Tips Mengelola Keuangan Pasca Perceraian
25 May 2021 |
18:33 WIB
Dalam sebuah ikatan perkawinan, tentunya kita berharap akan langgeng, betul enggak Genhype. Namun, kenyataan yang terjadi kadang-kadang berbeda dengan harapan, hingga akhirnya terjadilah perceraian. Siapa pun yang pernah mengalami perceraian paham seberapa sulit kondisi itu dan bisa merasa kewalahan.
Meskipun menjaga diri sendiri secara mental dan emosional adalah prioritas utama, perceraian juga dapat berdampak kondisi finansial kedua pasangan yang mengalaminya sehingga perlu pengelolaan yang baik.
Selama menikah, pasangan suami istri (pasutri) yang sama-sama bekerja memiliki penghasilan ganda. Namun, setelah bercerai, harus bisa memenuhi kebutuhan sendiri dengan penghasilan yang diterima masing-masing.
Sementara itu, untuk pasangan yang hanya memiliki satu pendapatan dan tidak memiliki bekal finansial, tentu saja perpisahan akan membuatnya harus menanggung hidup dengan bekerja sendiri.
Kondisi tersebut tentu saja harus bisa dihadapi. Salah satunya, dengan menyesuaikan ulang gaya hidup setelah bercerai. Sehingga, jangan sampai kehidupan Anda menjadi lebih sengsara dibandingkan dengan saat masih berstatus menikah.
Karena itu, sebaiknya Genhype juga mengetahui cara mempersiapkan dan mengelola keuangan supaya tidak bangkrut pasca bercerai.
Berikut sejumlah tips dari Perencana Keuangan sekaligus Financial Educator dari Lifepal, Aulia Akbar, CFP.
1. Ketahui aset-aset yang jadi hak kalian.
Hal pertama yang perlu kalian lakukan pascabercerai dengan pasangan adalah mencari tahu jumlah aset-aset kalian.
Menurut Pasal 35 UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa “Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Jelas sekali bahwa, ketika salah satu pasangan hendak menjual “aset yang mereka dapat semenjak perkawinan,” maka dia wajib meminta izin dari pasangannya.
Harta bersama itulah yang akhirnya yang seringkali disebut harta gana-gini. Dan bukan tidak mungkin, harta tersebut menjadi potensi masalah yang paling utama muncul ketika pasangan suami istri memutuskan untuk berpisah, terutama bagi mereka yang tidak memiliki perjanjian pisah harta.
Namun, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga menyebutkan bahwa ada sebagian harta yang bukan termasuk dalam golongan harta bersama, yaitu:
a. Harta bawaan yang sudah dimiliki masing-masing pasangan (suami atau istri) sebelum menikah.
b. Harta perolehan atau harta milik suami maupun istri setelah menikah dan didapatkan dari hibat, wasiat, atau warisan.
Ketika terjadi perceraian, dua harta tadi tetap menjadi milik pribadi masing-masing. Di luar kategori harta itu, maka termasuk harta gono-gini yang wajib dibagi ketika terjadi perceraian.
Karena itu, buatlah daftar mengenai aset-aset yang Anda miliki lewat sebuah neraca keuangan. Simpan baik-baik bukti akan kepemilikan aset tersebut.
2. Hati-hati dengan utang
Ketika seorang yang sudah menikah hendak mengajukan utang ke lembaga keuangan, maka lembaga keuangan tentu akan meminta persetujuan terlebih dulu ke pasangan. Namun jika seorang itu memiliki perjanjian pisah harta, maka dia hanya perlu menyertakan salinan dari perjanjian itu ke lembaga keuangan.
Utang tentu bisa menjadi masalah besar dalam pernikahan, terutama bila pasutri mengajukan utang untuk membeli aset. Anggap saja, mereka mengajukan KPR dan selama proses cicilan, mereka patungan untuk membayarnya.
Sangat dianjurkan bila utang-utang tersebut “diselesaikan dengan harta bersama yang ada”, sebelum harta bersama dibagikan. Mereka bisa saja melunasi rumah tersebut itu dengan harta bersama lalu menjualnya, lalu sisa keuntungan dari penjualan itu akan dibagi.
3. Miliki asuransi jiwa
Bila telah dikaruniai momongan dari mantan pasangan Anda, ingatlah bahwa perceraian tidak akan mengubah status legal seorang anak. Anak Anda akan tetap menjadi ahli waris sah Anda.
Itulah sebabnya, wajib bagi Genhype untuk memiliki asuransi jiwa. Asuransi jiwa akan menjadi perlindungan terbaik terhadap risiko finansial yang muncul di saat si pencari nafkah kehilangan kemampuan untuk mencari mendapatkan penghasilan.
Uang pertanggungan dari asuransi jiwa bisa dimanfaatkan anak untuk membiayai hidupnya, atau membayar segala proses balik nama aset yang diwariskan di kemudian hari.
4. Tetap kelola pengeluaran dengan baik
Bagi pasangan yang dulu menerapkan sistem joint income dalam keluarga, perceraian akan berdampak pada kondisi keuangan kalian.
Atur baik-baik pengeluaran Genhype dengan menyusun laporan arus kas pribadi. Pastikan pengeluaran tak melebihi pemasukan, sediakan dana darurat, dan proteksi.
Memanfaatkan fitur cek keuangan dari Lifepal untuk menentukan cara terbaik menyelesaikan dan mengelola keuangan setelah bercerai.
5. Penuhi tunjangan anak
Adapun tujuan finansial orangtua selain menyediakan dana pensiun adalah melihat sang anak mendapatkan akses pendidikan yang baik dan sukses di kemudian hari.
Kehadiran anak dalam keluarga menjadi tanggung jawab pasutri meskipun keduanya memutuskan untuk bercerai. Meski telah diatur oleh undang-undang bahwa kewajiban terkait tunjangan anak di mana seorang suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab lebih besar, dalam kenyataannya tuntutan yang sama besar ini harus ditanggung pihak istri.
Dengan kondisi tersebut, maka harus menjadi hal penting bagi pasangan yang akan bercerai membuat perjanjian yang fungsinya mempertegas kewajiban mantan pasangan dalam menanggung tunjangan anak. Sehingga, kewajiban terkait tunjangan anak ini tidak menggugurkan kewajiban sang ayah maupun ibu.
Bahkan, ketika perjanjian itu mengatakan bahwa tanggung jawabnya dibagi berdua, harus dirinci apa saja yang menjadi alokasi kewajiban sang ayah dan ibu.
Editor: Indyah Sutriningrum
Meskipun menjaga diri sendiri secara mental dan emosional adalah prioritas utama, perceraian juga dapat berdampak kondisi finansial kedua pasangan yang mengalaminya sehingga perlu pengelolaan yang baik.
Selama menikah, pasangan suami istri (pasutri) yang sama-sama bekerja memiliki penghasilan ganda. Namun, setelah bercerai, harus bisa memenuhi kebutuhan sendiri dengan penghasilan yang diterima masing-masing.
Sementara itu, untuk pasangan yang hanya memiliki satu pendapatan dan tidak memiliki bekal finansial, tentu saja perpisahan akan membuatnya harus menanggung hidup dengan bekerja sendiri.
Kondisi tersebut tentu saja harus bisa dihadapi. Salah satunya, dengan menyesuaikan ulang gaya hidup setelah bercerai. Sehingga, jangan sampai kehidupan Anda menjadi lebih sengsara dibandingkan dengan saat masih berstatus menikah.
Karena itu, sebaiknya Genhype juga mengetahui cara mempersiapkan dan mengelola keuangan supaya tidak bangkrut pasca bercerai.
Berikut sejumlah tips dari Perencana Keuangan sekaligus Financial Educator dari Lifepal, Aulia Akbar, CFP.
1. Ketahui aset-aset yang jadi hak kalian.
Hal pertama yang perlu kalian lakukan pascabercerai dengan pasangan adalah mencari tahu jumlah aset-aset kalian.
Menurut Pasal 35 UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa “Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
Jelas sekali bahwa, ketika salah satu pasangan hendak menjual “aset yang mereka dapat semenjak perkawinan,” maka dia wajib meminta izin dari pasangannya.
Harta bersama itulah yang akhirnya yang seringkali disebut harta gana-gini. Dan bukan tidak mungkin, harta tersebut menjadi potensi masalah yang paling utama muncul ketika pasangan suami istri memutuskan untuk berpisah, terutama bagi mereka yang tidak memiliki perjanjian pisah harta.
Namun, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga menyebutkan bahwa ada sebagian harta yang bukan termasuk dalam golongan harta bersama, yaitu:
a. Harta bawaan yang sudah dimiliki masing-masing pasangan (suami atau istri) sebelum menikah.
b. Harta perolehan atau harta milik suami maupun istri setelah menikah dan didapatkan dari hibat, wasiat, atau warisan.
Ketika terjadi perceraian, dua harta tadi tetap menjadi milik pribadi masing-masing. Di luar kategori harta itu, maka termasuk harta gono-gini yang wajib dibagi ketika terjadi perceraian.
Karena itu, buatlah daftar mengenai aset-aset yang Anda miliki lewat sebuah neraca keuangan. Simpan baik-baik bukti akan kepemilikan aset tersebut.
2. Hati-hati dengan utang
Ketika seorang yang sudah menikah hendak mengajukan utang ke lembaga keuangan, maka lembaga keuangan tentu akan meminta persetujuan terlebih dulu ke pasangan. Namun jika seorang itu memiliki perjanjian pisah harta, maka dia hanya perlu menyertakan salinan dari perjanjian itu ke lembaga keuangan.
Utang tentu bisa menjadi masalah besar dalam pernikahan, terutama bila pasutri mengajukan utang untuk membeli aset. Anggap saja, mereka mengajukan KPR dan selama proses cicilan, mereka patungan untuk membayarnya.
Sangat dianjurkan bila utang-utang tersebut “diselesaikan dengan harta bersama yang ada”, sebelum harta bersama dibagikan. Mereka bisa saja melunasi rumah tersebut itu dengan harta bersama lalu menjualnya, lalu sisa keuntungan dari penjualan itu akan dibagi.
3. Miliki asuransi jiwa
Bila telah dikaruniai momongan dari mantan pasangan Anda, ingatlah bahwa perceraian tidak akan mengubah status legal seorang anak. Anak Anda akan tetap menjadi ahli waris sah Anda.
Itulah sebabnya, wajib bagi Genhype untuk memiliki asuransi jiwa. Asuransi jiwa akan menjadi perlindungan terbaik terhadap risiko finansial yang muncul di saat si pencari nafkah kehilangan kemampuan untuk mencari mendapatkan penghasilan.
Uang pertanggungan dari asuransi jiwa bisa dimanfaatkan anak untuk membiayai hidupnya, atau membayar segala proses balik nama aset yang diwariskan di kemudian hari.
4. Tetap kelola pengeluaran dengan baik
Bagi pasangan yang dulu menerapkan sistem joint income dalam keluarga, perceraian akan berdampak pada kondisi keuangan kalian.
Atur baik-baik pengeluaran Genhype dengan menyusun laporan arus kas pribadi. Pastikan pengeluaran tak melebihi pemasukan, sediakan dana darurat, dan proteksi.
Memanfaatkan fitur cek keuangan dari Lifepal untuk menentukan cara terbaik menyelesaikan dan mengelola keuangan setelah bercerai.
5. Penuhi tunjangan anak
Adapun tujuan finansial orangtua selain menyediakan dana pensiun adalah melihat sang anak mendapatkan akses pendidikan yang baik dan sukses di kemudian hari.
Kehadiran anak dalam keluarga menjadi tanggung jawab pasutri meskipun keduanya memutuskan untuk bercerai. Meski telah diatur oleh undang-undang bahwa kewajiban terkait tunjangan anak di mana seorang suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab lebih besar, dalam kenyataannya tuntutan yang sama besar ini harus ditanggung pihak istri.
Dengan kondisi tersebut, maka harus menjadi hal penting bagi pasangan yang akan bercerai membuat perjanjian yang fungsinya mempertegas kewajiban mantan pasangan dalam menanggung tunjangan anak. Sehingga, kewajiban terkait tunjangan anak ini tidak menggugurkan kewajiban sang ayah maupun ibu.
Bahkan, ketika perjanjian itu mengatakan bahwa tanggung jawabnya dibagi berdua, harus dirinci apa saja yang menjadi alokasi kewajiban sang ayah dan ibu.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.