Tampilan buku Sipit (Dok. Instagram/@epinhalim)

Kumpulan Puisi Sipit, dari Rasa Marah hingga Penerimaan Diri

01 February 2022   |   15:14 WIB

Satu buku kumpulan puisi dapat berisikan puluhan hingga ratusan puisi dengan berbagai topik. Namun, umumnya, ada pijakan yang memungkinkan topik-topik itu hadir. Dalam Sipit, kumpulan puisi dan kolase karya Yosephine Salim, perjalanan hidup dan identitas adalah pijakannya.

Identitas yang dimaksud bukan hanya terkait etnis, dan perjalanan hidup yang ada pun bukan hanya soal menjadi orang Tionghoa. Dalam Sipit, berbagai potret menjadi perempuan, pekerja, hingga warga Jakarta Utara juga muncul dan dikemas dengan apik.

Tak jarang, topik-topik tersebut melebur dan menciptakan ketegangan tersendiri. Dalam puisi Moy Amoy, misalnya, identitas perempuan dan Tionghoa dibenturkan dengan pelecehan (catcalling) yang kerap dilakukan laki-laki. 

Sosok ‘aku’ dalam puisi digambarkan melawan tapi juga terikat dengan identitas fisiknya. Respons terhadap catcalling “Moy, Amoy” pun berlanjut ke konfrontasi yang unik: 
 
“....
Tak terima diteriaki
               Ku hampiri ia balik.
Menyeberang dengan amarah
Mencoba membuka mata

              Melotot!
Namun tak bisa
….”

Puisi-puisi dalam Sipit memang begitu lantang—jauh dari bercandaan populer media sosial yang menganggap puisi melulu soal kopi dan senja. Persoalan-persoalan yang ada tak hanya dideskripsikan, tapi juga diberi penyikapan dan perspektif baru yang unik.

Menurut Yosephine, perspektif tersebut muncul karena ia cukup berjarak dengan lingkungan sekitarnya. Dididik di lingkungan yang sangat diverse, ia mengaku banyak bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.

“Jadi gue lumayan mempertanyakan identitas. Mungkin karena background itu, gue punya perspektif lain, karena gue udah jadi semacam ‘observer’ di lingkungan sekitar gue,” ucap Yosephine kepada Hypeabis.id.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Yosephine Salim (@epinsalim)



Menulis Sipit pun menurutnya menjadi rangkuman journey kehidupannya yang personal. Hal ini menjadi beban tersendiri, bahkan menciptakan semacam love and hate relationship, karena proses penulisan menuntutnya mengorek luka-luka lamanya.

“Kalau kata anak zaman sekarang, ini semacam self-healing gitu. Banyak banget topik yang lumayan berdampak, walaupun mungkin enggak sampai traumatis,” ucapnya.

Sebagai healing, penulisan Sipit lantas cukup membantu Yosephine menjadi lebih baik. Yosephine menceritakan, salah seorang rekan penulis bahkan menyebut ada pendewasaan dalam Sipit—yang proses pembuatannya memakan waktu 2 tahun.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by POST Bookshop (@post_santa)


“Dia bisa merasakan bahwa gue sudah merdeka. Makanya, kalau diperhatikan, ada alur dari puisi-puisinya. Dari awal gimana gue memulai itu dengan anger, tapi lama-lama kemudian itu gue terima sebagai perjalanan hidup aja,” ucapnya.

Yosephine sendiri semula tidak yakin kumpulan puisi ini akan selesai. Namun, rekan-rekannya terus memberi support sepanjang proses penulisan. Dukungan itu diperolehnya karena apa yang disuarakan dalam Sipit memang penting dan mewakili banyak kisah.

Walau sarat akan pengalaman personal, Sipit berhasil menjadi karya yang relevan bagi banyak orang karena konteks-konteks sosial di dalamnya. 

Kemampuan Yosephine mengambil jarak—tak hanya dengan sekitarnya tapi juga dengan dirinya sendiri—juga membuat suara dalam Sipit penting untuk didengar.


Editor: Gita

SEBELUMNYA

Bunda Wajib Tahu Gejala Parental Burnout & Cara Mengatasinya

BERIKUTNYA

5 Hiasan Bunga Pembawa Keberuntungan Saat Imlek

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: