Kesetaraan Perempuan Jadi Koreksi Lingkungan Kerja Industri Kelapa Sawit
22 March 2022 |
20:55 WIB
Idealnya, kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan harus ada di dalam setiap lingkungan kerja di semua sektor. Salah satu sektor yang disorot dalam isu ini adalah industri kelapa sawit yang banyak memperkerjakan buruh perempuan mulai dari bagian penanaman bibit hingga perawatan tanaman.
Berdasarkan catatan demografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2020, setidaknya ada 24 persen dari 25,4 juta petani di Indonesia adalah perempuan. Dengan besarnya peran perempuan dalam sektor industri kelapa sawit di tingkat nasional dan internasional, isu kesetaraan pun tidak luput dari pandangan para pihak di dalamnya.
Hal ini terjadi karena Indonesia banyak menuai kritik akibat kurang kontribusi dalam perlindungan buruh petani perempuan, mengingat catatan Jaringan Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia (Japbusi) bahwa ada 44,5 juta pekerja di industri tersebut dan setidaknya ada 30-55 persen perempuan di antaranya.
Dalam webinar Perempuan Hebat, Industri Sawit Kuat yang diselenggarakan oleh Harian Kompas dan GAPKI, Selasa (22/03/2022), beberapa isu yang disorot adalah perbedaan pendapatan antara buruh laki-laki dan perempuan, diskriminasi dan ketidakamanan lingkungan kerja, dan kurangnya perlindungan terhadap perempuan.
Elles van Ark, Managing Director CNV International, menyebutkan masalah lain bagi pekerja perempuan yang ditemui di industri kelapa sawit adalah kekerasan berbasis gender, kontrak yang tidak sesuai, dan upah yang diterima tidak sebanding.
Bukti kuatnya ada pada temuan CNV International di Kalimantan Barat yang menunjukkan bahwa dari sekitar 420 perusahaan, hanya ada 25 persen perusahaan yang memiliki regulasi dan tiga persen yang membolehkan adanya kolektif serikat pekerja.
Sekretaris Eksekutif Japbusi, Nursanna Marpaung, kemudian menyebutkan masalah lain yang hadir adalah status pekerjaan harian lepas yang sebagian besar didominasi perempuan.
Unsur keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang kerap kali kurang memihak perempuan. Dia menyorot masalah K3 yang ada adalah keterbatasan tenaga kesehatan yang kurang siap di lingkungan kerja serta fasilitas sanitasi yang terbatas hanya disediakan di dalam kantor saja.
Dengan adanya masalah-masalah tersebut, Hadriani Uli Silalahi selaku Chair Women 20 Indonesia mengatakan bahwa peraturan yang sudah ada saat ini belum maksimal untuk melindungi pekerja perempuan di industri kelapa sawit.
Dia menekankan perlunya dorongan terhadap iklim yang adil bagi perempuan, terutama dalam mengatur sistem target, pengupahan, jaminan sosial dan kesehatan, dan hak lain yang harus didapatkan pekerja perempuan.
Ini selaras dengan pernyataan Indah Anggoro Putri sebagai Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perusahaan kelapa sawit harus memiliki pilar kerja layak, di antaranya adalah dialog yang konstruktif antara perusahaan dan pekerja, perlindungan dan jaminan sosial untuk pekerja, kesetaraan dalam lingkungan kerja, serta kebebasan berpendapat dan berserikat.
Sejumlah pihak merasakan perlunya dukungan dalam aspek kebijakan dan pemantauan regulasi yang sudah ada. Uli menyebutkan bahwa pihaknya akan terus mengawal regulasi yang ada saat ini agar regulasi tersebut tidak tersisihkan dari pembahasan dan tetap melindungi perempuan.
Beberapa hal ini adalah perlindungan pekerja perempuan dari semua risiko dan kecelakaan kerja; hak untuk mendapatkan kesempatan kerja, kesetaraan jabatan, dan gaji yang sesuai; tidak mendapatkan diskriminasi serta pelecehan dan kekerasan seksual; dan cuti dan/atau izin khusus saat haid atau menstruasi, melahirkan, keguguran, dan menyusui.
Elles juga menyebutkan bahwa pemantauan tersebut juga bersamaan dengan kerja sama dengan sejumlah pemangku kebijakan dan pemegang keputusan seperti investor, trader formal, institusi terkait seperti GAPKI, pemerintah, dan organisasi nonprofit.
Selain dari segi regulasi, hal lain yang juga harus ada adalah posisi pengambil keputusan yang diisi oleh perempuan. Uli menjelaskan bahwa pertimbangan ini didasarkan adanya regulasi yang berpihak pada perempuan, tapi sulit dijalankan karena kurangnya dukungan.
Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, menutup bahwa ini juga perlu didukung dengan adanya komite gender di setiap organisasi untuk mempermudah pengambilan keputusan pada perempuan.
