Ilustrasi ibu menyusui (Sumber Gambar: Unsplash)

Tekanan Saat Menyusui Sebabkan Risiko Postpartum Depression, Ini Cara Mengatasinya

13 January 2022   |   12:38 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Usai melahirkan dan menjadi seorang ibu tentu memberi kebahagiaan tersendiri bagi seorang wanita. Namun, di tengah kebahagiaan tersebut, tak sedikit ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan atau postpartum depresssion. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah kesulitan saat menyusui.

Perjuangan dalam menyusui terasa sulit bukan karena menghadapi sang bayi, tetapi akibat tekanan dari orang-orang sekitar yang memengaruhi mental seorang ibu.

Ini sejalan dengan suvei yang dilakukan oleh Teman Bumil pada lebih dari 2.000 moms di seluruh Indonesia bahwa 71,4% moms menghadapi tantangan menyusui yang tidak mereka perkirakan sebelumnya.

Faktor terbesar yang membuat mereka kesulitan menyusui, diakui oleh 52,3% responden, adalah tekanan mental. Hal ini berbentuk kekhawatiran ASI kurang, tekanan dari orang sekitar, serta tidak percaya diri.

Tidak jarang, inilah yang bisa memicu sindrom baby blues hingga postpartum depression (PPD) bila tidak ditangani dengan baik.

Kaitan antara menyusui dan depresi bukan asumsi belaka. Dalam Jurnal Nursing for Women's Health 2011, dijelaskan bahwa tekanan psikologis untuk menyusui secara eksklusif, bisa berkontribusi pada gejala depresi pascapartum pada ibu baru yang tidak dapat mencapai niat menyusui mereka.Dalam studi tersebut, ditemukan moms dengan pengalaman menyusui yang negatif, lebih mungkin mengalami gejala depresi.

Psikolog keluarga dari President Special Needs Center, Cecilia H.E Sinaga mengatakan perasaan negatif seperti marah atau sedih yang dirasakan oleh ibu baru, bisa dipicu oleh beberapa faktor. Misalnya saja ada perasaan gagal, tidak sempurna, bahkan marah kepada diri sendiri yang dialami wanita yang berada di masa transisi menjadi ibu.

“Hal itu bisa datang dari ekspektasi kita sebagai wanita ketika melihat media sosial, atau mudahnya mengakses informasi. Terkadang kita lupa, bahwa di balik usaha keras kita, tetap Tuhan yang menentukan,” ujarnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka menerima kenyataan yang ada menjadi langkah pertama yang penting dilakukan oleh ibu mana pun, terutama ketika kondisi yang dihadapi tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Selain itu, minimnya dukungan emosional dari lingkungan terdekat juga ikut memengaruhi. “Inilah mengapa diperlukan kehadiran nyata seorang suami, serta lingkungan keluarga yang positif agar pengalaman menyusui menjadi menyenangkan,” paparnya.

Lalu, seberapa berbahaya jika ibu menyusui mengalami gangguan kesehatan mental yang berkepanjangan?

“Baby blues dan PPD sangat berbahaya. Karena saat anak lahir, dunia anak adalah ibunya. Secara otomatis anak akan terus bergantung pada ibunya 24 jam sehari,” ujarnya.

Karen itulah dia menyarankan ibu yang mengalami gangguan mental, sebaiknya segera mencari bantuan, baik dari pihak keluarga maupun tenaga profesional. Sebab, ketika ibu dalam kondisi mental yang kurang baik, koneksi antaribu dan anak menjadi kurang baik.

“Artinya, Mums bisa saja memperlakukan anaknya dengan kurang baik, seperti memarahi, mengabaikan, juga bisa menolak untuk menyusui. Bahkan dalam kondisi yang ekstrem, beberapa Mums saja terpikir untuk menyakiti anaknya,” ujarnya.

Di sinilah peran suami dan lingkungan keluarga, sangat memengaruhi pembentukan masa menyusui yang positif. Pikiran yang rileks adalah elemen utama yang paling memengaruhi produksi ASI para Mums, dibandingkan asupan makanan dan kecukupan asupan cairan.

Namun terlepas dari itu semua, Cecilia menekankan satu hal yang patut diingat para ibu, demi menjaga kesehatan mental mereka adalah menanamkan prinsip bahwa banyak atau sedikitnya ASI, seorang ibu tetaplah ibu yang baik.

“Berikan afirmasi pada diri sendiri bahwa kita adalah ibu yang baik. Ingat, ibu yang baik tidak diukur dari berapa lama menyusui atau banyak ASI-nya. Tetapi, dilihat dari bagaimana kita bisa memberikan kasih sayang secara tulus, bisa memberikan energi yang positif dan bahagia kepada anak kita, memberikan pengasuhan, dan lain-lain. Jadi, tetaplah mengapresiasi diri sendiri karena telah memberikan yang terbaik untuk anak, bagaimanapun kondisinya dan banyaknya,” terangnya.

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Simak 3 Langkah Mencegah Defisiensi Vitamin D

BERIKUTNYA

Informasi Lengkap Booster Vaksin Covid-19: Apa itu Homolog & Heterolog, Jenis Vaksin, dan Tempat Pelaksanaan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: