Menonton Film yang Skornya Buruk di Agregator? Ini Kata Kritikus
09 November 2021 |
20:32 WIB
Eternals, film terbaru Marvel Cinematic Universe, sudah banyak dibicarakan bahkan sebelum filmnya tayang 10 November nanti. Selain terkait penundaannya, salah satu yang juga jadi buah bibir adalah mengenai ratingnya di review film aggregator, seperti Rotten Tomatoes, IMDb, dan Metacritic.
Film karya Chloe Zhao tersebut mendapat rating buruk. Per 8 November 2021, Eternals mendapat skor 48% (kritikus) & 81% (audiens) di Rotten Tomatoes; 6.9 di IMDb; dan 53 (kritikus) & 55 (user) di Metacritic.
Angka tersebut, khususnya 48% di Tomatometer, adalah yang terburuk dibandingkan dengan film-film MCU lainnya. Sebelum Eternals, predikat film MCU ‘terburuk’ dimiliki oleh Thor: The Dark World, dengan rating 66% di Tomatometer.
Jika pembuatnya adalah sutradara yang punya reputasi buruk, tentu hal itu takkan jadi pembicaraan. Akan tetapi, Chloe Zhao, sutradara Eternals, bukanlah filmmaker sembarangan.
Zhao memenangkan Oscar di kategori penyutradaraan terbaik lewat film Nomadland pada 2021. Nomadland sendiri memiliki berbagai prestasi mengagumkan, mulai dari Best Picture Oscar hingga film terbaik di BAFTA dan Golden Globes.
Menurut kritikus film, Adrian Jonathan, gap antara penilaian subjektif seseorang dan rating di aggregator memang adalah permasalahan lama dalam film.
“Cukup sering, in both ways. Bisa 'bagus' di agregrator tapi ternyata 'jelek' pas nonton langsung, dan sebaliknya. Enggak tahu mana yang lebih sering,” ucapnya kepada Hypeabis.id.
Adrian sendiri mengaku dirinya tidak mempertimbangkan nilai agregator sebagai motivasi menonton. Selama ini ia mengecek nilai di agregator hanya untuk mengetahui 'selera publik'.
Menurut kritikus yang karya ulasannya dinominasikan di ajang FFI 2021 ini, agregator penonton hanya mewakili segelintir selera, yakni kalangan yang punya cukup modal dalam menyetir nilai dan memiliki kultur internet serta menonton yang mapan.
“Asumsi gue, [masyarakat] Eropa dan Amerika Serikat. Dari Asia paling di Asia Timur. Dengan begitu, meski ada potensi keragaman, kemungkinan besar tetap mengerucut sih selera penilaiannya,” ucapnya.
Agregator kritikus pun demikian. Untuk film bioskop, tumpuan utamanya secara umum ada pada ekosistem media Amerika Utara, paling jauh Eropa, yang menurut beberapa literatur didominasi laki-laki, kulit putih, dan berusia 30 hingga 40 tahun.
Lewat refleksi itu, Adrian pribadi lantas tidak pernah menganggap serius angka-angka di agregator. Dia lebih memilih untuk membuktikan dengan menonton sendiri.
“Karena, selain pengalaman menonton sulit dikuantifikasi, sampel penilaian di agregator jgua muter di situ-situ aja,” ucap founder Cinema Poetica tersebut..
Namun, ia juga tidak menyalahkan orang yang mengikuti atau terpengaruh oleh rating di aggregator. Baginya, apresiasi dari agregator adalah kepraktisan, khususnya buat penonton film yang mencari film 'selera populer'
“Agregator memudahkan kalangan penonton itu. Lebih dari itu, ya sebatas barometer sederhana saja sih menurut gue,” katanya.
Editor Fajar Sidik
Film karya Chloe Zhao tersebut mendapat rating buruk. Per 8 November 2021, Eternals mendapat skor 48% (kritikus) & 81% (audiens) di Rotten Tomatoes; 6.9 di IMDb; dan 53 (kritikus) & 55 (user) di Metacritic.
Angka tersebut, khususnya 48% di Tomatometer, adalah yang terburuk dibandingkan dengan film-film MCU lainnya. Sebelum Eternals, predikat film MCU ‘terburuk’ dimiliki oleh Thor: The Dark World, dengan rating 66% di Tomatometer.
Jika pembuatnya adalah sutradara yang punya reputasi buruk, tentu hal itu takkan jadi pembicaraan. Akan tetapi, Chloe Zhao, sutradara Eternals, bukanlah filmmaker sembarangan.
Zhao memenangkan Oscar di kategori penyutradaraan terbaik lewat film Nomadland pada 2021. Nomadland sendiri memiliki berbagai prestasi mengagumkan, mulai dari Best Picture Oscar hingga film terbaik di BAFTA dan Golden Globes.
The Rotten Tomatoes score isn't everything. #Eternals pic.twitter.com/ZbuutmiABw
— Binge Watch This (@BingeWatchThis_) November 5, 2021
Menurut kritikus film, Adrian Jonathan, gap antara penilaian subjektif seseorang dan rating di aggregator memang adalah permasalahan lama dalam film.
“Cukup sering, in both ways. Bisa 'bagus' di agregrator tapi ternyata 'jelek' pas nonton langsung, dan sebaliknya. Enggak tahu mana yang lebih sering,” ucapnya kepada Hypeabis.id.
Adrian sendiri mengaku dirinya tidak mempertimbangkan nilai agregator sebagai motivasi menonton. Selama ini ia mengecek nilai di agregator hanya untuk mengetahui 'selera publik'.
Menurut kritikus yang karya ulasannya dinominasikan di ajang FFI 2021 ini, agregator penonton hanya mewakili segelintir selera, yakni kalangan yang punya cukup modal dalam menyetir nilai dan memiliki kultur internet serta menonton yang mapan.
“Asumsi gue, [masyarakat] Eropa dan Amerika Serikat. Dari Asia paling di Asia Timur. Dengan begitu, meski ada potensi keragaman, kemungkinan besar tetap mengerucut sih selera penilaiannya,” ucapnya.
Agregator kritikus pun demikian. Untuk film bioskop, tumpuan utamanya secara umum ada pada ekosistem media Amerika Utara, paling jauh Eropa, yang menurut beberapa literatur didominasi laki-laki, kulit putih, dan berusia 30 hingga 40 tahun.
Lewat refleksi itu, Adrian pribadi lantas tidak pernah menganggap serius angka-angka di agregator. Dia lebih memilih untuk membuktikan dengan menonton sendiri.
“Karena, selain pengalaman menonton sulit dikuantifikasi, sampel penilaian di agregator jgua muter di situ-situ aja,” ucap founder Cinema Poetica tersebut..
Namun, ia juga tidak menyalahkan orang yang mengikuti atau terpengaruh oleh rating di aggregator. Baginya, apresiasi dari agregator adalah kepraktisan, khususnya buat penonton film yang mencari film 'selera populer'
“Agregator memudahkan kalangan penonton itu. Lebih dari itu, ya sebatas barometer sederhana saja sih menurut gue,” katanya.
Editor Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.