Menyulap Tanah Daerah Konflik Jadi Resto Saung di Jantho Aceh
20 January 2022 |
15:00 WIB
1
Like
Like
Like
Perjalanan dari Banda Aceh ke Jantho kini terasa makin dekat dengan adanya akses Jalan Tol Sibanceh. Hanya dengan menempuh jarak 40 Km, Anda sudah tiba di kota tempat pahlawan Aceh, Cut Nyak Dhien dibesarkan.
Siang itu, Minggu, 22 Agustus 2021, langit di Kota Jantho tampak cerah, lalu lintas sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di depan Masjid Al-Munawarah. Berkat rekomendasi kerabat, penulis hari itu terpikat mengunjungi Restaurant 'Riung Gunung' yang berada di Jalan Langsat, Desa Jantho Baru, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar.
Perjalanan dari Kota Jantho menuju Desa Jantho Baru menempuh jarak 5,7 km atau kisaran 13 menit. Di zaman serba terkoneksi maya, lewat mesin pencari Google dan etalase media sosial membuat semua menjadi mudah, lokasi yang dulu susah ditemui, kini hanya butuh kelihaian jari.
Seperti penulis, tiba di Resto 'Riung Gunung' berkat bantuan Google Maps. Melewati kantor Mahkamah Syariah Jantho, menyusuri jalan aspal yang berliku dan mendaki dimulai. Panorama lembah Jantho mulai menemani perjalanan, kiri-kanan yang ada pepohonan yang besar, tumbuh di antara pegunungan yang gagah, sesekali tikungan patah ke kiri, kadang juga ke kanan.
Pegunungan yang indah seakan melindungi Kota Jantho dari keramaian dan polusi kota. Setelah ratusan meter, penulis sempat hampir tersesat, karena kehilangan jaringan internet, namun bantuan warga sekitar kembali memuluskan perjalanan hingga melaju memasuki Jalan Langsat. Akhirnya, tidak jauh dari situ, penulis tiba di resto Riung Gunung.
Pamflet papan nama bertuliskan 'Pondok Makan dan Kolam Pemancingan Riung Gunung' terpampang dipinggir jalan, memudahkan setiap pelanggan yang datang. Sedikit belok ke kanan, buntu, di situlah lokasi Resto Riung Gunung dengan luas tanah ribuan meter persegi dan dikelilingi pemandangan alam pegunungan di Desa Jantho Baru.
Desa Jantho Baru merupakan permukiman yang terbentuk setelah para transmigran dari Pulau Jawa ditempatkan di areal hutan Jantho. Di kompleks transmigrasi inilah kini beberapa tempat wisata kuliner mulai bisa ditemukan. Namun, tidak banyak yang bertahan, lokasi yang lumayan jauh menjadi alasan.
Serba kuning ! berdiri di depan pagar, desain resto Riung Gunung terlihat begitu alami. Di sebelah kanan pagar, ada mushola dengan konstruksi bangunan kayu berwarna kuning, sedikit berjalan kedepan pohon markisa tumbuh subur menjalar di antara bambu kuning, jadi peneduh untuk mereka yang melintas.
Disampingnya, ada batu alam lengkap dengan tulisan, 'Pondok Makan dan Kolam Pemancingan Riung Gunung diresmikan oleh Bupati Aceh Besar, Dr. Tgk. Bukhari Daud, MA pada 6 Maret 2008'.
Ada sekitar sepuluh pondok lesehan yang juga berkonstruksi dari kayu berwarna kuning dibangun di atas kolam ikan. Setiap pondok diberi nama yang diambil dari nama-nama ikan, pondok Koi, Mujair dan lain sebagainya. Sembari menunggu pesanan, para pelanggan bisa bebas memancing di kolam untuk menghibur diri. Di kolam ada ikan mas, mujair, gurami, dan nila.
Konsep restaurant ini menyerupai di Puncak Bogor, pondok makanan dengan penyajian bersaung-saung dan pemandangan yang alami dikelilingi pegunungan.
Supervisor Resto Riung Gunung, Fitri Anggraini, 27 tahun, kepada penulis, menjelaskan nama resto diambil dari bahasa Sunda. Riung memiliki arti duduk atau berkumpul. Jadi Riung Gunung berarti, berkumpul di gunung.
"Ini bisnis orang tua, saya hanya mengelola. Ibu asal dari Sunda. Nama Ayah, Saiful Amri, usia 50-an asal dari Aceh Timur. Nama tempat ini kebetulan diambil dari bahasa asal daerah Ibu," jelas Fitri mengawali obrolan.
Sesuai dengan tulisan di batu alam, resto ini sudah diresmikan sejak tahun 2008 atau berusia 13 tahun. Bukan mudah, kata Fitri, menyulap tanah daerah konflik menjadi bisnis resto yang dikenal hingga kesejumlah Kabupaten/Kota di Aceh.
Tiga tahun setelah diresmikan baru ada orang yang tahu, hanya bermodal strategi marketing MLM alias Mulut Lewat Mulut. Kini pelanggannya sudah ada yang dari Bireuen, Aceh Utara, Pidie hingga Aceh Jaya. Mereka khusus kesana untuk menikmati hidangan makan siang dan memancing bersama keluarga.
"Awalnya gak kepikiran untuk buka bisnis,
Ayah beli tanah disini pas masih jaman konflik dulu. Masih belum ada apa-apa. Sampai habis tsunami 2004, Ayah belum terpikir untuk buka bisnis disini. Tiba-tiba spontan aja Ayah pengen buka resto pada tahun 2008 disini," ujar Fitri.
"Awalnya, belum ada kolam renang. Dulu kebun di sini. Kolam renang dibuat saat bisnis udah berjalan," tambahnya.
Menurut pengakuan Fitri, Resto Riung Gunung ramai dikunjungi pelanggan yang membawa keluarga pada saat weekend, Sabtu dan Minggu. Sementara Senin sampai Jumat, kebanyakan pegawai dari kantor pemerintahan di Kota Jantho. Ada yang dari kantor Bupati, Polres dan Kodam Jantho.
Kadang, pada momen tertentu seperti hari lebaran, tahun baru dan libur nasional lainnya, banyak pelanggan yang sengaja datang dari luar seperti dari Sigli, Bireuen dan Lamno. Resto Riung Gunung juga menerima family gathering tapi tidak untuk hari weekend, melainkan hari biasa dari Senin-Jumat.
"Ayah lebih sering stay di sini, kami tinggal di Rukoh, Banda Aceh. Paling kemari Sabtu dan Minggu kami kemari juga. Namun, hari ini Ayah sedang ada kegiatan diluar," ungkap Fitri.
Resto Riung Gunung buka setiap hari mulai pukul 10.00 WIB tutup pukul 17.30 WIB. Hidangan mulai djsiapkan pukul 12.00. Untuk itu, Resto Riung Gunung menggunakan sistem booking. Soalnya butuh proses panjang untuk memasak ikan segar.
"Diambil dulu, dibersihin dulu, disiapin dulu, jadi makanya kita buat sistem booking. Karena kalau sekalian datang semua seperti hari ini, hari ini banyak yang datang langsung daripada booking, makanya lama jadinya. Pas datang tinggal hidang," tegas Fitri.
Fitri menyebutkan omzet perhari mencapai Rp9 juta-12 juta perhari (weekend). Sementara, hari biasa di bawah angka tersebut. Lebih lanjut, kata Fitri, menu spesial di Resto Riung Gunung yaitu ikan emas dan gurame, baik di bakar maupun asam manis. Keduanya pilihan yang tepat untuk disantap. Sebagian ikan emas dibudidayakan sendiri dan sebagiannya lagi diambil dari Medan.
Soal harga juga bisa dibilang sangat ekonomis. Misalnya saja gurami bakar pesanan hanya Rp65.000 per setengah kilogram. Selain dibakar dan asam manis, ikan-ikan air tawar itu ada juga yang digoreng. Tinggal pilih saja mana yang kamu sukai.
"Ikan ambil di Medan daerah Binjai, Deli Tua. Disana ada orang yang ambil. Ambil ikan tergantung habisnya. Kalau gurame bisa seminggu sekali. Kalau ikan mas tergantung, karena ikan mas sekali kirim 900 kg," ungkap Fitri.
Salah seorang pelanggan, Muhammad Hafizh, mengatakan resto Riung Gunung terletak sangat jauh dari Kota Banda Aceh. Lelah perjalanan terbayar lunas ketika tiba disini. Namun, Hafizh mengaku pelayanan di resto Riung Gunung sangat lamban. Sehingga, dia hanya memutuskan untuk memesan kelapa muda.
"Pelayanannya sangat lamban, mungkin karena weekend dan saya juga tidak booking dulu. Saya dengar-dengar tadi rupanya harus booking dulu. Ini juga baru pertama kali saya kesini," tegas Hafizh sedikit kesal.
Siang itu, Minggu, 22 Agustus 2021, langit di Kota Jantho tampak cerah, lalu lintas sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas di depan Masjid Al-Munawarah. Berkat rekomendasi kerabat, penulis hari itu terpikat mengunjungi Restaurant 'Riung Gunung' yang berada di Jalan Langsat, Desa Jantho Baru, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar.
Perjalanan dari Kota Jantho menuju Desa Jantho Baru menempuh jarak 5,7 km atau kisaran 13 menit. Di zaman serba terkoneksi maya, lewat mesin pencari Google dan etalase media sosial membuat semua menjadi mudah, lokasi yang dulu susah ditemui, kini hanya butuh kelihaian jari.
Seperti penulis, tiba di Resto 'Riung Gunung' berkat bantuan Google Maps. Melewati kantor Mahkamah Syariah Jantho, menyusuri jalan aspal yang berliku dan mendaki dimulai. Panorama lembah Jantho mulai menemani perjalanan, kiri-kanan yang ada pepohonan yang besar, tumbuh di antara pegunungan yang gagah, sesekali tikungan patah ke kiri, kadang juga ke kanan.
Pegunungan yang indah seakan melindungi Kota Jantho dari keramaian dan polusi kota. Setelah ratusan meter, penulis sempat hampir tersesat, karena kehilangan jaringan internet, namun bantuan warga sekitar kembali memuluskan perjalanan hingga melaju memasuki Jalan Langsat. Akhirnya, tidak jauh dari situ, penulis tiba di resto Riung Gunung.
Pamflet papan nama bertuliskan 'Pondok Makan dan Kolam Pemancingan Riung Gunung' terpampang dipinggir jalan, memudahkan setiap pelanggan yang datang. Sedikit belok ke kanan, buntu, di situlah lokasi Resto Riung Gunung dengan luas tanah ribuan meter persegi dan dikelilingi pemandangan alam pegunungan di Desa Jantho Baru.
Desa Jantho Baru merupakan permukiman yang terbentuk setelah para transmigran dari Pulau Jawa ditempatkan di areal hutan Jantho. Di kompleks transmigrasi inilah kini beberapa tempat wisata kuliner mulai bisa ditemukan. Namun, tidak banyak yang bertahan, lokasi yang lumayan jauh menjadi alasan.
Serba kuning ! berdiri di depan pagar, desain resto Riung Gunung terlihat begitu alami. Di sebelah kanan pagar, ada mushola dengan konstruksi bangunan kayu berwarna kuning, sedikit berjalan kedepan pohon markisa tumbuh subur menjalar di antara bambu kuning, jadi peneduh untuk mereka yang melintas.
Disampingnya, ada batu alam lengkap dengan tulisan, 'Pondok Makan dan Kolam Pemancingan Riung Gunung diresmikan oleh Bupati Aceh Besar, Dr. Tgk. Bukhari Daud, MA pada 6 Maret 2008'.
Salah seorang pelayan di Resto Riung Gunung sedang mengantar pesanan pelanggan (Sumber gambar: DokPri)
Ada sekitar sepuluh pondok lesehan yang juga berkonstruksi dari kayu berwarna kuning dibangun di atas kolam ikan. Setiap pondok diberi nama yang diambil dari nama-nama ikan, pondok Koi, Mujair dan lain sebagainya. Sembari menunggu pesanan, para pelanggan bisa bebas memancing di kolam untuk menghibur diri. Di kolam ada ikan mas, mujair, gurami, dan nila.
Konsep restaurant ini menyerupai di Puncak Bogor, pondok makanan dengan penyajian bersaung-saung dan pemandangan yang alami dikelilingi pegunungan.
Supervisor Resto Riung Gunung, Fitri Anggraini, 27 tahun, kepada penulis, menjelaskan nama resto diambil dari bahasa Sunda. Riung memiliki arti duduk atau berkumpul. Jadi Riung Gunung berarti, berkumpul di gunung.
"Ini bisnis orang tua, saya hanya mengelola. Ibu asal dari Sunda. Nama Ayah, Saiful Amri, usia 50-an asal dari Aceh Timur. Nama tempat ini kebetulan diambil dari bahasa asal daerah Ibu," jelas Fitri mengawali obrolan.
Sesuai dengan tulisan di batu alam, resto ini sudah diresmikan sejak tahun 2008 atau berusia 13 tahun. Bukan mudah, kata Fitri, menyulap tanah daerah konflik menjadi bisnis resto yang dikenal hingga kesejumlah Kabupaten/Kota di Aceh.
Tiga tahun setelah diresmikan baru ada orang yang tahu, hanya bermodal strategi marketing MLM alias Mulut Lewat Mulut. Kini pelanggannya sudah ada yang dari Bireuen, Aceh Utara, Pidie hingga Aceh Jaya. Mereka khusus kesana untuk menikmati hidangan makan siang dan memancing bersama keluarga.
"Awalnya gak kepikiran untuk buka bisnis,
Ayah beli tanah disini pas masih jaman konflik dulu. Masih belum ada apa-apa. Sampai habis tsunami 2004, Ayah belum terpikir untuk buka bisnis disini. Tiba-tiba spontan aja Ayah pengen buka resto pada tahun 2008 disini," ujar Fitri.
"Awalnya, belum ada kolam renang. Dulu kebun di sini. Kolam renang dibuat saat bisnis udah berjalan," tambahnya.
Menurut pengakuan Fitri, Resto Riung Gunung ramai dikunjungi pelanggan yang membawa keluarga pada saat weekend, Sabtu dan Minggu. Sementara Senin sampai Jumat, kebanyakan pegawai dari kantor pemerintahan di Kota Jantho. Ada yang dari kantor Bupati, Polres dan Kodam Jantho.
Kadang, pada momen tertentu seperti hari lebaran, tahun baru dan libur nasional lainnya, banyak pelanggan yang sengaja datang dari luar seperti dari Sigli, Bireuen dan Lamno. Resto Riung Gunung juga menerima family gathering tapi tidak untuk hari weekend, melainkan hari biasa dari Senin-Jumat.
"Ayah lebih sering stay di sini, kami tinggal di Rukoh, Banda Aceh. Paling kemari Sabtu dan Minggu kami kemari juga. Namun, hari ini Ayah sedang ada kegiatan diluar," ungkap Fitri.
Resto Riung Gunung buka setiap hari mulai pukul 10.00 WIB tutup pukul 17.30 WIB. Hidangan mulai djsiapkan pukul 12.00. Untuk itu, Resto Riung Gunung menggunakan sistem booking. Soalnya butuh proses panjang untuk memasak ikan segar.
"Diambil dulu, dibersihin dulu, disiapin dulu, jadi makanya kita buat sistem booking. Karena kalau sekalian datang semua seperti hari ini, hari ini banyak yang datang langsung daripada booking, makanya lama jadinya. Pas datang tinggal hidang," tegas Fitri.
Fitri menyebutkan omzet perhari mencapai Rp9 juta-12 juta perhari (weekend). Sementara, hari biasa di bawah angka tersebut. Lebih lanjut, kata Fitri, menu spesial di Resto Riung Gunung yaitu ikan emas dan gurame, baik di bakar maupun asam manis. Keduanya pilihan yang tepat untuk disantap. Sebagian ikan emas dibudidayakan sendiri dan sebagiannya lagi diambil dari Medan.
Soal harga juga bisa dibilang sangat ekonomis. Misalnya saja gurami bakar pesanan hanya Rp65.000 per setengah kilogram. Selain dibakar dan asam manis, ikan-ikan air tawar itu ada juga yang digoreng. Tinggal pilih saja mana yang kamu sukai.
"Ikan ambil di Medan daerah Binjai, Deli Tua. Disana ada orang yang ambil. Ambil ikan tergantung habisnya. Kalau gurame bisa seminggu sekali. Kalau ikan mas tergantung, karena ikan mas sekali kirim 900 kg," ungkap Fitri.
Salah seorang pelanggan, Muhammad Hafizh, mengatakan resto Riung Gunung terletak sangat jauh dari Kota Banda Aceh. Lelah perjalanan terbayar lunas ketika tiba disini. Namun, Hafizh mengaku pelayanan di resto Riung Gunung sangat lamban. Sehingga, dia hanya memutuskan untuk memesan kelapa muda.
"Pelayanannya sangat lamban, mungkin karena weekend dan saya juga tidak booking dulu. Saya dengar-dengar tadi rupanya harus booking dulu. Ini juga baru pertama kali saya kesini," tegas Hafizh sedikit kesal.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.