Ilustrasi cancel culture (Dok. Markus Winkler dari Unsplash)

Bikin Selebriti Meredup, Apa Itu Cancel Culture?

31 October 2021   |   21:52 WIB

Karier seorang figur publik tidak hanya bergantung pada talenta atau usia. Kadang, citra dan tindak tanduk sehari-hari juga berpengaruh, terlebih pada era media sosial seperti sekarang, ketika kabar keburukan seseorang bisa menyebar dalam hitungan detik. Hal ini kini kerap digambarkan sebagai: cancel culture.

Dalam kamus Merriam-Webster, cancel culture adalah praktik atau kecenderungan melakukan boikot massal sebagai cara menyampaikan ketidaksetujuan dan menerapkan tekanan sosial. Belakangan, cancel culture identik dengan memboikot selebritis dan karya-karyanya.

Menurut ProCon.org, sosok yang di-cancel pada umumnya mengalami atau di-call-out lebih dahulu. Pada zaman media sosial, call-out marak terjadi di media sosial, di mana korban atau orang yang mengetahui keburukan seorang selebritis mengungkapnya ke publik.

Call-out culture sendiri berbeda dari cancel culture. Call-out masih berupa persebaran informasi awal. Kadang, call-out tersebut menguat karena disertai bukti; kadang juga dibantah sehingga hanya berakhir menjadi rumor. 

Salah satu bentuk call-out culture yang sempat ramai dibicarakan adalah gerakan #MeToo di media sosial. 
Dalam gerakan tersebut, para perempuan mengungkap pengalamannya dilecehkan, untuk menunjukkan besarnya masalah kekerasan seksual di dunia. Tak sedikit yang terang-terangan menyebut siapa pelakunya.

“Itu [gerakan #MeToo] mungkin adalah fenomena calling-out terbesar yang pernah kita lihat,” ucap Oscar Schwartz dalam tulisannya di Ethics.org.

Setelah informasi keburukan seseorang itu bergulir dan membesar, baru muncullah tindakan-tindakan untuk melakukan cancel terhadap orang yang disebut.

Upaya cancel ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, menekan organisasi tempat selebritis bernaung, media yang menampilkannya, hingga produk memakainya sebagai duta atau bintang iklan. Jika selebritis tersebut memiliki bisnis, cancel culture juga bisa menjelma jadi pemboikotan.
 
Tindakan cancel ini pun bisa dilakukan oleh individu maupun organisasi. Ketika ramai Saiful Jamil hadir di televisi, misalnya, Angga Dwimas Sasongko menolak untuk memberikan izin siar filmnya kepada media-media yang masih menampilkan Saiful Jamil.
 
Dengan melakukan cancel ini, tindakan buruk serupa diharapkan tidak terjadi lagi. Selain itu, ini juga adalah cara publik mengontrol media mengenai siapa yang layak dan tidak layak tampik ke publik.

Efeknya, tentu saja adalah jasa selebritis yang di-cancel akan jarang digunakan. Dalam kasus Kim Seonho, misalnya, ada 3 proyek yang memutuskan untuk tidak jadi menggunakan jasanya.

Meski kerap dianggap membuat jera selebritis, cancel culture tentunya juga memiliki sisi buruk yang kurang disetujui orang-orang.

Menurut ProCon, cancel culture kadang dapat menimbulkan kekerasan yang tidak setimpal dengan keburukan yang dilakukan si selebritis. Ada beberapa selebritis yang misalnya mendapat ancaman pembunuhan akibat di-callout dan di-cancel, sementara perbuatannya dinilai tak 'separah itu'.

Cancel culture juga kadang justru diterapkan kepada orang yang sekadar ‘berbeda pandangan’. Seorang selebritis, misalnya, ada yang di-cancel hanya karena memiliki atau mendukung suatu gagasan tertentu. Ini lantas justru bertolak belakang dengan nilai demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Nah, kalau Genhype berada di sisi yang mana nih, mendukung atau menolak cancel culture?

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Yuk Ikut Lomba Mendongeng Museum Kebaharian Jakarta x Maritim Muda Nusantara

BERIKUTNYA

Yuk Kenali Istilah dalam Informasi Cuaca, Apa Itu La Nina & El Nino?

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: