CEO Brodo Yuk kak Herlanda (sumber: Dewi Andriani)

Brodo dan Jalan Panjang Menuju Brand Lokal yang Tangguh

07 July 2025   |   08:15 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Membangun brand bukan sekadar soal punya produk bagus dan bisa dijual—apalagi di industri fashion yang dinamis dan penuh persaingan. Tapi Yukka Harlanda, CEO dan Co-Founder Brodo, membuktikan bahwa kombinasi visi, konsistensi, dan adaptasi bisa membuat brand lokal bertahan bahkan terus tumbuh selama 15 tahun.

Dari cuma lima pasang sepatu buatan Cibaduyut, Brodo kini menjelma jadi brand gaya hidup pria dengan penjualan ratusan ribu pasang sepatu per bulan. Perjalanan panjang Brodo tak selalu mulus. Ada momen di mana mereka sempat terjebak euforia ekspansi, jatuh karena pandemi, hingga menghadapi persaingan brutal dari produk impor murah.

Namun bagi Yukka, kunci bertahan bukan pada kecepatan lari, melainkan napas panjang, maraton yang dijalani lewat disiplin operasional, konsistensi branding, dan kekuatan tim yang solid.

Baca juga: Proses Desain Sepatu Brodo, dari Riset sampai Pemilihan Material Kualitas Tinggi

Bagaimana latar belakang awal terbentuknya Brodo? Apa yang menjadi pemicu Anda mulai membangun bisnis ini?
Waktu itu tahun 2010, saya masih kuliah di teknik sipil. Ada tugas dosen yang menuntut kami tampil lebih rapi dan semi formal, termasuk harus memakai sepatu kulit. Nah, ukuran kaki saya 46 atau 29,5 cm, jadi susah cari sepatu yang cocok dan terjangkau karena setiap cari sepatu pasti merek luar negeri dan harganya mahal.

Karena saya kuliah di Bandung ternyata di sana ada kawasan Cibaduyut yang memang dikenal secara kualitas pengerjaan sepatunya bagus tapi mungkin dari segi desain kurang menarik. Awalnya saya coba bikin 5 pasang sepatu karena bagus lalu saya ajak teman main basket saya, sama-sama orang Minang yang memang mau berbisnis.

Kami patungan masing-masing Rp3,5 juta jadinya Rp7 juta lalu kita coba jualan pertama kali di Pasar Seni ITB dan ternyata langsung habis. Dari situ kita pegang uang sendiri langsung merasa, kayaknya seru juga kalau kita usaha sepatu.

Pada masa awal berdiri, apakah Anda langsung menekuni Brodo secara penuh?
Setelah lulus kuliah sebagai anak sipil rencana awalnya mau kerja di sektor oil & gas atau consulting karena gajinya kan dollar. Lalu saya pikir “sebelum hidup susah, kita have fun dulu aja.” Saya kasih waktu setahun untuk Brodo.

Kalau gagal, ya saya masih 22 tahun, masih bisa cari kerja. Ternyata makin ditekuni, makin bagus karena memang momentum online saat itu juga mendukung.

Ketika orang belum banyak yang jualan online, kami sudah lebih dahulu dan ketika itu saingannya enggak banyak. Kalau pun ada ketika itu mereka kurang memperhatikan kualitas. Jadi kita dapat poinnya secara kualitas bagus dan harganya juga pas buat mahasiswa.

Bagaimana perkembangan bisnis Brodo hingga saat ini setelah berjalan hampir 15 tahun?
Namanya bisnis pasti ada naik turun. Praktis selama 7 tahun pertama itu kita memang naik terus. Nah, biasanya kalau naik terus, itu pertanda sebentar lagi akan turun karena enggak ada bisnis yang namanya naik terus, itu mustahil. Kita memang sempat sombong menganggap kalau bisnis itu mudah, padahal enggak semudah itu. Dan benar, kita sempat terlalu ambisius, investasi sana-sini kebanyakan, ekspansi besar-besaran.

Jadi akhirnya ibarat ditampar sama Tuhan, ‘enggak boleh sombong’ bahkan bisnis kita yang ketika itu sudah turun, malah turun lagi. Pas mau bangkit eh pandemi datang jadi turun lagi. Selain karena pandemi juga persaingan makin ketat. Cuma kalau ditarik garis jangka panjang memang naik turun tapi grafiknya ke atas makanya kami bisa terus bertahan.

Bagaimana porsi penjualan Brodo saat ini? Lebih dominan di online atau offline?
Nah jadi di saat sebelum pandemi, penjualan 50% online dan 50% offline karena kami punya 9 toko fisik. Tapi karena pandemi toko fisik tutup semua sehingga penjualan online 100%. Lalu pelan-pelan 2021 sampai 2022, toko ini mulai naik dan sekarang akan ekspansi toko lagi.

Saat ini kami sudah ada 11 cabang yang eksis dan target akan buka 3 cabang tambahan di Jabodetabek, termasuk Makassar. Karena 7 dari 10 pria yang kita Tanya lebih suka nyobain langsung. Saat ini secara total keseluruhan penjualan masih 80% online, jadi kami melihat potensi offline itu masih sangat besar dan harus digarap secara lebih maksimal.

Menurut Anda, apa yang menjadi kunci Brodo tetap relevan di tengah banyaknya tantangan industri?
Tiga hal yang saya pegang yaitu disiplin di operasional, konsisten di branding, dan terus adaptasi. Brodo dari awal sudah sangat konservatif dalam hal manajemen inventori, cashflow dan tata kelola keuangan serta produksi.

Branding-nya juga jelas sepatu buat cowok jadi enggak ekspansi ke cewek atau lainnya karena branding image kita tetap cowok yang memang cowok banget. Kompetitor memang ada tapi come and go. Brodo terus konsisten membuat produk yang bagus dan itu yang membuat bisnis kita bisa maraton, bukan sprint.

Dan yang tidak kalah penting adalah tim. Karena produk bagus saja enggak cukup. Harus punya tim yang solid, struktur manajemen yang rapi, tata kelola perusahaan yang benar. Karena banyak bisnis yang tidak bisa bertumbuh atau scaling up, karena bagian itu yang tidak diperhatikan.

Mengapa Brodo memutuskan untuk mulai beralih ke kategori lifestyle pria?
Iya, karena secara bisnis sepatu itu repeat order-nya rendah. Cowok biasanya beli sepatu 2-3 kali setahun, itu juga kalau rusak. Makanya kita ekspansi ke produk lain yang masih sesuai dengan positioning kita sebagai brand pria modern misalnya dompet, deodorant, parfum, pomade.  

Kita juga belajar dari trial-error. Pernah coba masuk ke lini pakaian, ternyata berat banget karena kompleksitas size dan produksi. Jadi kita pilih kategori produk yang ukurannya satuan dan bisa dipakai berulang, seperti wewangian. Karena memang dari segi keuntungan bisnis parfum tersebut lebih gede dan orang juga akan beli berulang.

Apakah kolaborasi menjadi strategi utama Brodo dalam memperkuat identitas brand?
Awalnya jujur buat cari cuan. Tapi lama-lama kita sadar, kolaborasi itu harus memperkuat narasi brand. Kita pernah kolab sama Tolak Angin, itu bukan gimmick, tapi karena kita melihat nilai-nilainya sejalan seperti heritage, Indonesia banget.

Bulan Agustus ini, kita mau kolaborasi sama Kapten Timnas, Jay Idzes untuk bikin pomade dan parfum. Strategi seperti ini yang kita dorong terus agar citra Brodo sebagai brand pria makin kuat.

Bagaimana rencana Brodo untuk ekspansi ke pasar internasional?
Sejujurnya jalan di tempat. Kita sempat buka pop-up store di Jepang, dan buka e-commerce di sana tapi hasilnya sangat minim, kompetisi dan ekspektasi di Jepang jauh lebih tinggi, dan harga sepatu di sana malah lebih murah. Kita sadar, pasar Indonesia sendiri masih sangat besar. Jadi untuk sekarang, fokus kita tetap di dalam negeri.

Menurut Anda, tantangan terbesar Brodo saat ini datang dari mana?
Bukan lagi soal brand saingan, tapi bagaimana menggeser uang belanja yang sekarang lebih banyak lari ke konser, travel, dan hiburan. Kita bersaing bukan hanya dengan sesama brand, tapi dengan gaya hidup konsumen yang makin berubah, terutama para Gen Z.

Satu lagi gempuran produk murah dari luar, terutama dari China, yang masuk lewat e-commerce. Mereka bisa jual at-cost, dan itu merusak harga pasar. Tapi di sisi lain, itu memaksa kita terus menjaga kualitas dan value produk.

Apa pesan Anda untuk para pelaku usaha muda yang ingin membangun brand seperti Brodo?
Pahami dulu kamu mau main di niche yang mana. Kalau mau brand yang sustainable, ya branding dan storytelling itu penting. Jangan cuma kejar harga murah. Branding yang kuat bikin produk lebih defensif, lebih tahan banting. Dan jangan lupa konsistensi, kesabaran, dan tim yang solid itu yang bikin bisnis bisa maraton, bukan sprint.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

SEBELUMNYA

Prospek Karier Jurusan Ilmu Perpustakaan di Indonesia

BERIKUTNYA

Dari Limbah Jadi Nilai, Cara Craftote dan Pijak Bumi Menjawab Mindful Consumerism

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: