Ari Rudenko: Mengeksplorasi Teater Tari di Antara Fosil dan Tradisi
23 June 2025 |
21:30 WIB
Nama Ari Dharminalan Rudenko kian mencuri perhatian di lanskap seni pertunjukan Indonesia. Seniman asal Amerika Serikat yang telah menetap lebih dari satu dekade di Indonesia ini turut memberi warna baru dalam blantika teater eksperimental lewat kolektif yang dia dirikan, Prehistoric Body Theater (PBT).
Berbasis di Karanganyar, Jawa Tengah, kelompok ini dikenal sebagai laboratorium seni lintas disiplin yang meramu teknik tari tradisional Nusantara dengan pendekatan paleontologi—ilmu yang mengkaji kehidupan purba melalui jejak fosil organisme yang telah punah.
Baca juga: Pertunjukan Samsara Dapat Sambutan Meriah di Perth Festival
Belum lama ini misalnya, Prehistoric berhasil membius publik Jakarta saat tampil di Art Jakarta Gardens 2025 lewat lakon Sangiran 17: Erectustopia. Tak berselang lama, mereka kembali menyihir penikmat teater di Salihara dengan lakon Ghost of Hell Creek: Stone Garuda.
Stone Garuda merupakan world premiere dari versi ringkas karya berskala besar bertema Ghosts of Hell Creek. Lakon ini terinspirasi dari penemuan fosil Acheroraptor, dinosaurus theropoda dari situs Hell Creek, Montana, Amerika Serikat.
Berdurasi 45 menit, pertunjukan ini menghidupkan kembali kisah kepunahan dan kelahiran leluhur manusia di masa prasejarah, dengan memadukan narasi tentang Pohon Kehidupan biologis, tarian yang meniru perilaku fauna purba, dan elemen tari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Versi utuh dari pertunjukan ini sebelumnya dipentaskan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2024. Bedanya, saat itu Ari membawakannya sebagai bagian dari disertasi doktoralnya dengan judul Ghost of Hell Creek: Pertunjukan Paleoart oleh Prehistoric Body Theater.
"Stone Garuda bisa dibilang versi ringkas dan lebih adaptif. Lakon ini tidak hanya untuk proskenium, tapi juga untuk berbagai jenis panggung," katanya saat ditemui Hypeabis.id belum lama ini di Salihara, Jakarta.
Setelah pentas perdana di Jakarta, Stone Garuda juga akan melanjutkan tur ke Amerika Serikat pada Juni 2025. Di sana, Prehistoric dijadwalkan tampil di Jacob’s Pillow Dance Festival, Asia Society Museum di New York City, dan mengunjungi situs Hell Creek bersama ilmuwan paleontologi.
Hell Creek merupakan formasi geologi di Montana, Amerika Serikat yang menyimpan fosil makhluk hidup dari zaman kapur akhir sekitar 66–70 juta tahun lalu. Beberapa penemuan penting di sana termasuk fosil Tyrannosaurus rex dan Triceratops.
"Di Hell Creek nantinya kami juga akan melakukan penggalian fosil bersama para ilmuwan paleontologi. Tour ini juga jadi semacam nomaden, sebab dulunya manusia hidup berpindah-pindah," imbuh Ari, yang pada 2017 sempat terlibat dalam penelitian di sana.
Gandrung Seni & Paleontologi
Sejak kecil Ari memang sudah terobsesi dengan ilmu paleontologi. Dia bahkan mengaku lebih dulu mengenal tokoh Java Man, sebutan untuk fosil manusia purba Homo erectus dari Trinil, Jawa Timur, ketimbang mengetahui tentang negara Indonesia yang kini dicintainya.
Takdir membawanya ke Nusantara lewat program beasiswa Darmasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2012 untuk mempelajari seni tari di ISI Denpasar, Bali. Ari yang sebelumnya menekuni filsafat, kemudian jatuh hati pada budaya dan tradisi lokal Indonesia.
Meski demikian, obsesinya terhadap dunia fosil tidak pernah padam. Saat mempelajari tari Manuk Rawe, dia juga membaca jurnal ilmiah tentang temuan fosil burung yang bentuknya menyerupai figur mitologis Bali, dan dari sanalah benih gagasan paleoart mulai tumbuh.
Ari mengaku, inspirasi itu datang ketika ia sedang menempuh studi Magister Seni Murni lintas disiplin. Namun karena khawatir mencederai pakem tari tradisional, ia menahan diri dan justru fokus terlebih dahulu mendalami paleontologi secara langsung di Hell Creek pada 2017.
"Setelah mempelajari anatomi dan perilaku hewan tersebut, barulah saya balik lagi ke Indonesia untuk berkolaborasi dengan penari tradisi. Sebab, di sini saya juga sudah punya pondasi untuk mempertemukan sains dan seni," imbuhnya.
Sebagai direktur artistik dari Prehistoric Body Theater, Ari telah berkolaborasi dengan sejumlah seniman lokal. Dia menggabungkan berbagai bentuk tari tradisi seperti Gandrung Banyuwangi hingga Butoh dari Jepang, untuk dieksplorasi esensinya dalam pendekatan artistik mereka.
Tak hanya berkarya, Ari juga aktif menyuarakan pendekatan interdisipliner antara seni dan sains melalui forum-forum internasional. Dia pernah mempresentasikan karyanya di konferensi Society for Integrative and Comparative Biology dan menulis di berbagai jurnal akademik.
"Ada banyak tari tradisi yang menginspirasi pertunjukan kami, mulai dari tari Manuk Rawe, Jatayu, atau Anoman, sampai Kethek Ogleng yang lebih merakyat," imbuhnya.
Setelah dari Amerika, Ari dijadwalkan ke Mentawai untuk meneliti kehidupan masyarakat adat bersama tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Penelitian ini akan menelusuri asal-usul tari tradisi di sana yang lahir dari pengamatan gerak burung-burung endemik setempat.
Baca juga: Mencari-cari Nurani di Lakon Les Justes yang Dipentaskan Teater Petra
Menurut Ari, tari tradisional seperti itu penting untuk didokumentasikan. Selain menyuguhkan narasi yang realis, koreografinya juga menawarkan cita rasa abstrak yang khas. Tujuan riset ini adalah membangun teori mengenai bagaimana masyarakat memilih pola gerak tertentu dalam tarian mereka.
"Ini juga menjadi studi pasca doktoral saya, terutama untuk koreologi, yakni dengan mendokumentasikan tarian-tarian tentang hewan yang ada di Mentawai, sebagai bentuk negosiasi hubungan antara masyarakat dengan alam di sekitarnya," pungkasnya.
Berbasis di Karanganyar, Jawa Tengah, kelompok ini dikenal sebagai laboratorium seni lintas disiplin yang meramu teknik tari tradisional Nusantara dengan pendekatan paleontologi—ilmu yang mengkaji kehidupan purba melalui jejak fosil organisme yang telah punah.
Baca juga: Pertunjukan Samsara Dapat Sambutan Meriah di Perth Festival
Belum lama ini misalnya, Prehistoric berhasil membius publik Jakarta saat tampil di Art Jakarta Gardens 2025 lewat lakon Sangiran 17: Erectustopia. Tak berselang lama, mereka kembali menyihir penikmat teater di Salihara dengan lakon Ghost of Hell Creek: Stone Garuda.
Prehistoric Body Theater melakukan gladi bersih pertunjukan Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda, di Teater Salihara, Jakarta, Jumat (16/5/25). (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Stone Garuda merupakan world premiere dari versi ringkas karya berskala besar bertema Ghosts of Hell Creek. Lakon ini terinspirasi dari penemuan fosil Acheroraptor, dinosaurus theropoda dari situs Hell Creek, Montana, Amerika Serikat.
Berdurasi 45 menit, pertunjukan ini menghidupkan kembali kisah kepunahan dan kelahiran leluhur manusia di masa prasejarah, dengan memadukan narasi tentang Pohon Kehidupan biologis, tarian yang meniru perilaku fauna purba, dan elemen tari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Versi utuh dari pertunjukan ini sebelumnya dipentaskan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2024. Bedanya, saat itu Ari membawakannya sebagai bagian dari disertasi doktoralnya dengan judul Ghost of Hell Creek: Pertunjukan Paleoart oleh Prehistoric Body Theater.
"Stone Garuda bisa dibilang versi ringkas dan lebih adaptif. Lakon ini tidak hanya untuk proskenium, tapi juga untuk berbagai jenis panggung," katanya saat ditemui Hypeabis.id belum lama ini di Salihara, Jakarta.
Setelah pentas perdana di Jakarta, Stone Garuda juga akan melanjutkan tur ke Amerika Serikat pada Juni 2025. Di sana, Prehistoric dijadwalkan tampil di Jacob’s Pillow Dance Festival, Asia Society Museum di New York City, dan mengunjungi situs Hell Creek bersama ilmuwan paleontologi.
Hell Creek merupakan formasi geologi di Montana, Amerika Serikat yang menyimpan fosil makhluk hidup dari zaman kapur akhir sekitar 66–70 juta tahun lalu. Beberapa penemuan penting di sana termasuk fosil Tyrannosaurus rex dan Triceratops.
"Di Hell Creek nantinya kami juga akan melakukan penggalian fosil bersama para ilmuwan paleontologi. Tour ini juga jadi semacam nomaden, sebab dulunya manusia hidup berpindah-pindah," imbuh Ari, yang pada 2017 sempat terlibat dalam penelitian di sana.
Gandrung Seni & Paleontologi
Sejak kecil Ari memang sudah terobsesi dengan ilmu paleontologi. Dia bahkan mengaku lebih dulu mengenal tokoh Java Man, sebutan untuk fosil manusia purba Homo erectus dari Trinil, Jawa Timur, ketimbang mengetahui tentang negara Indonesia yang kini dicintainya.
Takdir membawanya ke Nusantara lewat program beasiswa Darmasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada 2012 untuk mempelajari seni tari di ISI Denpasar, Bali. Ari yang sebelumnya menekuni filsafat, kemudian jatuh hati pada budaya dan tradisi lokal Indonesia.
Meski demikian, obsesinya terhadap dunia fosil tidak pernah padam. Saat mempelajari tari Manuk Rawe, dia juga membaca jurnal ilmiah tentang temuan fosil burung yang bentuknya menyerupai figur mitologis Bali, dan dari sanalah benih gagasan paleoart mulai tumbuh.
Ari mengaku, inspirasi itu datang ketika ia sedang menempuh studi Magister Seni Murni lintas disiplin. Namun karena khawatir mencederai pakem tari tradisional, ia menahan diri dan justru fokus terlebih dahulu mendalami paleontologi secara langsung di Hell Creek pada 2017.
"Setelah mempelajari anatomi dan perilaku hewan tersebut, barulah saya balik lagi ke Indonesia untuk berkolaborasi dengan penari tradisi. Sebab, di sini saya juga sudah punya pondasi untuk mempertemukan sains dan seni," imbuhnya.
Seniman Ari Rudenko berpose saat ditemui Hypeabis.id di Salihara, Jakarta. (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Sebagai direktur artistik dari Prehistoric Body Theater, Ari telah berkolaborasi dengan sejumlah seniman lokal. Dia menggabungkan berbagai bentuk tari tradisi seperti Gandrung Banyuwangi hingga Butoh dari Jepang, untuk dieksplorasi esensinya dalam pendekatan artistik mereka.
Tak hanya berkarya, Ari juga aktif menyuarakan pendekatan interdisipliner antara seni dan sains melalui forum-forum internasional. Dia pernah mempresentasikan karyanya di konferensi Society for Integrative and Comparative Biology dan menulis di berbagai jurnal akademik.
"Ada banyak tari tradisi yang menginspirasi pertunjukan kami, mulai dari tari Manuk Rawe, Jatayu, atau Anoman, sampai Kethek Ogleng yang lebih merakyat," imbuhnya.
Setelah dari Amerika, Ari dijadwalkan ke Mentawai untuk meneliti kehidupan masyarakat adat bersama tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Penelitian ini akan menelusuri asal-usul tari tradisi di sana yang lahir dari pengamatan gerak burung-burung endemik setempat.
Baca juga: Mencari-cari Nurani di Lakon Les Justes yang Dipentaskan Teater Petra
Menurut Ari, tari tradisional seperti itu penting untuk didokumentasikan. Selain menyuguhkan narasi yang realis, koreografinya juga menawarkan cita rasa abstrak yang khas. Tujuan riset ini adalah membangun teori mengenai bagaimana masyarakat memilih pola gerak tertentu dalam tarian mereka.
"Ini juga menjadi studi pasca doktoral saya, terutama untuk koreologi, yakni dengan mendokumentasikan tarian-tarian tentang hewan yang ada di Mentawai, sebagai bentuk negosiasi hubungan antara masyarakat dengan alam di sekitarnya," pungkasnya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.