Munggahan atau Punggahan, Tradisi Masyarakat Indonesia untuk Sambut Ramadan
29 March 2022 |
12:00 WIB
Menjelang Ramadan, masyarakat Indonesia mengenal tradisi munggahan atau punggahan. Keduanya merupakan tradisi yang sama hanya berbeda penamaan dan wilayahnya. Munggahan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sunda di Jawa Barat, sedangkan punggahan merupakan tradisi yang dilakukan di Pulau Jawa secara keseluruhan.
Melansir dari laman resmi Kabupaten Kebumen, Selasa (29/3/2022), punggahan berasal dari kata munggah (bahasa Jawa) yang berarti naik. Hal itu dimaksudkan ketika memasuki bulan Ramadan perlu disambut dengan iman yang lebih ditingkatkan lagi.
Punggahan ini bertujuan untuk mengingatkan para umat Islam bahwa Ramadan akan segera tiba, dan juga untuk mengirim doa pada orang-orang yang telah meninggal dunia. Tradisi punggahan biasanya dilakukan di rumah dengan mengundang tetangga sekitar dan pemuka agama untuk memimpin pembacaan tahlil dan doa. Selain itu, bisa juga diadakan di masjid atau musala yang ada.
Tradisi punggahan yang sudah ada sejak dahulu ini dilaksanakan untuk menyambut bulan suci Ramadan, serta untuk mendoakan arwah para leluhur atau yang disebut juga dengan bebak cidak yang berarti nenek moyang.
Selain itu, tradisi punggahan juga dapat menjalin keakraban sesama masyarakat atau sesama tentangga, serta membersihkan hati dari segala kesalahan. Peserta dari tradisi punggahan ini adalah semua masyarakat yang beragama Islam dari semua lapisan seperti bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi bahkan anak-anak juga ikut merayakan tradisi ini, kecuali yang pada hari itu tidak sedang berada di rumah
(Baca juga: Tengok Budaya Ramadan di Iran yang Unik dan Penuh Kehangatan)
Punggahan biasanya dilakukan di rumah, masjid ataupun musala dengan mengundang sanak saudara dan tetangga sekitar, serta seorang pemuka agama untuk memimpin tahlil dan doa.
Menu yang wajib disediakan saat punggahan adalah apam, pasung, pisang raja, dan ketan. Menu yang dibawa saat punggahan ini memiliki makna tersendiri dengan menyambut datangnya bulan Ramadan, sehingga makna yang terkandung dapat tersampaikan serta dapat membersihkan jiwa untuk memasuki bulan suci tersebut.
Keempat panganan tersebut kemudian ditafsirkan oleh Sunan Kalijaga secara Lughowi. Ketan merupakan kata yang berasal dari bahasa Melayu yang ditafsirkan dengan kata “khotho-an”, berarti kesalahan. Apam ditafsirkan dengan lafaz “afwan” yang berarti maaf. Hal ini berarti sebagai sesama manusia harus saling memaafkan selain bertaubat kepada Allah SWT.
Pisang dalam bahasa Arab yakni “ghodaan” yang memiliki arti esok hari atau waktu yang akan datang. Sementara pasung ditafsirkan dengan lafaz “fashoum” yang mempunyai arti maka berpuasalah yang dilakukan setelah bertaubat dan meminta maaf demi menyempurnakan keduanya.
Editor: Gita Carla
Melansir dari laman resmi Kabupaten Kebumen, Selasa (29/3/2022), punggahan berasal dari kata munggah (bahasa Jawa) yang berarti naik. Hal itu dimaksudkan ketika memasuki bulan Ramadan perlu disambut dengan iman yang lebih ditingkatkan lagi.
Punggahan ini bertujuan untuk mengingatkan para umat Islam bahwa Ramadan akan segera tiba, dan juga untuk mengirim doa pada orang-orang yang telah meninggal dunia. Tradisi punggahan biasanya dilakukan di rumah dengan mengundang tetangga sekitar dan pemuka agama untuk memimpin pembacaan tahlil dan doa. Selain itu, bisa juga diadakan di masjid atau musala yang ada.
Ilustrasi orang-orang beribadah di masjid (Sumber gambar: Rumman Amin/Unsplash)
Sejarah Tradisi Punggahan
Menurut jurnal berjudul Tradisi Punggahan Menjelang Ramadan yang ditulis oleh Salma Al Zahra & Nor Mohammad Abdoeh, tradisi punggahan diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa terutama Jawa Tengah. Saat itu Sunan Kalijaga menggunakan metode akulturasi budaya dalam menyebarkan agama Islam.Tradisi punggahan yang sudah ada sejak dahulu ini dilaksanakan untuk menyambut bulan suci Ramadan, serta untuk mendoakan arwah para leluhur atau yang disebut juga dengan bebak cidak yang berarti nenek moyang.
Selain itu, tradisi punggahan juga dapat menjalin keakraban sesama masyarakat atau sesama tentangga, serta membersihkan hati dari segala kesalahan. Peserta dari tradisi punggahan ini adalah semua masyarakat yang beragama Islam dari semua lapisan seperti bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi bahkan anak-anak juga ikut merayakan tradisi ini, kecuali yang pada hari itu tidak sedang berada di rumah
(Baca juga: Tengok Budaya Ramadan di Iran yang Unik dan Penuh Kehangatan)
Punggahan biasanya dilakukan di rumah, masjid ataupun musala dengan mengundang sanak saudara dan tetangga sekitar, serta seorang pemuka agama untuk memimpin tahlil dan doa.
Menu yang wajib disediakan saat punggahan adalah apam, pasung, pisang raja, dan ketan. Menu yang dibawa saat punggahan ini memiliki makna tersendiri dengan menyambut datangnya bulan Ramadan, sehingga makna yang terkandung dapat tersampaikan serta dapat membersihkan jiwa untuk memasuki bulan suci tersebut.
Keempat panganan tersebut kemudian ditafsirkan oleh Sunan Kalijaga secara Lughowi. Ketan merupakan kata yang berasal dari bahasa Melayu yang ditafsirkan dengan kata “khotho-an”, berarti kesalahan. Apam ditafsirkan dengan lafaz “afwan” yang berarti maaf. Hal ini berarti sebagai sesama manusia harus saling memaafkan selain bertaubat kepada Allah SWT.
Pisang dalam bahasa Arab yakni “ghodaan” yang memiliki arti esok hari atau waktu yang akan datang. Sementara pasung ditafsirkan dengan lafaz “fashoum” yang mempunyai arti maka berpuasalah yang dilakukan setelah bertaubat dan meminta maaf demi menyempurnakan keduanya.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.