Begini Cara Tekan Angka Risiko Kanker Paru
08 February 2022 |
21:40 WIB
Angka kejadian kanker paru di Indonesia masih tinggi. Menurut data Global Cancer Observation (Globocan) terdapat 34.783 kasus baru kanker paru di Indonesia dan 30.843 kematian akibat kanker ini selama 2020. Dari data itu pula, didapat kanker paru paling banyak terjadi pada laki-laki.
Setidaknya 25.943 kasus atau sekitar 14,1 persen dari seluruh kasus kanker baru terjadi pada laki-laki. Namun sayangnya, angka kesintasan kanker paru terbilang cukup rendah.
Data dari jurnal The Lancet Oncology pada 2014, hanya sekitar 13,7% pasien kanker paru yang masih bertahan dalam 5 tahun setelah diagnosis ditegakkan, sementara rata-rata lama hidup pasien setelah diagnosis kanker paru adalah 8 bulan.
Tidak hanya merupakan salah satu kanker paling mematikan di dunia dan Indonesia, kanker paru juga merupakan penyakit dengan dampak yang multidimensi. Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya dikarenakan tekanan mental yang dirasakan.
Karena biaya pengobatannya yang besar, kanker paru juga berpotensi mempengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang seringkali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka. Ya, dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan yang terbesar di antara semua jenis kanker.
Padahal kematian akibat kanker paru dapat dicegah, tingkat kesintasan pasien dapat meningkat, dan biaya kesehatan dapat dihemat apabila diagnosis dan tata laksana yang tepat dilakukan lebih awal. Di Inggris Raya, 83 persen pasien yang didiagnosis di stadium I masih hidup satu tahun setelah diagnosis, dibandingkan dengan 17 persen yang didiagnosis di stadium IV.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia dr. Evlina Suzanna menerangkan pasien kanker paru perlu mendapatkan pelayanan yang komprehensif, dimulai dari kepedulian terhadap bahaya kanker paru, skrining atau deteksi dini, diagnosis, dan pengobatan sedini dan setepat mungkin.
"Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peluang kesintasan dan mengurangi beban biaya kesehatan penyintas kanker paru," ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar Roche Indonesia, Selasa (8/2/2022).
Selain itu, diperlukan kolaborasi aktif antar berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat serta payung kebijakan yang terintegrasi untuk mendukung penatalaksanaan kanker paru yang komprehensif.
Hal ini mencakup tersedianya sumber daya manusia yaitu tim ahli yang multidisiplin, kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan, ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan pembiayaan untuk pelayanan berkualitas.
Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) Profesor Elisna Syahruddin mengatakan pengendalian faktor risiko kanker paru merupakan salah satu langkah penting untuk mencegah dan menurunkan jumlah insiden kanker paru di Indonesia.
Faktor risiko kanker paru ini utamanya disebabkan oleh kebiasaan merokok dan terpapar asap rokok secara terus menerus, disertai faktor risiko lain misalnya paparan zat karsinogen di tempat kerja atau riwayat kanker paru dalam keluarga.
"Maka dari itu, skrining dan deteksi dini sangat diperlukan agar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini sehingga upaya untuk meningkatkan angka tahan hidup dapat dicapai." terangnya.
Elisna menyebut banyak negara telah menerapkan kebijakan skrining dengan menggunakan low-dose CT scan (LDCT) untuk deteksi dini kanker paru. Kebijakan tersebut didukung oleh hasil studi di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa yang menunjukkan efektivitas biaya dalam program skrining kanker paru.
"Jadi harapannya di Indonesia kanker paru pun bisa segera masuk ke dalam program deteksi dini dari Kementerian Kesehatan," tuturnya.
Pilihan terapi di Indonesia juga harus sesuai dengan karakteristik kanker paru orang Indonesia. Terkait metode diagnosis, menurutnya kemajuan teknologi medis juga telah memungkinkan dilakukannya pemeriksaan molekuler untuk pasien yang telah terdiagnosis kanker paru, guna memberikan pilihan terapi target yang tepat.
"Diharapkan metode ini dapat meningkatkan luaran klinis dan menghemat biaya perawatan secara menyeluruh, berdasarkan hasil penelitian ditemukan peran gen EGFR, AlK dan PD-L1 untuk pilihan terapi target yg optimal," sebut Elisna.
