Review film Gowok Kamasutra Jawa: Berguru Kehidupan Kepada Perempuan
06 June 2025 |
13:08 WIB
Sutradara Hanung Bramantyo kembali menentang batas arus utama sinema Indonesia melalui film Gowok: Kamasutra Jawa. Film yang diproduksi MVP Pictures dan Dapur Films ini hadir memadukan erotika, spiritualitas, dan filsafat tubuh dalam balutan budaya Jawa yang kuat.
Namun, dalam film ini, Hanung tidak hanya menyentuh sensualitas secara permukaan, tetapi menggali akar sejarah dan makna di balik praktik gowokan. Gowok adalah profesi sakral yang pernah ada di Jawa pada periode 1930-an hingga 1965-an.
Seorang Gowok akan bertugas untuk mengajari laki-laki banyak hal terkait kehidupan rumah tangga. Akan tetapi, salah satu yang paling vital adalah mengajari kehidupan ranjang agar laki-laki bisa memuaskan istrinya.
Seperti biasa, Hanung bukan pembuat film yang bermain aman. Dia tahu bahwa mengangkat tema seksualitas, apalagi dalam balutan budaya lokal, punya risiko yang tinggi, terutama di tengah masyarakat yang masih menyamakan erotika dan pornografi.
Namun, Gowok: Kamasutra Jawa telah diracik dengan apik sehingga tidak jatuh pada jebakan vulgaritas. Sebaliknya, film ini tampil sebagai refleksi budaya yang dalam, puitis, dan pada saat-saat terbaiknya bisa sangat menyentuh.
Baca juga: Review Film: Potret Pahit Cinta dan Luka Diaspora di Sampai Jumpa, Selamat Tinggal
Gowok: Kamasutra Jawa menceritakan tentang Ratri, seorang wanita yang dididik oleh Nyai Santi, seorang gowok legendaris, dalam seni memuaskan pasangan. Keduanya adalah gowok yang dihormati, karena kerap menerima murid dari keluarga bangsawan dan kaya raya.
Semua berubah saat sebuah insiden terjadi, ketika Ratri jatuh cinta dengan seorang anak bangsawan bernama Kamanjawa yang tengah dititipkan ke Nyai Santi. Akan tetapi, dia merasa dikhianati.
Dua dekade kemudian, Ratri bertemu kembali dengan Kamanjaya, yang membawa putranya, Bagas, untuk belajar pada Nyai Santi. Ratri, yang masih menjadi murid Nyai Santi pun memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk membalas dendam.
Hal menarik dari film yang telah mencuri perhatian sejak penayangannya di Big Screen Competition IFFR 2025 ini adalah bagaimana seksualitas tidak semata-mata ditampilkan sebagai hiburan, tapi sebagai bagian dari proses pembelajaran batin yang penuh simbolik.
Dalam narasi Jawa klasik, seksualitas memang kerap kali dilihat sebagai energi yang bisa diolah menjadi kekuatan spiritual. Hanung tampaknya ingin mengembalikan perspektif itu ke tengah budaya populer, membenturkan nilai-nilai tradisional yang intim dengan tubuh terhadap konstruksi modern yang kerap kali digambarkan sebagai dosa atau sebatas pemuas nafsu belaka.
Adegan-adegan sensual di film ini juga terasa seperti ritual atau sesuatu yang sakral, bukan pornografi. Tubuh seolah tengah digambarkan menjadi tempat berlangsungnya ilmu, bukan sekadar objek syahwat.
Film ini juga dengan jeli mencoba membalik tatanan gender yang umum ditemui dalam narasi tradisional. Jika selama ini tubuh perempuan kerap menjadi objek yang digunakan untuk sekadar memuaskan laki-laki, dalam film ini justru terjadi pembalikan.
Lelakilah yang menjadi murid, sementara perempuan adalah subjek pengetahuan. Para gowok, perempuan yang bijak dalam laku tubuh dan batin, tidak hanya mengajarkan teknik bercinta, tetapi juga menanamkan nilai tanggung jawab, kelembutan, kesetaraan, dan perhatian terhadap pasangan.
Melalui proses berguru ini, film mengajak penonton untuk meninjau ulang narasi maskulinitas. Seks bukan soal dominasi atau penaklukan, melainkan ruang komunikasi yang jujur dan penuh empati. Tak sekadar urusan ranjang, para lelaki muda ini juga diajarkan bagaimana memahami kebutuhan perempuan, merawat relasi, hingga menjaga emosi di ruang domestik.
Gowok menjadi simbol kebijaksanaan perempuan yang selama ini dipinggirkan dalam narasi besar, tetapi justru menyimpan pengetahuan paling penting dalam membentuk keutuhan manusia dan relasi yang sehat.
Secara sinematografi, Hanung tampil elegan, tidak vulgar. Pengambilan gambar sering soft-focus, dengan warna-warna hangat dan atmosfer magis. Kamera bergerak lambat, kadang statis, seolah-olah mengajak penonton untuk menyaksikan, bukan mengintip.
Banyak adegan sensual difilmkan dengan framing ketat dan pencahayaan lembut, menghadirkan keintiman tanpa eksploitasi. Kamera sering memilih untuk menunggu, bukan menyerbu, memberikan ruang bagi aktor untuk menghidupi momen secara penuh.
Hal ini didukung pula dengan desain produksi yang matang. Hanung dan tim artistik tidak sekadar membangun latar tempat, tapi menciptakan dunia yang terasa hidup, historis, dan mistikal.
Rumah-rumah Jawa dengan perabot kayu tua, kain batik yang tergantung di jendela, temaram lampu minyak, hingga detail seperti kendi dan motif ukiran klasik menjadi bagian penting membentuk atmosfer film. Latar tempat ini bukan Jawa keraton, melainkan Jawa rakyat dengan dunia perempuan, desa, dan ruang-ruang spiritual yang privat.
Sepanjang film, penonton juga akan diajak bukan hanya mengikuti plot, melainkan merenungkan seperti apa seharusnya relasi antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan, termasuk dalam hal seksualitas. Pujian juga tentu saja patut diberikan pada para pemeran, terutama aktris yang memerankan sang gowok dengan ketenangan dan kharisma yang menawan.
Namun, salah satu hal menarik lainnya adalah bagaimana film Gowok: Kamasutra Jawa dengan berani menjadikan bahasa Ngapak (dialek Banyumasan) sebagai medium utama ekspresi dramatik.
Hanung Bramantyo secara sadar menempatkan Ngapak bukan sebagai alat komedi atau karikatur sosial seperti yang lazim digunakan dalam sinema Indonesia populer, melainkan sebagai bahasa utuh, penuh martabat, dan kaya nuansa emosional.
Biasanya, bahasa Ngapak hadir dalam film sebagai efek humor. Tokoh dengan logat Ngapak sering dihadirkan sebagai orang desa yang lugu, lucu, atau ndeso, menciptakan semacam jarak antara karakter lain dan penonton urban.
Namun, di Gowok, Ngapak justru menjembatani spiritualitas dan keintiman. Bahasa ini tidak hanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, tapi juga dalam momen-momen kontemplatif, pengajaran, bahkan dialog penting.
Hanung melakukan sesuatu yang jarang: membebaskan dialek dari stigma kelas sosial. Ia memberi ruang bagi Ngapak untuk bersinar sebagai bahasa budaya, bukan sekadar simbol keterbelakangan atau kelucuan.
Gowok secara penuh mengangkat yang pinggiran ke panggung utama. Bukan hanya bahasa, melainkan juga narasi relasi perempuan dan laki-laki, impian perempuan yang kerap terbelenggu, bahkan hingga ke wilayah yang lebih sensitif lain, seperti pergerakan Gerwani dan keterkaitannya dengan stigma 1965.
Pada akhirnya, Gowok: Kamasutra Jawa bukan film yang ingin memuaskan hasrat visual, tetapi sebuah ajakan untuk berpikir ulang tentang hal-hal tersebut. Film ini sudah tayang di bioskop mulai 5 Juni 2025.
Baca juga: Review Film Pengepungan di Bukit Duri: Lebih Mencekam dari Film Horor
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Namun, dalam film ini, Hanung tidak hanya menyentuh sensualitas secara permukaan, tetapi menggali akar sejarah dan makna di balik praktik gowokan. Gowok adalah profesi sakral yang pernah ada di Jawa pada periode 1930-an hingga 1965-an.
Seorang Gowok akan bertugas untuk mengajari laki-laki banyak hal terkait kehidupan rumah tangga. Akan tetapi, salah satu yang paling vital adalah mengajari kehidupan ranjang agar laki-laki bisa memuaskan istrinya.
Seperti biasa, Hanung bukan pembuat film yang bermain aman. Dia tahu bahwa mengangkat tema seksualitas, apalagi dalam balutan budaya lokal, punya risiko yang tinggi, terutama di tengah masyarakat yang masih menyamakan erotika dan pornografi.
Namun, Gowok: Kamasutra Jawa telah diracik dengan apik sehingga tidak jatuh pada jebakan vulgaritas. Sebaliknya, film ini tampil sebagai refleksi budaya yang dalam, puitis, dan pada saat-saat terbaiknya bisa sangat menyentuh.
Baca juga: Review Film: Potret Pahit Cinta dan Luka Diaspora di Sampai Jumpa, Selamat Tinggal
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Semua berubah saat sebuah insiden terjadi, ketika Ratri jatuh cinta dengan seorang anak bangsawan bernama Kamanjawa yang tengah dititipkan ke Nyai Santi. Akan tetapi, dia merasa dikhianati.
Dua dekade kemudian, Ratri bertemu kembali dengan Kamanjaya, yang membawa putranya, Bagas, untuk belajar pada Nyai Santi. Ratri, yang masih menjadi murid Nyai Santi pun memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk membalas dendam.
Hal menarik dari film yang telah mencuri perhatian sejak penayangannya di Big Screen Competition IFFR 2025 ini adalah bagaimana seksualitas tidak semata-mata ditampilkan sebagai hiburan, tapi sebagai bagian dari proses pembelajaran batin yang penuh simbolik.
Dalam narasi Jawa klasik, seksualitas memang kerap kali dilihat sebagai energi yang bisa diolah menjadi kekuatan spiritual. Hanung tampaknya ingin mengembalikan perspektif itu ke tengah budaya populer, membenturkan nilai-nilai tradisional yang intim dengan tubuh terhadap konstruksi modern yang kerap kali digambarkan sebagai dosa atau sebatas pemuas nafsu belaka.
Adegan-adegan sensual di film ini juga terasa seperti ritual atau sesuatu yang sakral, bukan pornografi. Tubuh seolah tengah digambarkan menjadi tempat berlangsungnya ilmu, bukan sekadar objek syahwat.
Film ini juga dengan jeli mencoba membalik tatanan gender yang umum ditemui dalam narasi tradisional. Jika selama ini tubuh perempuan kerap menjadi objek yang digunakan untuk sekadar memuaskan laki-laki, dalam film ini justru terjadi pembalikan.
Lelakilah yang menjadi murid, sementara perempuan adalah subjek pengetahuan. Para gowok, perempuan yang bijak dalam laku tubuh dan batin, tidak hanya mengajarkan teknik bercinta, tetapi juga menanamkan nilai tanggung jawab, kelembutan, kesetaraan, dan perhatian terhadap pasangan.
Melalui proses berguru ini, film mengajak penonton untuk meninjau ulang narasi maskulinitas. Seks bukan soal dominasi atau penaklukan, melainkan ruang komunikasi yang jujur dan penuh empati. Tak sekadar urusan ranjang, para lelaki muda ini juga diajarkan bagaimana memahami kebutuhan perempuan, merawat relasi, hingga menjaga emosi di ruang domestik.
Gowok menjadi simbol kebijaksanaan perempuan yang selama ini dipinggirkan dalam narasi besar, tetapi justru menyimpan pengetahuan paling penting dalam membentuk keutuhan manusia dan relasi yang sehat.
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Banyak adegan sensual difilmkan dengan framing ketat dan pencahayaan lembut, menghadirkan keintiman tanpa eksploitasi. Kamera sering memilih untuk menunggu, bukan menyerbu, memberikan ruang bagi aktor untuk menghidupi momen secara penuh.
Hal ini didukung pula dengan desain produksi yang matang. Hanung dan tim artistik tidak sekadar membangun latar tempat, tapi menciptakan dunia yang terasa hidup, historis, dan mistikal.
Rumah-rumah Jawa dengan perabot kayu tua, kain batik yang tergantung di jendela, temaram lampu minyak, hingga detail seperti kendi dan motif ukiran klasik menjadi bagian penting membentuk atmosfer film. Latar tempat ini bukan Jawa keraton, melainkan Jawa rakyat dengan dunia perempuan, desa, dan ruang-ruang spiritual yang privat.
Sepanjang film, penonton juga akan diajak bukan hanya mengikuti plot, melainkan merenungkan seperti apa seharusnya relasi antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan, termasuk dalam hal seksualitas. Pujian juga tentu saja patut diberikan pada para pemeran, terutama aktris yang memerankan sang gowok dengan ketenangan dan kharisma yang menawan.
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Hanung Bramantyo secara sadar menempatkan Ngapak bukan sebagai alat komedi atau karikatur sosial seperti yang lazim digunakan dalam sinema Indonesia populer, melainkan sebagai bahasa utuh, penuh martabat, dan kaya nuansa emosional.
Biasanya, bahasa Ngapak hadir dalam film sebagai efek humor. Tokoh dengan logat Ngapak sering dihadirkan sebagai orang desa yang lugu, lucu, atau ndeso, menciptakan semacam jarak antara karakter lain dan penonton urban.
Namun, di Gowok, Ngapak justru menjembatani spiritualitas dan keintiman. Bahasa ini tidak hanya digunakan dalam percakapan sehari-hari, tapi juga dalam momen-momen kontemplatif, pengajaran, bahkan dialog penting.
Hanung melakukan sesuatu yang jarang: membebaskan dialek dari stigma kelas sosial. Ia memberi ruang bagi Ngapak untuk bersinar sebagai bahasa budaya, bukan sekadar simbol keterbelakangan atau kelucuan.
Gowok secara penuh mengangkat yang pinggiran ke panggung utama. Bukan hanya bahasa, melainkan juga narasi relasi perempuan dan laki-laki, impian perempuan yang kerap terbelenggu, bahkan hingga ke wilayah yang lebih sensitif lain, seperti pergerakan Gerwani dan keterkaitannya dengan stigma 1965.
Pada akhirnya, Gowok: Kamasutra Jawa bukan film yang ingin memuaskan hasrat visual, tetapi sebuah ajakan untuk berpikir ulang tentang hal-hal tersebut. Film ini sudah tayang di bioskop mulai 5 Juni 2025.
Baca juga: Review Film Pengepungan di Bukit Duri: Lebih Mencekam dari Film Horor
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.