Film Pengepungan di Bukit Duri (Sumber gambar: Poplicist)

Review Film Pengepungan di Bukit Duri: Lebih Mencekam dari Film Horor

17 April 2025   |   19:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Joko Anwar kembali membuktikan kapasitasnya sebagai sutradara yang mampu memadukan ketegangan dengan kedalaman psikologis. Film terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar thriller yang memompa adrenalin, melainkan sebuah studi tentang luka masa lalu yang diwariskan lintas generasi.

Dalam film ini, Joko menangkat cerita kelam tentang gagalnya pendidikan, rasisme yang mengakar, dan trauma sejarah dalam balutan dunia distopia yang intens dan tak memberi jeda napas. Film yang merupakan karya ke-11 Joko ini diproduksi oleh ComeAndSee Pictures dan MGM Pictures.

Baca juga: 5 Fakta Menarik Film Pengepungan di Bukit Duri, Tayang 17 April 2025 di Bioskop

Film ini membawa pertanyaan what if yang menarik tentang bagaimana jika peristiwa kelam yang terjadi pada masa lalu terjadi lagi, atau bagaimana jika saat ini kita tengah menuju ke sana tanpa pernah disadari sebelumnya.

Pengepungan di Bukit Duri bercerita tentang Edwin (diperankan Morgan Oey) yang berjanji kepada kakak perempuannya untuk mencari anaknya yang hilang. Dalam informasi terakhir, anak dari kakak perempuannya tersebut bersekolah di daerah Jakarta Timur.

Edwin, yang adalah seorang guru, kemudian rela berpindah mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Suatu hari, sampailah Edwin di SMA Duri, sekolah terakhir yang dia datangi untuk mencari keponakannya.

Namun, saat identitas keponakannya terbongkar, kekacauan kota pecah. Edwin terjebak dalam gedung sekolah bersama murid-murid brutal yang haus darah. Dari sini, konflik berkembang menjadi sajian yang intens.


Design Produksi yang Ciamik

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Joko Anwar (@jokoanwar)


Sedari awal film berjalan, Joko telah menunjukkan kepiawaiannya dalam membangun world building yang kuat. Lingkungan tempat cerita berlangsung bukan hanya menjadi latar belakang pasif, melainkan bagian aktif yang turut membentuk atmosfer dan ketegangan dalam film.

Joko menciptakan dunia Jakarta 2027 yang terasa akrab, tetapi juga asing, sebuah gambaran distopia yang terasa meneror sejak awal. Kota ini seperti penuh luka terbuka yang tidak pernah dijahit, dan dari luka itu tumbuh sebuah narasi yang keras, penuh emosi, dan penuh kerapuhan.

Desain produksi film ini patut diacungi jempol. Lokasi-lokasi yang muncul di film ini tidak hanya berakhir sebagai latar cerita, tetapi sebagai karakter itu sendiri.

Misalnya, bangunan sekolah SMA Duri. Alih-alih menjadi tempat menimba ilmu yang mengasyikkan dan penuh kebebasan, struktur fisik sekolah justru lebih mirip penjara. Dinding pembatas sekolah yang tinggi dan masih diberi dengan jeruji besi di atasnya, yang membatasi akses atau pelarian.

Lorong-lorong yang sempit, dengan dinding kusam dan retak, mempertegas kesan terisolasi dan terperangkap, baik secara fisik maupun psikologis. Sekolah ini menjadi sebuah penjara sosial, semuanya terasa kaku dan terisolasi.

Bahkan, di sekolah ini ada alat penghilang sinyal, yang membuat akses internet dan dunia luar tak bisa masuk. Sebuah gambaran ironi, saat sekolah harusnya menjadi jendela untuk melihat dunia luar.

Satu setting menarik dari film ini adalah bar yang menjadi tempat pertemuan warga keturunan China. Tempat ini seperti bukan bar, melainkan simbol dari keterasingan dan pengasingan diri yang dialami oleh karakter-karakter yang berada di dalamnya.

Penataan ruang di bar ini menyampaikan metafora yang sangat kuat, mencerminkan tema ketegangan identitas dan perasaan terisolasi. Misalnya, untuk sampai ke bar tersebut, seseorang harus melewati lorong gelap yang sempit.

Lorong ini seolah menjadi batas yang membedakan dunia luar dan dunia yang terisolasi ini. Dalam konteks cerita, lorong ini bisa dianggap sebagai simbol dari perjalanan emosional yang harus dihadapi oleh seseorang ketika ingin mencari "tempat aman" atau sebuah tempat di mana mereka bisa merasa diterima, meskipun mereka terasing dari masyarakat yang lebih luas.

Setelah melewati lorong gelap, pengunjung bar juga harus menuruni tangga yang curam dan panjang. Secara psikologis, tangga yang menurun ini memperkuat kesan bahwa bar tersebut adalah tempat pelarian, tempat di mana orang-orang yang merasa terpinggirkan bisa bersembunyi dari konflik sosial yang ada di permukaan.

Hal ini juga menggambarkan perasaan terperangkap dalam suatu identitas yang tidak mudah diterima oleh masyarakat yang lebih besar. Desain bar ini mengingatkan penonton pada bagaimana sebuah komunitas bisa merasa terpinggirkan, baik dalam konteks sejarah maupun dalam ketegangan etnis yang terjadi.


Pengembangan Karakter yang Lihai

Isu yang dibawa film ini memang cukup kompleks dan terkesan makro. Namun, Joko meramunya dengan lihai. Lewat karakter-karakter yang diciptakannya, film ini menemukan alur yang cenderung mudah untuk diikuti.

Secara perlahan, tabir gelap akan terbuka satu per satu. Di balik pencarian keponakan, terdapat lapisan trauma Edwin yang perlahan akan terkuak. Penonton akan menyadari Edwin tidak hanya mencari seseorang, melainkan bagian dirinya atau keluarganya yang hilang bersama kenangan.

Makin dalam pencarian Edwin di SMA Duri, makin dalam pula dia menggali luka dirinya sendiri. Dalam film ini, Morgan menunjukkan performa akting yang nyaris seperti bernapas biasa.

Karakternya benar-benar menarik. Sosok Edwin sebagai guru seni keturunan China memuat lapisan metaforis yang kompleks. Sebagai guru, karakternya mencerminkan figur penyembuh dalam sistem yang gagal.

Sebagai keturunan China, dia adalah simbol trauma sejarah yang tidak pernah sepenuhnya direkonsiliasi dengan sungguh-sungguh. Sebagai pengajar seni, ia hadir dengan pendekatan non-konfrontatif, menggunakan ekspresi kreatif sebagai jembatan menuju empati dan refleksi diri.

Dalam dunia yang kehilangan arah dan diliputi kekerasan struktural maupun emosional, Edwin menjadi metafora dari kemungkinan bahwa pemulihan tidak datang dari kekuasaan atau dominasi, tetapi dari keberanian untuk hadir, mendengarkan, dan menawarkan makna di tengah sunyi.

Sementara itu, Omara Esteghlal juga mencuri perhatian lewat perannya sebagai Jefri. Dia adalah ketua geng di SMA Duri yang pada awalnya tampak seperti antagonis utama, tetapi perlahan menawarkan kedalaman karakter yang menarik.

Omara menghadirkan sosok remaja yang tidak sekadar beringas, tapi terluka. Ia memainkan Jefri dengan intensitas yang terukur. Terkadang bisa begitu meledak-meledak, tetapi juga bisa memicu reflektif baginya.

Lapisan terdalam Jefri muncul justru saat ia tidak berkata apa-apa, ketika kamera menyorot wajahnya yang diam, tapi penuh konflik batin. Karakternya, seperti pengingat bahwa tidak ada anak yang terlahir jahat begitu saja.

Dengan dukungan sinematografi dari Ical Tanjung dan musik cadas dari Aghi Narottama, film ini makin punya narasi yang kuat. Komposisi musik di film ini, sekilas mengingatkan pada Janji Joni.

Film Pengepungan di Bukit Duri bukan hanya tontonan, melainkan juga pemicu percakapan setelah menontonnya. Oh ya, jangan terlambat masuk bioskop karena adegan openingnya sungguh gila!

Dislaimer: Cerita film ini mengandung elemen kekerasan dan ketegangan rasial yang bisa memicu trauma. Pertimbangkan sebelum menonton.

Baca juga: Hal-hal Menarik yang Terungkap di Trailer Final Pengepungan di Bukit Duri

SEBELUMNYA

Fakta Menarik Green Coffee, Superfood Baru Penambah Energi untuk Gaya Hidup Sehat

BERIKUTNYA

Resmi Dibuka, Pameran Misykat Tampilkan Artefak Islam Nusantara dari Situs Bongal

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: