Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan kini tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah nasional. (Sumber gambar: Clarisse Meyer/Unsplash)

Penulisan Ulang Sejarah Nasional Tekankan Perspektif Indonesia-Sentris dengan Tone Positif

09 June 2025   |   20:02 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah nasional. Narasi sejarah nasional pun ditulis menggunakan perspektif Indonesia-Sentris untuk menghapus bias kolonial, sekaligus disampaikan dengan nada (tone) yang positif guna menyampaikan capaian-capaian para pemimpin bangsa.

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon mengatakan tone atau nada dari narasi hasil penulisan ulang sejarah nasional diharapkan bisa lebih netral dan positif. Terutama, narasi sejarah terkait jasa para tokoh pemimpin bangsa yang diharapkan bisa lebih netral dan positif, mulai dari era kepimpinan Presiden ke-1 RI Sukarno hingga Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

"Ini [sejarah nasional] akan berhenti hingga pelantikan Presiden Prabowo, dan tone yang akan kita harapkan lebih netral dan positif. Setiap pemimpin bangsa itu pasti ada kebaikan dan kekurangan, tetapi yang kita harapkan tone-nya itu lebih netral dan positif," kata Fadli dalam Rapat Komisi X DPR RI, Senin (26/5/2025).

Baca juga: Kala Sejarah & Perspektif Membentuk Wajah Jakarta Saat Ini

Selain mengusung narasi dengan nada yang lebih netral dan positif, penulisan ulang sejarah nasional juga dilakukan menggunakan perspektif Indonesia-Sentris untuk menghilangkan bias kolonial. Menurut Fadli, sejarah yang ditulis menggunakan perspektif kolonial akan sangat berbeda dengan yang ditulis ulang dengan sudut pandang Indonesia-Sentris.

Dalam hal ini, Fadli menyoroti seri buku sejarah yang pernah diterbitkan pada masa Hindia Belanda, yakni Geschiedenis Van Nederlandsch Indie karya F.W. Stapel. Buku yang terdiri dari beberapa volume itu terbit pada 1939-1940 oleh Joost van den Vondel di Amsterdam.

Buku yang disusun oleh pemerintah kolonial tersebut dinilai telah melahirkan historiografi kolonial, sehingga pilihan fakta sejarah dan perspektif yang digunakan sesuai dengan kepentingan kolonialisme. Demikian juga penokohannya, lebih menonjolkan tokoh-tokoh kolonial, sementara tokoh-tokoh pribumi hanya sebagai pemeran pelengkap.

"[Sejarah nasional] yang ingin kita buat ini adalah sejarah versi Indonesia, jadi Indonesia-Sentris atau perspektif Indonesia. Dalam perspektif Indonesia, saya kira aktor-aktor [sejarah]-nya juga tentu akan berbeda, dan inilah yang ingin ditulis," ucap Fadli.

Dalam paparannya, Fadli menjelaskan bahwa Buku Sejarah Indonesia yan disusun akan terdiri dari 11 Jilid, mencakup Sejarah Awal Nusantara, Nusantara dalam Jaringan Global: India dan China, Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah, Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi, dan Respons Terhadap Penjajahan.

Termasuk, Pergerakan Kebangsaan, Perang Kemerdekaan Indonesia, Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi, Orde Baru (1967-1998), Era Reformasi (1999-2024), dan Faktaneka dan Indeks. "Itu merupakan konsep yang ditulis oleh para sejarawan dan tentu kita berikan semaksimal mungkin kebebasan untuk menulis ini, sesuai dengan kompetensi keilmuan masing-masing," kata Fadli.

Buku Sejarah Indonesia terbaru disusun oleh 113 penulis yang terdiri dari sejarawan, akademisi sejarah, arkeolog, ahli arsitektur dan geografi hingga ilmuwan humaniora lainnya dari 34 perguruan tinggi dan 8 institusi. Adapun, dilibatkan juga sebanyak 20 editor jilid dan 3 editor umum untuk menyusun buku tersebut.

"Secara gender [penulis] juga ada laki-laki dan perempuan, dan supaya tidak bias dari daerah tertentu, ini juga tim penulis dari Aceh sampai Papua ada," ucapnya.

Fadli menegaskan penulisan ulang sejarah nasional tidak dilakukan dari nol atau tanpa acuan buku sejarah sebelumnya. Buku yang sedang disusun akan menjadikan literatur sejarah sebelumnya seperti Indonesia dalam Arus Sejarah sebanyak 8 jilid, serta Sejarah Nasional Indonesia sebanyak 6 jilid, sebagai salah satu acuan utamanya.

Adapun, sejarah yang akan ditulis lebih bersifat garis besar (highlight), alih-alih disajikan secara detail. "Ini mengungkap secara garis besar [highlight] aspek kehidupan dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Tapi yang ingin kita tegakkan adalah perspektif Indonesia-Sentris-nya," imbuhnya.

Fadli juga memaparkan ada sejumlah hal yang menjadi urgensi dari penulisan ulang sejarah nasional, yakni menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-Sentris, menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, membentuk identitas nasional yang kuat, menegaskan otonomi sejarah/sejarah otonom, relevansi untuk generasi muda, dan reinventing Indonesian Identity.

Baca juga: Penulisan Ulang Sejarah Nasional Rampung 70 Persen Disesuaikan dengan Temuan Terbaru

Dia menambahkan sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi dalam konteks Indonesia, sejarah telah menjadi jembatan yang menghubungkan identitas nasional, kebijakan politik, dan perjuangan kolektif. 

Selain itu, masih ada narasi sejarah yang belum sepenuhnya terbebas dari perspektif kolonial, kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi, sehingga seringkali dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern terutama generasi muda. "Kita terakhir menulis sejarah itu 25 tahun yang lalu, dan belum pernah ada lagi penulisan [sejarah]," katanya.
 

SEBELUMNYA

Daftar Lengkap Pemenang Tony Awards 2025, Ajang Paling Bergengsi Panggung Teater

BERIKUTNYA

Prambanan Jazz Festival 2025 Bakal Meriahkan Candi dengan Kehadiran Dewa 19 sampai Kenny G

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: