Peneliti Temukan Spesies Baru Anggrek Akar Tak Berdaun di Aceh
28 March 2025 |
18:00 WIB
Keragaman hayati di Indonesia sepertinya tak pernah habis dieksplorasi. Terbaru Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berhasil menemukan spesies baru anggrek akar tak berdaun endemik Sumatera dari genus Chiloschista (Orchidaceae), yang diberi nama Chiloschista Tjiasmantoi Metusala.
Peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Destario Metusala, dalam keterangan tertulis mengatakan, beberapa individu anggrek Chiloschista ditemukan tumbuh epifit pada pepohonan di perkebunan semi-terbuka yang berdekatan dengan hutan.
Dari segi pemerian, anggrek tersebut didominasi oleh tumpukan akar fotosintetik yang warnanya menyerupai warna kulit batang pepohonan sehingga membuatnya sulit terlihat. Oleh karena itu, lanjut Destario, kemunculan organ bunganya yang kecil menjadi sangat penting untuk mendeteksi keberadaannya.
"Nama Chiloschista tjiasmantoi disematkan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto atas dukungannya terhadap upaya pelestarian flora di Indonesia, khususnya Aceh," katanya.
Baca juga: Peneliti Temukan Spesies Baru Cecak Jarilengkung, Diberi Nama Pecel Madiun
Destario menjelaskan, spesimen berbunga yang saat ini telah dikoleksi dan diobservasi menunjukkan ciri khas morfologi bunga yang berbeda dengan spesies Chiloschista lainnya, terutama C. javanica dan C. sweelimii.
Hasil observasi juga mengonfirmasi bahwa anggrek dari Aceh tersebut merupakan spesies baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya, sekaligus menjadi catatan pertama keberadaan anggrek Chiloschista di Pulau Sumatra.
Lebih lanjut, Destario mengungkap, penyebutan anggrek tak berdaun dikarenakan sepanjang daur hidupnya, anggrek tersebut dalam kondisi tanpa organ daun. “Semisal pun ditemukan daun, ukurannya amat sangat kecil, itu pun hanya 1-2 helai saja dan akan segera gugur,” ucapnya.
Adapun salah satu genus yang ada di dalam kelompok anggrek tak berdaun adalah genus Chiloschista. Genus ini pertama kali dideskripsikan pada 1832 dan kini mencakup 30 spesies yang tersebar dari Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia.
Spesies ini umumnya ditemukan pada ketinggian 700–1000 m dpl, tumbuh menempel di batang pepohonan yang tua pada habitat semi-terbuka, berangin, dan lembap. Musim berbunga biasanya terjadi pada pertengahan Juli serta awal November hingga akhir Desember.
Di kalangan pehobi tanaman hias, anggrek jenis ini lebih dikenal dengan nama anggrek akar, mengingat penampakannya seperti sekumpulan akar-akar berwarna kehijauan. Hasil penelitian anggrek tersebut, kata Destario juga telah dipublikasikan dalam jurnal PhytoKeys.
“Anggrek spesies baru ini telah berevolusi secara unik dengan mereduksi organ daunnya secara ekstrem sehingga proses fisiologi penting seperti fotosintesis dilakukan pada organ akarnya. Keunikan ini membuka peluang riset lanjutan untuk menelisik berbagai aspek biologinya” paparnya.
Namun, karena makin hancurnya alam di Indonesia, Destario menyebutkan bahwa anggrek C. Tjiasmantoi masuk dalam kategori genting (Endangered) menurut kriteria IUCN Redlist. Hal itu karena diperkirakan luas area sebaran dan jumlah populasi yang terbatas, serta ancaman ekspansi perkebunan dan perubahan iklim.
Sebelumnya, Indonesia diketahui hanya memiliki 4 spesies Chiloschista yang dapat ditemukan di Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Hingga kini, belum ada catatan keberadaan anggrek Chiloschista dari Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
“Perluasan kawasan lindung di Aceh perlu segera dilakukan untuk melestarikan berbagai spesies tumbuhan yang terancam kepunahan, terutama spesies unik yang hanya ada di Provinsi Aceh,” tandas Destario.
Baca juga: Ada Efisiensi, Penelitian Gunung Padang Akan Pakai Skema Public Private Partnership
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Destario Metusala, dalam keterangan tertulis mengatakan, beberapa individu anggrek Chiloschista ditemukan tumbuh epifit pada pepohonan di perkebunan semi-terbuka yang berdekatan dengan hutan.
Dari segi pemerian, anggrek tersebut didominasi oleh tumpukan akar fotosintetik yang warnanya menyerupai warna kulit batang pepohonan sehingga membuatnya sulit terlihat. Oleh karena itu, lanjut Destario, kemunculan organ bunganya yang kecil menjadi sangat penting untuk mendeteksi keberadaannya.
"Nama Chiloschista tjiasmantoi disematkan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto atas dukungannya terhadap upaya pelestarian flora di Indonesia, khususnya Aceh," katanya.
Baca juga: Peneliti Temukan Spesies Baru Cecak Jarilengkung, Diberi Nama Pecel Madiun
Di kalangan penghobi tanaman hias, anggrek jenis ini lebih dikenal dengan nama anggrek akar (sumber gambar: BRIN)
Hasil observasi juga mengonfirmasi bahwa anggrek dari Aceh tersebut merupakan spesies baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya, sekaligus menjadi catatan pertama keberadaan anggrek Chiloschista di Pulau Sumatra.
Lebih lanjut, Destario mengungkap, penyebutan anggrek tak berdaun dikarenakan sepanjang daur hidupnya, anggrek tersebut dalam kondisi tanpa organ daun. “Semisal pun ditemukan daun, ukurannya amat sangat kecil, itu pun hanya 1-2 helai saja dan akan segera gugur,” ucapnya.
Adapun salah satu genus yang ada di dalam kelompok anggrek tak berdaun adalah genus Chiloschista. Genus ini pertama kali dideskripsikan pada 1832 dan kini mencakup 30 spesies yang tersebar dari Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Australia.
Terancam Punah
Destario menjelaskan bahwa anggrek C. tjiasmantoi memiliki kuntum bunga dengan lebar 1-1.2 cm dan berwarna kuning dengan pola bintik jingga atau kemerahan. Dalam satu tangkai perbungaan yang panjang, dapat menghasilkan hingga 30 kuntum bunga yang mekar secara simultan.Spesies ini umumnya ditemukan pada ketinggian 700–1000 m dpl, tumbuh menempel di batang pepohonan yang tua pada habitat semi-terbuka, berangin, dan lembap. Musim berbunga biasanya terjadi pada pertengahan Juli serta awal November hingga akhir Desember.
Di kalangan pehobi tanaman hias, anggrek jenis ini lebih dikenal dengan nama anggrek akar, mengingat penampakannya seperti sekumpulan akar-akar berwarna kehijauan. Hasil penelitian anggrek tersebut, kata Destario juga telah dipublikasikan dalam jurnal PhytoKeys.
“Anggrek spesies baru ini telah berevolusi secara unik dengan mereduksi organ daunnya secara ekstrem sehingga proses fisiologi penting seperti fotosintesis dilakukan pada organ akarnya. Keunikan ini membuka peluang riset lanjutan untuk menelisik berbagai aspek biologinya” paparnya.
Namun, karena makin hancurnya alam di Indonesia, Destario menyebutkan bahwa anggrek C. Tjiasmantoi masuk dalam kategori genting (Endangered) menurut kriteria IUCN Redlist. Hal itu karena diperkirakan luas area sebaran dan jumlah populasi yang terbatas, serta ancaman ekspansi perkebunan dan perubahan iklim.
Sebelumnya, Indonesia diketahui hanya memiliki 4 spesies Chiloschista yang dapat ditemukan di Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Hingga kini, belum ada catatan keberadaan anggrek Chiloschista dari Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua.
“Perluasan kawasan lindung di Aceh perlu segera dilakukan untuk melestarikan berbagai spesies tumbuhan yang terancam kepunahan, terutama spesies unik yang hanya ada di Provinsi Aceh,” tandas Destario.
Baca juga: Ada Efisiensi, Penelitian Gunung Padang Akan Pakai Skema Public Private Partnership
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.