Harapannya, industri kelapa sawit bisa bebas dari kesenjangan dalam akses, partisipasi, dan kontrol dalam hak dan kewajiban pekerja perempuan serta regulasi yang ada bisa menciptakan industri yang aman, ramah, dan responsif terhadap semua gender, termasuk perempuan.
Editor: Gita Carla
Berdasarkan catatan demografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2020, setidaknya ada 24 persen dari 25,4 juta petani di Indonesia adalah perempuan. Dengan besarnya peran perempuan dalam sektor industri kelapa sawit di tingkat nasional dan internasional, isu kesetaraan pun tidak luput dari pandangan para pihak di dalamnya.
Hal ini terjadi karena Indonesia banyak menuai kritik akibat kurang kontribusi dalam perlindungan buruh petani perempuan, mengingat catatan Jaringan Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia (Japbusi) bahwa ada 44,5 juta pekerja di industri tersebut dan setidaknya ada 30-55 persen perempuan di antaranya.
Dalam webinar Perempuan Hebat, Industri Sawit Kuat yang diselenggarakan oleh Harian Kompas dan GAPKI, Selasa (22/03/2022), beberapa isu yang disorot adalah perbedaan pendapatan antara buruh laki-laki dan perempuan, diskriminasi dan ketidakamanan lingkungan kerja, dan kurangnya perlindungan terhadap perempuan.
Elles van Ark, Managing Director CNV International, menyebutkan masalah lain bagi pekerja perempuan yang ditemui di industri kelapa sawit adalah kekerasan berbasis gender, kontrak yang tidak sesuai, dan upah yang diterima tidak sebanding.
Bukti kuatnya ada pada temuan CNV International di Kalimantan Barat yang menunjukkan bahwa dari sekitar 420 perusahaan, hanya ada 25 persen perusahaan yang memiliki regulasi dan tiga persen yang membolehkan adanya kolektif serikat pekerja.
Sekretaris Eksekutif Japbusi, Nursanna Marpaung, kemudian menyebutkan masalah lain yang hadir adalah status pekerjaan harian lepas yang sebagian besar didominasi perempuan.
Unsur keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang kerap kali kurang memihak perempuan. Dia menyorot masalah K3 yang ada adalah keterbatasan tenaga kesehatan yang kurang siap di lingkungan kerja serta fasilitas sanitasi yang terbatas hanya disediakan di dalam kantor saja.
Dengan adanya masalah-masalah tersebut, Hadriani Uli Silalahi selaku Chair Women 20 Indonesia mengatakan bahwa peraturan yang sudah ada saat ini belum maksimal untuk melindungi pekerja perempuan di industri kelapa sawit.
Dia menekankan perlunya dorongan terhadap iklim yang adil bagi perempuan, terutama dalam mengatur sistem target, pengupahan, jaminan sosial dan kesehatan, dan hak lain yang harus didapatkan pekerja perempuan.
Ini selaras dengan pernyataan Indah Anggoro Putri sebagai Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perusahaan kelapa sawit harus memiliki pilar kerja layak, di antaranya adalah dialog yang konstruktif antara perusahaan dan pekerja, perlindungan dan jaminan sosial untuk pekerja, kesetaraan dalam lingkungan kerja, serta kebebasan berpendapat dan berserikat.
Sejumlah pihak merasakan perlunya dukungan dalam aspek kebijakan dan pemantauan regulasi yang sudah ada. Uli menyebutkan bahwa pihaknya akan terus mengawal regulasi yang ada saat ini agar regulasi tersebut tidak tersisihkan dari pembahasan dan tetap melindungi perempuan.
Beberapa hal ini adalah perlindungan pekerja perempuan dari semua risiko dan kecelakaan kerja; hak untuk mendapatkan kesempatan kerja, kesetaraan jabatan, dan gaji yang sesuai; tidak mendapatkan diskriminasi serta pelecehan dan kekerasan seksual; dan cuti dan/atau izin khusus saat haid atau menstruasi, melahirkan, keguguran, dan menyusui.
Elles juga menyebutkan bahwa pemantauan tersebut juga bersamaan dengan kerja sama dengan sejumlah pemangku kebijakan dan pemegang keputusan seperti investor, trader formal, institusi terkait seperti GAPKI, pemerintah, dan organisasi nonprofit.
Selain dari segi regulasi, hal lain yang juga harus ada adalah posisi pengambil keputusan yang diisi oleh perempuan. Uli menjelaskan bahwa pertimbangan ini didasarkan adanya regulasi yang berpihak pada perempuan, tapi sulit dijalankan karena kurangnya dukungan.
Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, menutup bahwa ini juga perlu didukung dengan adanya komite gender di setiap organisasi untuk mempermudah pengambilan keputusan pada perempuan.
Harapannya, industri kelapa sawit bisa bebas dari kesenjangan dalam akses, partisipasi, dan kontrol dalam hak dan kewajiban pekerja perempuan serta regulasi yang ada bisa menciptakan industri yang aman, ramah, dan responsif terhadap semua gender, termasuk perempuan.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.