Menurut Pakar Ini NFT Bisa Menjadi Peluang Sekaligus Ancaman
23 January 2022 |
18:07 WIB
Non-fungible token (NFT) tengah naik daun di Indonesia, setelah mahasiswa asal Semarang, Ghozali berhasil menjual hasil swafoto dirinya sebagai aset digital. Hal ini memicu kesadaran masyarakat tentang peluang dan ancaman dari NFT dan ekosistemnya.
Pakar budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan menuturkan bahwa NFT pada dasarnya adalah produk dalam bentuk teks, gambar, suara, atau gabungan ketiganya yang dimasukkan ke ruang virtual.
Menurutnya, sebuah produk NFT dapat memiliki nilai karena ada relasi komunikasi atarpengguna atau di dalam komunitasnya. Pada kasus Ghozali, terjadi penambahan nilai lewat komunitas melalui cerita dan pengkisahan yang menarik.
“Misalnya NFT Ghozali dimiliki oleh chef Arnold. Ini akan menarik orang-orang di sekitarnya untuk punya juga. Ketika supply lebih kecil dibanding demand, sesuai hukum ekonomi akan terjadi kenaikan harga,” katanya.
Dia melanjutkan kendati merupakan aset digital, non-fungible token memang bisa menciptakan nilai ekonomi riil. Bagaimana pun, produk utama yang menjadikannya memiliki harga adalah nilai dan informasi yang terkandung di dalamnya. Jadi membentuk nilai dan membangun ekosistem menjadi hal penting untuk terjun ke dunia NFT.
Menurutnya, fenomena maraknya masyarakat Indonesia yang mengunggah swafotonya dengan harapan bisa menjadi the next Ghozali ini merupakan tahapan atau era honeymoon yang tidak akan bertahan lama.
“Ini hanya honeymoon saja [booming-nya NFT Ghozali]. Nanti 3 sampai 4 bulan lagi saya kira akan turun juga animonya. Nah, mereka yang tekun dengan karya yang otentik itu yang akan bertahan,” katanya.
Jadi, ketika ada sentimen negatif yang melingkupi produsen dan karyanya, bisa terjadi cancel culture dan nilainya akan turun drastis. Ini tidak hanya merugikan pembuat karya, tapi juga para konsumen yang menjadi pemilik dari NFT tersebut.
Oleh sebab itu, dia menyebut pemerintah sebagai regulator diharapkan bisa hadir di ekosistem ini. Untuk saat ini, lanjutnya, setidaknya pemerintah bisa melakukan edukasi mengenai NFT itu sendiri.
Mulai dari nilai sebuah karya NFT, keamanan investasi, hingga pengawasan transaksi yang dilakukan. “Ada sisi yang harus dilihat pemerintah. Sumber penciptaan nilainya seperti apa, mekanisme kenaikan nilainya, gimana membedakannya sebagai investasi … pemerintah perlu turun tangan juga menjamin keamanan masyarakat,” katanya.
Editor : Dika Irawan
Pakar budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan menuturkan bahwa NFT pada dasarnya adalah produk dalam bentuk teks, gambar, suara, atau gabungan ketiganya yang dimasukkan ke ruang virtual.
Menurutnya, sebuah produk NFT dapat memiliki nilai karena ada relasi komunikasi atarpengguna atau di dalam komunitasnya. Pada kasus Ghozali, terjadi penambahan nilai lewat komunitas melalui cerita dan pengkisahan yang menarik.
“Misalnya NFT Ghozali dimiliki oleh chef Arnold. Ini akan menarik orang-orang di sekitarnya untuk punya juga. Ketika supply lebih kecil dibanding demand, sesuai hukum ekonomi akan terjadi kenaikan harga,” katanya.
Peluang Baru
Firman, yang juga merupakan Founder Literos mengatakan bahwa NFT saat ini masih didominasi oleh benda seni dan kolektibel. Artinya, para pelaku insan kreatif bisa memanfaatkan fenomena ini sebagai ladang baru.Dia melanjutkan kendati merupakan aset digital, non-fungible token memang bisa menciptakan nilai ekonomi riil. Bagaimana pun, produk utama yang menjadikannya memiliki harga adalah nilai dan informasi yang terkandung di dalamnya. Jadi membentuk nilai dan membangun ekosistem menjadi hal penting untuk terjun ke dunia NFT.
Menurutnya, fenomena maraknya masyarakat Indonesia yang mengunggah swafotonya dengan harapan bisa menjadi the next Ghozali ini merupakan tahapan atau era honeymoon yang tidak akan bertahan lama.
“Ini hanya honeymoon saja [booming-nya NFT Ghozali]. Nanti 3 sampai 4 bulan lagi saya kira akan turun juga animonya. Nah, mereka yang tekun dengan karya yang otentik itu yang akan bertahan,” katanya.
Ancaman
Di satu sisi memiliki nilai potensi atau peluang, di sisi lain NFT juga bisa menjadi ancaman bagi para produsen dan konsumen. Firman mengingatkan bahwa harga sebuah NFT terbentuk dari pertukaran nilai di antara komunitas.Jadi, ketika ada sentimen negatif yang melingkupi produsen dan karyanya, bisa terjadi cancel culture dan nilainya akan turun drastis. Ini tidak hanya merugikan pembuat karya, tapi juga para konsumen yang menjadi pemilik dari NFT tersebut.
Oleh sebab itu, dia menyebut pemerintah sebagai regulator diharapkan bisa hadir di ekosistem ini. Untuk saat ini, lanjutnya, setidaknya pemerintah bisa melakukan edukasi mengenai NFT itu sendiri.
Mulai dari nilai sebuah karya NFT, keamanan investasi, hingga pengawasan transaksi yang dilakukan. “Ada sisi yang harus dilihat pemerintah. Sumber penciptaan nilainya seperti apa, mekanisme kenaikan nilainya, gimana membedakannya sebagai investasi … pemerintah perlu turun tangan juga menjamin keamanan masyarakat,” katanya.
Editor : Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.