Editor: Gita
Setidaknya 25.943 kasus atau sekitar 14,1 persen dari seluruh kasus kanker baru terjadi pada laki-laki. Namun sayangnya, angka kesintasan kanker paru terbilang cukup rendah.
Data dari jurnal The Lancet Oncology pada 2014, hanya sekitar 13,7% pasien kanker paru yang masih bertahan dalam 5 tahun setelah diagnosis ditegakkan, sementara rata-rata lama hidup pasien setelah diagnosis kanker paru adalah 8 bulan.
Tidak hanya merupakan salah satu kanker paling mematikan di dunia dan Indonesia, kanker paru juga merupakan penyakit dengan dampak yang multidimensi. Berdasarkan penelitian dari Japanese Journal of Clinical Oncology 2014, pasien dengan kanker paru memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan pasien kanker lainnya dikarenakan tekanan mental yang dirasakan.
Karena biaya pengobatannya yang besar, kanker paru juga berpotensi mempengaruhi produktivitas keluarga atau pengasuh pasien, yang seringkali semestinya sedang berada dalam masa puncak produktivitas mereka. Ya, dampak ekonomi dan sosial kanker paru diperkirakan yang terbesar di antara semua jenis kanker.
Padahal kematian akibat kanker paru dapat dicegah, tingkat kesintasan pasien dapat meningkat, dan biaya kesehatan dapat dihemat apabila diagnosis dan tata laksana yang tepat dilakukan lebih awal. Di Inggris Raya, 83 persen pasien yang didiagnosis di stadium I masih hidup satu tahun setelah diagnosis, dibandingkan dengan 17 persen yang didiagnosis di stadium IV.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia dr. Evlina Suzanna menerangkan pasien kanker paru perlu mendapatkan pelayanan yang komprehensif, dimulai dari kepedulian terhadap bahaya kanker paru, skrining atau deteksi dini, diagnosis, dan pengobatan sedini dan setepat mungkin.
"Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peluang kesintasan dan mengurangi beban biaya kesehatan penyintas kanker paru," ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar Roche Indonesia, Selasa (8/2/2022).
Selain itu, diperlukan kolaborasi aktif antar berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat serta payung kebijakan yang terintegrasi untuk mendukung penatalaksanaan kanker paru yang komprehensif.
Hal ini mencakup tersedianya sumber daya manusia yaitu tim ahli yang multidisiplin, kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan, ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan pembiayaan untuk pelayanan berkualitas.
Direktur Eksekutif Research of Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) Profesor Elisna Syahruddin mengatakan pengendalian faktor risiko kanker paru merupakan salah satu langkah penting untuk mencegah dan menurunkan jumlah insiden kanker paru di Indonesia.
Faktor risiko kanker paru ini utamanya disebabkan oleh kebiasaan merokok dan terpapar asap rokok secara terus menerus, disertai faktor risiko lain misalnya paparan zat karsinogen di tempat kerja atau riwayat kanker paru dalam keluarga.
"Maka dari itu, skrining dan deteksi dini sangat diperlukan agar pasien kanker paru ditemukan pada stadium dini sehingga upaya untuk meningkatkan angka tahan hidup dapat dicapai." terangnya.
Elisna menyebut banyak negara telah menerapkan kebijakan skrining dengan menggunakan low-dose CT scan (LDCT) untuk deteksi dini kanker paru. Kebijakan tersebut didukung oleh hasil studi di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa yang menunjukkan efektivitas biaya dalam program skrining kanker paru.
"Jadi harapannya di Indonesia kanker paru pun bisa segera masuk ke dalam program deteksi dini dari Kementerian Kesehatan," tuturnya.
Pilihan terapi di Indonesia juga harus sesuai dengan karakteristik kanker paru orang Indonesia. Terkait metode diagnosis, menurutnya kemajuan teknologi medis juga telah memungkinkan dilakukannya pemeriksaan molekuler untuk pasien yang telah terdiagnosis kanker paru, guna memberikan pilihan terapi target yang tepat.
"Diharapkan metode ini dapat meningkatkan luaran klinis dan menghemat biaya perawatan secara menyeluruh, berdasarkan hasil penelitian ditemukan peran gen EGFR, AlK dan PD-L1 untuk pilihan terapi target yg optimal," sebut Elisna.
Editor: Gita
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.