Upaya Generasi Muda Suku Kamoro Lestarikan Budaya Leluhur
28 October 2021 |
06:21 WIB
Jika dibandingkan dengan kayu ulin yang bisa bertahan selama ratusan tahun dan tidak mudah lapuk dengan perubahan cuaca hingga serangan rayap, budaya pada sebuah masyarakat lebih rentan untuk mengalami kepunahan. Kesadaran ini menggerakkan banyak generasi muda untuk melanjutkan warisan budaya leluhurnya.
Salah satunya adalah Hengky Wiriyu, seniman suku Kamoro, yang menceritakan bagaimana dia sebagai pemuda Kamoro mengambil peran untuk melestarikan budaya leluhurnya. Lelaki suku Kamoro yang tinggal di pesisir selatan Kabupaten Mimika, Papua, punya kewajiban untuk meneruskan warisan budaya leluhur mereka yakni menjadi pemahat.
Memasuki usia 10 tahun, mereka sudah mulai diperkenalkan dengan karya ukiran yang menjadi identitas suku Kamoro. Tidak hanya cara membuatnya tetapi juga makna di setiap motifnya. Sampai dengan umur 18 tahun, pemuda Kamoro akhirnya dapat mengemban tugas untuk mengukir motif-motif khas pada kayu ulin, atau yang disebut kayu besi oleh masyarakat setempat.
Setiap ukiran karya suku Kamoro melambangkan makna yang erat kaitannya dengan alam dan nilai luhur. Kalau Genhype perhatikan, ada banyak aksen hewan seperti buaya, ular dan ikan pada ukiran mereka.
Seniman, pelestari budaya dan Ketua Maramowe Foundation Herman Kiripi menjelaskan bahwa patung Wemawe diukir dengan memperhatikan detil khusus pada motif dan bentuk, terlebih ini adalah persembahan dari generasi penerus untuk mengenang leluhur.
(Baca juga: Nadiem Makarim Ajak Masyarakat Beli Karya Seniman Indonesia)
Selain Wemawe, ukiran terkenal karya seniman Kamoro antara lain Mbitoro, Yamate hingga Etae atau Noken.
Disebutkan Kal Muller dalam buku berjudul Pesisir Selatan Papua, suku Kamoro percaya bahwa leluhur mereka datang ke tanah Papua dalam bentuk kadal raksasa atau naga yang berasal dari Australia sekitar 20.000 tahun lalu.
Menurut legenda ini seekor naga besar pernah memakan semua penduduk sebuah desa kecuali seorang wanita hamil yang melahirkan seorang putra, Mbiro-koteyau, yang berhasil membunuh naga itu dan memotongnya menjadi beberapa bagian.
(Baca juga: Dari 250, Kini Tinggal 3 Suku di Pesisir Papua yang Aktif Berkarya Seni Ukir)
Setiap bagian menjadi pendiri ras yang berbeda. Dalam mitos asal ini seluruh dunia diturunkan dari naga ini termasuk orang Eropa, China, India dan Afrika. Jadi, dalam legenda Kamoro, kita semua berasal dari Papua.
"Lelaki suku Kamoro tidak bisa sembarangan mengukir bentuk. Setiap bentuk pada ukiran seperti Wemawe misalnya, melambangkan garis keturunan leluhur pengukirnya. Seperti karya saya yang menunjukkan ukiran buaya, karena saya memiliki garis keturunan itu, saya tidak bisa membuat ukiran ikan atau yang lain," ujar Hengky.
Ini bukan pertama kalinya karya ukiran suku Kamoro dipamerkan di luar Mimika. Sebelumnya Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe dan seniman setempat juga sudah beberapa kali ikut serta yang dilaksanakan di sejumlah kota seperti Jakarta dan Yogyakarta.
Selama 10 tahun terakhir, Hengky sudah memproduksi 10 karya ukiran. Dia juga membawa dua ukiran ke Kamoro Art Exhibition & Sale 2021 yang dilaksanakan di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, pada 27-29 Oktober 2021 ini.
Menurutnya butuh waktu 1 sampai 2 hari untuk mengerjakan ukiran berukuran kecil, sedangkan untuk ukiran besar setidaknya butuh waktu 7 hari pengerjaan. Itu pun kalau mereka sedang tidak disibukkan dengan pekerjaan lain.
Meski demikian, semangat pemuda suku Kamoro untuk melestarikan dan memperkenalkan warisan budaya leluhur mereka begitu kuat.
Ukiran Kamoro menampilkan keanggunan luhur yang mencerminkan budaya kuno mereka sebagai pemburu serta berbagai cerita legenda yang menjadi bagian dari mereka.
Bentuk persembahan para generasi muda ini menghidupkan nilai luhur yang diajarkan para pendahulunya untuk terus disampaikan kepada generasi berikutnya.
Editor: Avicenna
Salah satunya adalah Hengky Wiriyu, seniman suku Kamoro, yang menceritakan bagaimana dia sebagai pemuda Kamoro mengambil peran untuk melestarikan budaya leluhurnya. Lelaki suku Kamoro yang tinggal di pesisir selatan Kabupaten Mimika, Papua, punya kewajiban untuk meneruskan warisan budaya leluhur mereka yakni menjadi pemahat.
Memasuki usia 10 tahun, mereka sudah mulai diperkenalkan dengan karya ukiran yang menjadi identitas suku Kamoro. Tidak hanya cara membuatnya tetapi juga makna di setiap motifnya. Sampai dengan umur 18 tahun, pemuda Kamoro akhirnya dapat mengemban tugas untuk mengukir motif-motif khas pada kayu ulin, atau yang disebut kayu besi oleh masyarakat setempat.
Hengky menjelaskan fungsi dan makna di balik Bikau yang digunakan pada Tarian Bikau Kamoro. (Dok. hypeabis/NAN)
Seniman, pelestari budaya dan Ketua Maramowe Foundation Herman Kiripi menjelaskan bahwa patung Wemawe diukir dengan memperhatikan detil khusus pada motif dan bentuk, terlebih ini adalah persembahan dari generasi penerus untuk mengenang leluhur.
(Baca juga: Nadiem Makarim Ajak Masyarakat Beli Karya Seniman Indonesia)
Selain Wemawe, ukiran terkenal karya seniman Kamoro antara lain Mbitoro, Yamate hingga Etae atau Noken.
Disebutkan Kal Muller dalam buku berjudul Pesisir Selatan Papua, suku Kamoro percaya bahwa leluhur mereka datang ke tanah Papua dalam bentuk kadal raksasa atau naga yang berasal dari Australia sekitar 20.000 tahun lalu.
Menurut legenda ini seekor naga besar pernah memakan semua penduduk sebuah desa kecuali seorang wanita hamil yang melahirkan seorang putra, Mbiro-koteyau, yang berhasil membunuh naga itu dan memotongnya menjadi beberapa bagian.
(Baca juga: Dari 250, Kini Tinggal 3 Suku di Pesisir Papua yang Aktif Berkarya Seni Ukir)
Setiap bagian menjadi pendiri ras yang berbeda. Dalam mitos asal ini seluruh dunia diturunkan dari naga ini termasuk orang Eropa, China, India dan Afrika. Jadi, dalam legenda Kamoro, kita semua berasal dari Papua.
"Lelaki suku Kamoro tidak bisa sembarangan mengukir bentuk. Setiap bentuk pada ukiran seperti Wemawe misalnya, melambangkan garis keturunan leluhur pengukirnya. Seperti karya saya yang menunjukkan ukiran buaya, karena saya memiliki garis keturunan itu, saya tidak bisa membuat ukiran ikan atau yang lain," ujar Hengky.
Ini bukan pertama kalinya karya ukiran suku Kamoro dipamerkan di luar Mimika. Sebelumnya Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe dan seniman setempat juga sudah beberapa kali ikut serta yang dilaksanakan di sejumlah kota seperti Jakarta dan Yogyakarta.
Detil ukiran pada Wemawe. (Dok. Bisnis/Himawan L. Nugeaha)
Selama 10 tahun terakhir, Hengky sudah memproduksi 10 karya ukiran. Dia juga membawa dua ukiran ke Kamoro Art Exhibition & Sale 2021 yang dilaksanakan di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, pada 27-29 Oktober 2021 ini.
Menurutnya butuh waktu 1 sampai 2 hari untuk mengerjakan ukiran berukuran kecil, sedangkan untuk ukiran besar setidaknya butuh waktu 7 hari pengerjaan. Itu pun kalau mereka sedang tidak disibukkan dengan pekerjaan lain.
Meski demikian, semangat pemuda suku Kamoro untuk melestarikan dan memperkenalkan warisan budaya leluhur mereka begitu kuat.
Ukiran Kamoro menampilkan keanggunan luhur yang mencerminkan budaya kuno mereka sebagai pemburu serta berbagai cerita legenda yang menjadi bagian dari mereka.
Bentuk persembahan para generasi muda ini menghidupkan nilai luhur yang diajarkan para pendahulunya untuk terus disampaikan kepada generasi berikutnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.