Ketika Bubur Bikin Nasib Pilot Ini Jadi Mujur
25 January 2022 |
14:09 WIB
Menyerah bukan kata yang pas untuk tetap bertahan di masa pandemi ini. Bagi seorang pelaku usaha ataupun mereka yang mau berusaha, masa sulit justru harus disikapi dengan menjadikannya sebagai tantangan untuk terus berinovasi, mengembangkan diri maupun bisnis.
Sebuah kisah untuk tetap berjuang hadir dari seorang pilot maskapai swasta, Ronald Darmadi. Pandemi Covid-19 yang menghantam industri penerbangan dan menyebabkan bisnis ini mati suri dalam jangka waktu cukup lama, membuat Ronald banting setir sementara menjadi tukang bubur.
Bermodalkan uang tidak lebih dari Rp1 juta dan resep rahasia keluarga yang bebas dari penyedap rasa, Ronald dibantu sang istri akhirnya memilih menjajakan bubur di pinggir jalan kawasan Gading Serpong, Tangerang, ketimbang duduk termangu menunggu panggilan terbang yang tidak kunjung datang. Dia berjualan kuliner yang diberi nama Bubur Boetjin itu menggunakan mobil dengan media pemasaran berupa X banner berukuran sekitar 60x160 cm.
Sempat sepi pembeli karena kala itu diberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), siapa sangka, usaha yang dimulai pada Maret 2020 tersebut kini berkembang menjadi puluhan cabang. Perkembangan bisnis itu tidak lepas dari ide Ronald yang memanfaatkan layanan pesan antar ojek online dengan berjualan bubur dari rumah saja. “Dan karena menurut orang enak juga berbeda dari yang lain, Puji Tuhan ramai pembeli,” ujarnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Ya, dari rumah hingga akhirnya ramai, Ronald lantas membangun kemitraan. Tanpa royalti fee, biaya kemitraan yang ditawarkan sekitar Rp5 juta dan deposit Rp1 juta, dengan keuntungan 100% untuk mitra. Dengan paket tersebut, mitra sudah mendapatkan lisensi penggunaan merek Bubur Boetjin selama 1 tahun, SOP, peralatan, resep, pelatihan, hingga peralatan dan bahan baku untuk membuat bubur untuk 150 porsi.
Ronald menyebut bahwa penjualan bubur ini bisa dilakukan dari rumah alias ghost kitchen. Dengan metode tersebut, mitra tidak perlu repot mencari tempat sewa, pihaknya pun yang akan mendaftarkan aplikasi online untuk mitra. Dalam waktu 2-4 minggu, mitra sudah bisa berjualan offline seraya menunggu rilisnya kerja sama dengan layanan online.
“Kita coba bikin Kemitraan tujuannya untuk membantu sesama yang lagi terdampak Covid, jadi bisa usaha dari rumah,” sebutnya.
Kemitraan ini ternyata cukup menarik banyak orang, hingga saat ini tercatat Bubur Boetjin memiliki 60 cabang di 13 kota. Penjualan yang awalnya hanya sekitar 5 hingga 10 mangkok per hari, kini bisa mencapai 50 mangkok per hari bahkan ketika ramai bisa tembus 200 mangkok dalam satu hari.
Dengan modal kemitraan ramah kantong tersebut, keuntungan bersih yang bisa didapat pun cukup menjanjikan.“Omzet rata-rata Rp20-30 juta per cabang,” ungkap Ronald.
Tidak terbayangkan sebelumnya bubur dengan resep tradisional keluarga dipadupadankan dengan resep modern yang dijualnya bisa laris manis dan disukai banyak orang. Ini juga tidak lepas dari kesabaran dan kemauan untuk tetap berjuang.
“Jualan makanan harus sabar mencari pelanggan dulu tidak instan, tapi kalau sudah ramai nanti akan stabil,” terangnya.
Sementara itu, dalam berjualan bubur, menjaga kualitas rasa menjadi hal utama yang diperhatikan. Inovasi jga terus dikembangkan agar para pelanggan tidak kabur. Ya, Bubur Boetjin bukan hanya menjual bubur ayam spesial, namun juga bubur sapi spesial dengan beragam taburan atau topping menarik seperti crunchy crispy ball dan cakwe.
Tidak hanya soal rasa dan topping, kemasan juga tidak boleh luput. Bubur Boetjin memiliki kemasan yang elegan dan kekinian dengan menggunakan bowl yang juga akan memudahkan konsumen saat akan mengonsumsinya. Kemasan ini membuat kualitas makanan tetap terjaga. Nyatanya konsumen rela membayar lebih untuk membeli bubur spesial ini. Adapun Bubur Boetjin dibandrol Rp20.000-Rp25.000. Harga menentukan kualitas dan rasa bukan?
Dalam upaya meningkatkan branding usahanya, Ronald pun memaksimalkan media sosial mulai dari instagram hingga TikTok. Ronald dengan usahanya pun sempat viral di TikTok dan akhirnya menarik banyak pelanggan.
Editor: Gita
Sebuah kisah untuk tetap berjuang hadir dari seorang pilot maskapai swasta, Ronald Darmadi. Pandemi Covid-19 yang menghantam industri penerbangan dan menyebabkan bisnis ini mati suri dalam jangka waktu cukup lama, membuat Ronald banting setir sementara menjadi tukang bubur.
Bermodalkan uang tidak lebih dari Rp1 juta dan resep rahasia keluarga yang bebas dari penyedap rasa, Ronald dibantu sang istri akhirnya memilih menjajakan bubur di pinggir jalan kawasan Gading Serpong, Tangerang, ketimbang duduk termangu menunggu panggilan terbang yang tidak kunjung datang. Dia berjualan kuliner yang diberi nama Bubur Boetjin itu menggunakan mobil dengan media pemasaran berupa X banner berukuran sekitar 60x160 cm.
Sempat sepi pembeli karena kala itu diberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), siapa sangka, usaha yang dimulai pada Maret 2020 tersebut kini berkembang menjadi puluhan cabang. Perkembangan bisnis itu tidak lepas dari ide Ronald yang memanfaatkan layanan pesan antar ojek online dengan berjualan bubur dari rumah saja. “Dan karena menurut orang enak juga berbeda dari yang lain, Puji Tuhan ramai pembeli,” ujarnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Ya, dari rumah hingga akhirnya ramai, Ronald lantas membangun kemitraan. Tanpa royalti fee, biaya kemitraan yang ditawarkan sekitar Rp5 juta dan deposit Rp1 juta, dengan keuntungan 100% untuk mitra. Dengan paket tersebut, mitra sudah mendapatkan lisensi penggunaan merek Bubur Boetjin selama 1 tahun, SOP, peralatan, resep, pelatihan, hingga peralatan dan bahan baku untuk membuat bubur untuk 150 porsi.
Ronald dengan Bubur Boetjin buatannya.
Ronald menyebut bahwa penjualan bubur ini bisa dilakukan dari rumah alias ghost kitchen. Dengan metode tersebut, mitra tidak perlu repot mencari tempat sewa, pihaknya pun yang akan mendaftarkan aplikasi online untuk mitra. Dalam waktu 2-4 minggu, mitra sudah bisa berjualan offline seraya menunggu rilisnya kerja sama dengan layanan online.
“Kita coba bikin Kemitraan tujuannya untuk membantu sesama yang lagi terdampak Covid, jadi bisa usaha dari rumah,” sebutnya.
Kemitraan ini ternyata cukup menarik banyak orang, hingga saat ini tercatat Bubur Boetjin memiliki 60 cabang di 13 kota. Penjualan yang awalnya hanya sekitar 5 hingga 10 mangkok per hari, kini bisa mencapai 50 mangkok per hari bahkan ketika ramai bisa tembus 200 mangkok dalam satu hari.
Dengan modal kemitraan ramah kantong tersebut, keuntungan bersih yang bisa didapat pun cukup menjanjikan.“Omzet rata-rata Rp20-30 juta per cabang,” ungkap Ronald.
Tidak terbayangkan sebelumnya bubur dengan resep tradisional keluarga dipadupadankan dengan resep modern yang dijualnya bisa laris manis dan disukai banyak orang. Ini juga tidak lepas dari kesabaran dan kemauan untuk tetap berjuang.
“Jualan makanan harus sabar mencari pelanggan dulu tidak instan, tapi kalau sudah ramai nanti akan stabil,” terangnya.
Sementara itu, dalam berjualan bubur, menjaga kualitas rasa menjadi hal utama yang diperhatikan. Inovasi jga terus dikembangkan agar para pelanggan tidak kabur. Ya, Bubur Boetjin bukan hanya menjual bubur ayam spesial, namun juga bubur sapi spesial dengan beragam taburan atau topping menarik seperti crunchy crispy ball dan cakwe.
Tidak hanya soal rasa dan topping, kemasan juga tidak boleh luput. Bubur Boetjin memiliki kemasan yang elegan dan kekinian dengan menggunakan bowl yang juga akan memudahkan konsumen saat akan mengonsumsinya. Kemasan ini membuat kualitas makanan tetap terjaga. Nyatanya konsumen rela membayar lebih untuk membeli bubur spesial ini. Adapun Bubur Boetjin dibandrol Rp20.000-Rp25.000. Harga menentukan kualitas dan rasa bukan?
Dalam upaya meningkatkan branding usahanya, Ronald pun memaksimalkan media sosial mulai dari instagram hingga TikTok. Ronald dengan usahanya pun sempat viral di TikTok dan akhirnya menarik banyak pelanggan.
Editor: Gita
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.