Dari Arsip ke Adegan, Hanung Bramantyo Ungkap Proses Kreatif Film Gowok
26 May 2025 |
18:45 WIB
Sutradara kenamaan, Hanung Bramantyo, kembali menyentuh tema sejarah dalam film terbarunya bertajuk Gowok: Kamasutra Jawa. Dalam film ini, dia tak ingin hanya menyajikan hiburan. Lebih dari itu, ini adalah usaha sinematik Hanung untuk menggali dan merekonstruksi praktik sosial masa lalu yang terlupakan, atau sengaja dilupakan, tentang gowok.
Hanung, yang dikenal lewat film seperti Kartini, Sang Pencerah, dan Soekarno, mengatakan bahwa Gowok lahir dari rasa penasarannya terhadap sejarah sosial yang jarang dibahas di ruang publik.
Menurutnya, fenomena Gowok, yakni perempuan-perempuan dewasa yang mendampingi laki-laki sebelum menikah, sejatinya pernah menjadi bagian dari struktur budaya. Namun, entah mengapa hal tersebut justru sekarang seperti benar-benar dilupakan.
Baca juga: Falcon Pictures Umumkan Proyek Remake Horor Thailand Shutter di Cannes Market 2025
“Proses kreatif film Gowok sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari, saat masih pandemi. Namun, awal saya tahu tentang Gowok ini sebelum pandemi,” ungkap Hanung.
Hanung bercerita dia pertama kali tahu tentang profesi Gowok dari sebuah artikel di majalah online. Mulanya, dia berpikir bahwa Gowok adalah sejenis buah. Sebab, tak jauh dari tempat tinggalnya di Yogyakarta, terdapat kampung Gowokan.
Kampung tersebut disebut Gowokan karena dulunya di sana banyak kebun buah Gowok. Namun, setelah dipelajari lebih jauh, profesi Gowok yang dimaksud punya arti yang berbeda dari hal tersebut.
“Begitu tahu, waktu itu saya langsung tertarik untuk membahasnya. Alasannya, karena Gowok ini mengajari laki-laki bagaimana cara memahami tubuh perempuan sehingga pada saat malam pertama nanti, dia bisa menjadi lelananging jagad atau lelaki perkasa yang membahagiakan pasangannya,” tuturnya.
Hanung merasa, praktik seperti ini sangat unik. Sebab, sangat berkebalikan dengan apa yang dirinya pahami selama ini dan mungkin orang-orang kebanyakan.
Menurut Hanung, dalam kebudayaan Jawa, laki-laki kerap menjadi pihak yang punya superioritas. Hanung yang merupakan anak pertama laki-laki di keluarganya diajarkan bahwa laki-laki itu harus dihormati oleh adik-adik perempuannya, sebelum akhirnya nanti dia juga dihormati oleh istrinya.
Pemahaman seperti itu begitu mendarah daging baginya. Bahkan, lanjutnya, Hanung pernah hanya dipegang kepalanya oleh perempuan, dan bisa begitu marah. Sebab, hal tersebut dianggapnya tidak sopan.
Namun, dia heran. Profesi Gowok, yang pernah ada dan hidup di Jawa, rupanya punya sudut pandang lain dalam memahami relasi perempuan dan laki-laki. “Artikel itu benar-benar mengubah pandangan saya. Awalnya saya resisten, tetapi pada akhirnya saya tertarik untuk mendalami,” jelasnya.
Sutradara yang filmnya kerap mencetak box office ini kemudian mulai melakukan riset sederhana untuk memperdalam hal tersebut. Hanung mulai membaca serat Centini terhemahan Elisabeth D. Inandiak.
Dalam buku tersebut, dia mengetahui ada kisah tentang Among Rogo melakukan tirakat atau mendekatkan diri kepada Tuhan, pada saat hubungan seksual. Dalam hubungan tersebut, Among Rogo justru melayani istrinya.
Setelah itu, dirinya kemudian mencoba men-scanning serat Centini yang kiranya ada sembilan jilid. Rupanya, praktik laki-laki yang melayani istrinya itu benar-benar ada. “Saya mengambil intisari dari serat Centini. Kemudian, kebetulan ada novel juga, yakni Nyai Gowok karya Budi Sarjono. Dua rujukan itu makin menguatkan tekadku untuk membuat film tentang ini,” imbuhnya.
Hanung mengatakan Gowok lebih dari sekadar perempuan yang mengajarkan seksualitas kepada laki-laki yang akan menikah. Baginya, tradisi itu adalah wujud dari kesadaran tentang bagaimana posisi perempuan di ranjang.
“Seringnya, ada anggapan perempuan harus melayani suaminya. Menurut saya itu gak fair. Kita pernah punya tradisi yang perempuanlah yang harus di layani. Di situlah fungsi Gowok,” terang Hanung.
Baca juga: Film Horor Angkara Murka Tayang Perdana secara Global di Ajang Far East Film Festival (FEFF) 2025
Namun, tradisi yang pernah hidup di Jawa tersebut, lanjutnya, justru sekarang seperti hilang tak bersisa. Bahkan, lanjutnya, mungkin banyak yang tidak tahu terkait tradisi tersebut.
Dalam konteks ini, film Gowok juga akan menjadi jembatan untuk menengok apa yang terjadi pada masa lalu. Namun, Hanung mengatakan film ini telah diracik sedemikian rupa agar tak hanya menjadi edukasi atau sejarah, tetapi juga punya unsur hiburan yang kuat.
Sementara itu, produser Raam Punjabi mengatakan film Gowok membawa narasi yang baru dalam perfilman Indonesia. Dia ingin setelah menonton film ini, penonton tak hanya terhibur, tetapi juga membuka ruang perbincangan terkait hal yang selama ini tabu, yakni urusan ranjang.
Raam mengatakan selama ini ruang ranjang kerap kali diajarkan untuk memprioritaskan laki-laki. Padahal, ruang tersebut harusnya setara milik suami dan istri.
“Hanung sangat crazy dalam membawa kreativitas. Dan saya, sangat crazy juga karena berani membuat film dengan tema seperti ini. Namun, ini adalah bentuk karya dari kami untuk memperkarya industri kita, bukan hanya perusahaan,” ucapnya.
Film Gowok telah mencuri perhatian luas sejak penayangan perdananya di International Film Festival Rotterdam pada Februari 2025 lalu. Film yang mengambil setting kehidupan di Pulau Jawa era 60-an bahkan bukan hanya lolos kurasi di festival tersebut, tetapi juga menjadi nomine di kategori Big Screen Competition.
Gowok: Kamasutra Jawa bercerita tentang legenda Gowok yang pernah populer di Tanah Jawa zaman dahulu. Gowok merupakan seorang wanita yang dipercaya untuk mengajari calon pengantin laki-laki muda yang belum pernah menikah.
Baca juga: Sutradara Joko Anwar Siap Kasih Kejutan Lewat Film Horor Baru
Gowok memegang peran penting dalam membimbing para pria untuk memahami cara mencintai, menghormati, dan membahagiakan istrinya, sekaligus mengenalkan seluk-beluk tubuh perempuan. Hal ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi laki-laki dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Film ini akan berfokus pada perjalanan Ratri (Alika Jantinia), putri dari seorang pekerja seks yang tumbuh tanpa pernah mengenal sosok ayahnya. Sejak kecil, Ratri diasuh oleh Nyai Santi (Lola Amaria), seorang gowok berwibawa dan dihormati di lingkungannya.
Di bawah didikan Nyai Santi, Ratri tumbuh menjadi perempuan cantik dan berbakat. Dia bahkan disiapkan untuk mewarisi pengetahuan dan peran sebagai seorang gowok.
Namun, sebelum waktunya, Ratri jatuh hati pada Kamanjaya (Devano Danendra), pemuda dari keluarga bangsawan. Hubungan mereka berujung pada janji pernikahan yang tak pernah ditepati oleh Kamanjaya.
Dua dekade kemudian, Ratri (kini diperankan Raihaanun) kembali berhadapan dengan Kamanjaya (Reza Rahadian), yang kini datang bersama putranya, Bagas (Ali Fikry), untuk berguru pada Nyai Santi.
Tanpa mengetahui latar belakang masa lalu orang tuanya, Bagas jatuh cinta pada Ratri. Kesempatan itu digunakan Ratri untuk merancang balas dendam melalui pesona dan kecerdasannya. Film Gowok: Kamasutra Jawa yang akan hadir dalam dua versi, yakni 17+ dan 21+ ini akan tayang di bioskop Indonesia mulai 5 Juni 2025.
Hanung, yang dikenal lewat film seperti Kartini, Sang Pencerah, dan Soekarno, mengatakan bahwa Gowok lahir dari rasa penasarannya terhadap sejarah sosial yang jarang dibahas di ruang publik.
Menurutnya, fenomena Gowok, yakni perempuan-perempuan dewasa yang mendampingi laki-laki sebelum menikah, sejatinya pernah menjadi bagian dari struktur budaya. Namun, entah mengapa hal tersebut justru sekarang seperti benar-benar dilupakan.
Baca juga: Falcon Pictures Umumkan Proyek Remake Horor Thailand Shutter di Cannes Market 2025
“Proses kreatif film Gowok sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari, saat masih pandemi. Namun, awal saya tahu tentang Gowok ini sebelum pandemi,” ungkap Hanung.
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Hanung bercerita dia pertama kali tahu tentang profesi Gowok dari sebuah artikel di majalah online. Mulanya, dia berpikir bahwa Gowok adalah sejenis buah. Sebab, tak jauh dari tempat tinggalnya di Yogyakarta, terdapat kampung Gowokan.
Kampung tersebut disebut Gowokan karena dulunya di sana banyak kebun buah Gowok. Namun, setelah dipelajari lebih jauh, profesi Gowok yang dimaksud punya arti yang berbeda dari hal tersebut.
“Begitu tahu, waktu itu saya langsung tertarik untuk membahasnya. Alasannya, karena Gowok ini mengajari laki-laki bagaimana cara memahami tubuh perempuan sehingga pada saat malam pertama nanti, dia bisa menjadi lelananging jagad atau lelaki perkasa yang membahagiakan pasangannya,” tuturnya.
Hanung merasa, praktik seperti ini sangat unik. Sebab, sangat berkebalikan dengan apa yang dirinya pahami selama ini dan mungkin orang-orang kebanyakan.
Menurut Hanung, dalam kebudayaan Jawa, laki-laki kerap menjadi pihak yang punya superioritas. Hanung yang merupakan anak pertama laki-laki di keluarganya diajarkan bahwa laki-laki itu harus dihormati oleh adik-adik perempuannya, sebelum akhirnya nanti dia juga dihormati oleh istrinya.
Pemahaman seperti itu begitu mendarah daging baginya. Bahkan, lanjutnya, Hanung pernah hanya dipegang kepalanya oleh perempuan, dan bisa begitu marah. Sebab, hal tersebut dianggapnya tidak sopan.
Namun, dia heran. Profesi Gowok, yang pernah ada dan hidup di Jawa, rupanya punya sudut pandang lain dalam memahami relasi perempuan dan laki-laki. “Artikel itu benar-benar mengubah pandangan saya. Awalnya saya resisten, tetapi pada akhirnya saya tertarik untuk mendalami,” jelasnya.
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Sutradara yang filmnya kerap mencetak box office ini kemudian mulai melakukan riset sederhana untuk memperdalam hal tersebut. Hanung mulai membaca serat Centini terhemahan Elisabeth D. Inandiak.
Dalam buku tersebut, dia mengetahui ada kisah tentang Among Rogo melakukan tirakat atau mendekatkan diri kepada Tuhan, pada saat hubungan seksual. Dalam hubungan tersebut, Among Rogo justru melayani istrinya.
Setelah itu, dirinya kemudian mencoba men-scanning serat Centini yang kiranya ada sembilan jilid. Rupanya, praktik laki-laki yang melayani istrinya itu benar-benar ada. “Saya mengambil intisari dari serat Centini. Kemudian, kebetulan ada novel juga, yakni Nyai Gowok karya Budi Sarjono. Dua rujukan itu makin menguatkan tekadku untuk membuat film tentang ini,” imbuhnya.
Hanung mengatakan Gowok lebih dari sekadar perempuan yang mengajarkan seksualitas kepada laki-laki yang akan menikah. Baginya, tradisi itu adalah wujud dari kesadaran tentang bagaimana posisi perempuan di ranjang.
“Seringnya, ada anggapan perempuan harus melayani suaminya. Menurut saya itu gak fair. Kita pernah punya tradisi yang perempuanlah yang harus di layani. Di situlah fungsi Gowok,” terang Hanung.
Baca juga: Film Horor Angkara Murka Tayang Perdana secara Global di Ajang Far East Film Festival (FEFF) 2025
Namun, tradisi yang pernah hidup di Jawa tersebut, lanjutnya, justru sekarang seperti hilang tak bersisa. Bahkan, lanjutnya, mungkin banyak yang tidak tahu terkait tradisi tersebut.
Dalam konteks ini, film Gowok juga akan menjadi jembatan untuk menengok apa yang terjadi pada masa lalu. Namun, Hanung mengatakan film ini telah diracik sedemikian rupa agar tak hanya menjadi edukasi atau sejarah, tetapi juga punya unsur hiburan yang kuat.
Sementara itu, produser Raam Punjabi mengatakan film Gowok membawa narasi yang baru dalam perfilman Indonesia. Dia ingin setelah menonton film ini, penonton tak hanya terhibur, tetapi juga membuka ruang perbincangan terkait hal yang selama ini tabu, yakni urusan ranjang.
Raam mengatakan selama ini ruang ranjang kerap kali diajarkan untuk memprioritaskan laki-laki. Padahal, ruang tersebut harusnya setara milik suami dan istri.
“Hanung sangat crazy dalam membawa kreativitas. Dan saya, sangat crazy juga karena berani membuat film dengan tema seperti ini. Namun, ini adalah bentuk karya dari kami untuk memperkarya industri kita, bukan hanya perusahaan,” ucapnya.
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Film Gowok telah mencuri perhatian luas sejak penayangan perdananya di International Film Festival Rotterdam pada Februari 2025 lalu. Film yang mengambil setting kehidupan di Pulau Jawa era 60-an bahkan bukan hanya lolos kurasi di festival tersebut, tetapi juga menjadi nomine di kategori Big Screen Competition.
Gowok: Kamasutra Jawa bercerita tentang legenda Gowok yang pernah populer di Tanah Jawa zaman dahulu. Gowok merupakan seorang wanita yang dipercaya untuk mengajari calon pengantin laki-laki muda yang belum pernah menikah.
Baca juga: Sutradara Joko Anwar Siap Kasih Kejutan Lewat Film Horor Baru
Gowok memegang peran penting dalam membimbing para pria untuk memahami cara mencintai, menghormati, dan membahagiakan istrinya, sekaligus mengenalkan seluk-beluk tubuh perempuan. Hal ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi laki-laki dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Film ini akan berfokus pada perjalanan Ratri (Alika Jantinia), putri dari seorang pekerja seks yang tumbuh tanpa pernah mengenal sosok ayahnya. Sejak kecil, Ratri diasuh oleh Nyai Santi (Lola Amaria), seorang gowok berwibawa dan dihormati di lingkungannya.
Di bawah didikan Nyai Santi, Ratri tumbuh menjadi perempuan cantik dan berbakat. Dia bahkan disiapkan untuk mewarisi pengetahuan dan peran sebagai seorang gowok.
Still photo film Gowok: Kamasutra Jawa (Sumber gambar: MVP Pictures)
Namun, sebelum waktunya, Ratri jatuh hati pada Kamanjaya (Devano Danendra), pemuda dari keluarga bangsawan. Hubungan mereka berujung pada janji pernikahan yang tak pernah ditepati oleh Kamanjaya.
Dua dekade kemudian, Ratri (kini diperankan Raihaanun) kembali berhadapan dengan Kamanjaya (Reza Rahadian), yang kini datang bersama putranya, Bagas (Ali Fikry), untuk berguru pada Nyai Santi.
Tanpa mengetahui latar belakang masa lalu orang tuanya, Bagas jatuh cinta pada Ratri. Kesempatan itu digunakan Ratri untuk merancang balas dendam melalui pesona dan kecerdasannya. Film Gowok: Kamasutra Jawa yang akan hadir dalam dua versi, yakni 17+ dan 21+ ini akan tayang di bioskop Indonesia mulai 5 Juni 2025.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.