Kisah Kendra Hilty dan Fenomena Transference dalam Proses Terapi
08 August 2025 |
17:00 WIB
Seorang pengguna TikTok, Kendra Hilty, membagikan kisah pribadinya yang menyita perhatian warganet. Dalam unggahannya, dia menceritakan awal mula dirinya melakukan self-diagnose mengidap ADHD sebelum akhirnya memutuskan berkonsultasi dengan psikiater.
Semula, proses terapi berjalan lancar. Menurut Kendra, psikiaternya kerap membuatnya tertawa, mengingat detail kecil tentang dirinya, dan menciptakan suasana nyaman saat sesi berlangsung. Pernah suatu kali, waktu konsultasi ditambah beberapa menit, dan momen itu membuatnya merasa istimewa.
Baca juga: 4 Alasan Gen Z Memilih Curhat dengan AI, Salah Satunya Trust Issue
Perasaan tersebut makin menguat setelah Kendra menceritakannya kepada ChatGPT yang dia beri nama Henry. Menurutnya, Henry memvalidasi tanda-tanda yang dia rasakan, seolah memberi isyarat bahwa psikiater itu juga menyukainya. Selama setahun menjalani sesi daring, Kendra pun memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya langsung ketika konsultasi tatap muka.
Cerita ini menuai banyak komentar di TikTok. Sebagian pengguna menganggap hubungan tersebut sudah melampaui batas profesional antara pasien dan psikiater. Tak sedikit pula yang menyarankan Kendra untuk mempertimbangkan berpindah ke psikiater lain.
Fenomena seperti yang dialami Kendra dikenal dalam dunia psikologi sebagai transference. Menurut laman Verywell Mind, transference adalah kondisi ketika perasaan, keinginan, atau ekspektasi yang seharusnya ditujukan kepada figur lain, justru diarahkan kepada terapis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari rasa kagum, kedekatan emosional, hingga ketertarikan romantis.
Ahli psikoterapi menyebut transference merupakan bagian wajar dari hubungan terapeutik. Hal ini dapat terjadi karena interaksi yang intens dan sifat terapi yang mendorong keterbukaan emosi. Dalam sesi, terapis sering menjadi pendengar yang penuh perhatian, konsisten, dan non-judgmental. Kombinasi faktor ini dapat memicu asosiasi emosional yang mirip dengan hubungan dekat di luar ruang terapi.
Jenis transference sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Ada positive transference, ketika pasien menempatkan terapis pada posisi ideal dan penuh simpati, sehingga muncul rasa nyaman atau bahkan jatuh cinta. Ada pula negative transference, ketika pasien memproyeksikan kekecewaan atau kemarahan terhadap terapis, biasanya dipicu oleh pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan.
Dinamika ini tidak hanya terjadi pada pasien. Dunia psikoterapi juga mengenal istilah countertransference, yakni respons emosional terapis terhadap pasien yang dipengaruhi oleh pengalaman atau perasaan pribadi terapis. Countertransference bisa muncul dalam bentuk simpati berlebihan, rasa ingin melindungi pasien, reaksi negatif yang tidak proporsional, hingga ketertarikan personal.
Sama seperti transference, hal ini sering terjadi secara tidak sadar. Profesional di bidang kesehatan mental dilatih untuk mengenali dan mengelola countertransference agar tidak memengaruhi objektivitas terapi. Jika dibiarkan, hubungan terapeutik bisa tergelincir menjadi hubungan personal yang melampaui batas etika.
Ketika transference dan countertransference sama-sama kuat, banyak ahli menyarankan evaluasi ulang hubungan terapeutik. Salah satu langkah yang umum diambil adalah transfer psikiater, yaitu memindahkan proses terapi ke profesional lain.
Langkah ini membantu menjaga objektivitas, menghindari potensi konflik emosional, dan memastikan pasien tetap mendapat dukungan yang sehat secara emosional maupun etis. Transfer bukan berarti terapi sebelumnya gagal, melainkan bagian dari menjaga proses pemulihan tetap efektif dan profesional.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Semula, proses terapi berjalan lancar. Menurut Kendra, psikiaternya kerap membuatnya tertawa, mengingat detail kecil tentang dirinya, dan menciptakan suasana nyaman saat sesi berlangsung. Pernah suatu kali, waktu konsultasi ditambah beberapa menit, dan momen itu membuatnya merasa istimewa.
Baca juga: 4 Alasan Gen Z Memilih Curhat dengan AI, Salah Satunya Trust Issue
Perasaan tersebut makin menguat setelah Kendra menceritakannya kepada ChatGPT yang dia beri nama Henry. Menurutnya, Henry memvalidasi tanda-tanda yang dia rasakan, seolah memberi isyarat bahwa psikiater itu juga menyukainya. Selama setahun menjalani sesi daring, Kendra pun memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya langsung ketika konsultasi tatap muka.
Cerita ini menuai banyak komentar di TikTok. Sebagian pengguna menganggap hubungan tersebut sudah melampaui batas profesional antara pasien dan psikiater. Tak sedikit pula yang menyarankan Kendra untuk mempertimbangkan berpindah ke psikiater lain.
Fenomena seperti yang dialami Kendra dikenal dalam dunia psikologi sebagai transference. Menurut laman Verywell Mind, transference adalah kondisi ketika perasaan, keinginan, atau ekspektasi yang seharusnya ditujukan kepada figur lain, justru diarahkan kepada terapis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari rasa kagum, kedekatan emosional, hingga ketertarikan romantis.
Ahli psikoterapi menyebut transference merupakan bagian wajar dari hubungan terapeutik. Hal ini dapat terjadi karena interaksi yang intens dan sifat terapi yang mendorong keterbukaan emosi. Dalam sesi, terapis sering menjadi pendengar yang penuh perhatian, konsisten, dan non-judgmental. Kombinasi faktor ini dapat memicu asosiasi emosional yang mirip dengan hubungan dekat di luar ruang terapi.
Jenis transference sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Ada positive transference, ketika pasien menempatkan terapis pada posisi ideal dan penuh simpati, sehingga muncul rasa nyaman atau bahkan jatuh cinta. Ada pula negative transference, ketika pasien memproyeksikan kekecewaan atau kemarahan terhadap terapis, biasanya dipicu oleh pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan.
Dinamika ini tidak hanya terjadi pada pasien. Dunia psikoterapi juga mengenal istilah countertransference, yakni respons emosional terapis terhadap pasien yang dipengaruhi oleh pengalaman atau perasaan pribadi terapis. Countertransference bisa muncul dalam bentuk simpati berlebihan, rasa ingin melindungi pasien, reaksi negatif yang tidak proporsional, hingga ketertarikan personal.
Sama seperti transference, hal ini sering terjadi secara tidak sadar. Profesional di bidang kesehatan mental dilatih untuk mengenali dan mengelola countertransference agar tidak memengaruhi objektivitas terapi. Jika dibiarkan, hubungan terapeutik bisa tergelincir menjadi hubungan personal yang melampaui batas etika.
Ketika transference dan countertransference sama-sama kuat, banyak ahli menyarankan evaluasi ulang hubungan terapeutik. Salah satu langkah yang umum diambil adalah transfer psikiater, yaitu memindahkan proses terapi ke profesional lain.
Langkah ini membantu menjaga objektivitas, menghindari potensi konflik emosional, dan memastikan pasien tetap mendapat dukungan yang sehat secara emosional maupun etis. Transfer bukan berarti terapi sebelumnya gagal, melainkan bagian dari menjaga proses pemulihan tetap efektif dan profesional.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.