekadar aksesoris dan bisa menjadi profesi yang bermartabat," tegasnya dengan penuh ambisi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, para seniman tari yang memang mayoritas perempuan harus bersatu. Tidak ada lagi yang berjalan sendiri-sendiri, semua harus berserikat karena kebijakan yang berpihak kepada seniman tari harus didorong sebuah lembaga.

"Asosiasi Seni Tari merupakan wadah. Kami mewadahi sanggar yang mau bergabung bagaimana meraih kesetaraan profesi seniman tari," kata Anti.

ASETI sebagai organisasi pun akan terus melakukan sosialisasi mengenai kesetaraan profesi ini. Dibentuk pada 2018, kini mereka telah memiliki 23 dewan daerah yang memiliki program di daerahnya masing-masing untuk berkesenian dan melestarikannya.

Mendapat legitimasi, para perwakilan daerah ini akan mudah masuk ke tingkat kebijakan dengan program yang diselenggarakan pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, seniman tari bukan hadir sebagai panggilan saja namun turut serta dalam program pemerintah untuk menggalakkan kesenian ini.

Anti sendiri melalui ASETI ketika awal pandemi Covid-19 datang diajak membuat kebijakan mengenai penerapan protokol kesehatan dalam sektor seni pertunjukkan. Ini menurutnya suatu pengakuan bahwa profesi seni turut menentukan arah kebijakan pemerintah.

Namun di satu sisi, para seniman juga harus lebih kreatif dan adaptif menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Terutama beradaptasi dengan teknologi agar tidak gagap ketika penampilan seni pertunjukkan ini dibatasi.

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Intip Koleksi Terbaru dari 7 UMKM di Sustainable Modest Fashion MUFFEST+ 2022

BERIKUTNYA

Garmin Rilis Smartwatch untuk Para Penyelam, Begini Fitur & Harganya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: