Genhype, Ini Dia Risiko Pemicu Infeksi di Bekas Operasi
28 October 2021 |
15:00 WIB
Prosedur bedah perlu kehati-hatian, begitu pula saat masa pemulihan. Jika tidak diperhatikan dengan matang, lokasi tempat operasi bisa menjadi infeksi. Faktanya, infeksi daerah operasi (IDO) masih merupakan masalah serius dan menjadi tantangan bagi spesialis bedah di negara berkembang.
IDO merupakan infeksi yang terjadi di daerah operasi dalam kurun waktu 30 hari pascabedah. Bahkan infeksi tersebut bisa terjadi hingga 1 tahun apabila tindakan bedah menggunakan implan.
Spesialis Bedah Konsultan Bedah Digestif dr. Warsinggih menjelaskan terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko IDO. Misalnya pasien dengan komorbid meliputi hiperglikemia (tingginya kadar glukosa darah yang tidak terkendali), gizi buruk, obesitas, gangguan sirkulasi iskemia (kekurangan suplai oksigen ke organ atau jaringan), hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dan hipotermia (suhu tubuh rendah).
Namun demikian, obesitas menjadi faktor risiko utama. Orang dengan obesitas memiliki kemungkinan terpapar IDO sebesar 1 sampai 4 kali lipat. “Peningkatan massa lemak mengakibatkan lemahnya sistim imun sehingga pasien rentan terhadap infeksi,” tegasnya dalam diskusi virtual yang digelar Essity Indonesia, Kamis (28/10/2021).
Lingkungan ruang operasi seperti personil bedah dan operasi emergency/cito juga menjadi faktor risiko IDO. Untuk itu, agar hasil operasi yang maksimal, semua spesialis bedah yang terlibat dalam perawatan luka pascaoperasi harus memahami dan melakukan pengawasan dalam proses penyembuhan luka operasi termasuk pemilihan balutan pascabedah.
“Faktor lain itu mikroorganisme, ada jenis bakteri resisten pemicu IDO,” ujarnya.
Singgih menjelaskan dalam tatalaksana, spesialis bedah yang menangani pasien harus melakukan penggantian balutan dan membersihkan luka 48 jam pascabedah dan melakukan perawatan luka menggunakan balutan interaktif (modern dressing, advanced dressing) yang dilakukan secara selektif dan sesuai indikasi.
Pasien atau keluarganya juga perlu diberitahu untuk menjaga kondisi luka operasi agar tetap terjaga dengan baik.
Di negara berkembang IDO terjadi 8 persen-30 persen dari semua pasien yang menjalani prosedur bedah dan menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas setelah operasi.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) dr. Andi Asadul Islam, mengatakan IDO menyebabkan kematian 3 kali lipat dan beban biaya lebih tinggi karena durasi rawat inap yang signifikan, serta diperlukannya intervensi medis tambahan seperti operasi ulang.
Oleh karena itu, untuk mencegah kerugian akibat IDO dan memperlambat laju resistensi antibiotik, menurutnya diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai sektor kesehatan.
IKABI lantas meluncurkan clinical practice guideline (CPG) IDO sebagai tata laksana bedah baik bagi dokter spesialis bedah juga dokter spesialis lainnya di seluruh Indonesia.
Ketua Tim Editor CPG IDO dr. Syahrifil Syahar menyampaikan tim penyusun CPG IDO terdiri dari 13 dokter bedah perwakilan OPLB yang ditunjuk oleh IKABI. Tim penyusun resmi mulai bekerja mulai Desember 2020 dan selesai pada Mei 2021.
“Kami melakukan review intensif terhadap lebih 275 artikel penelitian ilmiah dan guideline terkait IDO yang dimuat dalam publikasi ilmiah dari seluruh dunia. Penyusunan rekomendasi berdasarkan CPG terbaik yang disesuaikan dengan karakteristik Indonesia,” tuturnya.
Tahap akhir penyusunan juga melibatkan pihak eksternal sebagai peninjau materi secara keseluruhan sebelum akhirnya ditetapkan. CPG ini katanya menghasilkan 47 pernyataan yang dilengkapi dengan rekomendasi-rekomendasi. Adapun pokok bahasan pada CPG meliputi beberapa hal, antara lain pencegahan dan tata laksana seperti prabedah, intrabedah, dan pascabedah.
“Beberapa hal yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian IDO juga dijabarkan dalam CPG IDO ini,” kata Syahar.
Editor: Indyah Sutriningrum
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.