Mengelola dan Memasarkan Buku Era Media Sosial Perlu Strategi Khusus
24 May 2025 |
22:12 WIB
Pola pemasaran buku saat ini tak lagi terbatas di toko buku saja. Sejak meruyaknya internet, pemasaran buku juga mewarnai laman media sosial, baik Instagram, TikTok, ataupun YouTube dengan berbagai pendekatan unik, dalam menyasar pembacanya.
Seiring perubahan perilaku pembaca pada era digital, saat ini media sosial memang menjadi saluran yang sangkil untuk mempromosikan buku. Terlebih dengan munculnya para bookstagram atau influencer yang mengulas, dan berusaha mendekatkan pembaca dengan buku.
Windy Ariestanty, editor, penerjemah, dan penggagas Festival Patjar Merah mengatakan, saat festival mereka lahir pada 2019, Instagram memang menjadi salah satu media yang banyak digunakan masyarakat. Dari sinilah mereka akhirnya memilih media sosial tersebut sebagai salah satu pemasaran.
Baca juga: Berburu Buku Bacaan Sastra Indonesia Klasik Terbitan Balai Pustaka di Parade Masa
Namun, untuk lebih mendekatkan pembaca mereka mengetengahkan penceritaan sebagai alat komunikasi. Metode ini dipilih untuk memberitahu apa yang bakal pembaca dapat saat membeli buku yang diunggah, seperti apa yang menarik dari buku, dan sudut pandang lain yang dirasa dapat menggaet pembaca.
Lain dari itu, Windy juga menjadikan medsos sebagai corong untuk membangun komunikasi dengan cara yang humanis. Admin yang mengelola juga tidak boleh merujuk pada satu sosok. Mereka justru membentuk sebuah karakter bernama Patjar Min, yang nantinya dapat berinteraksi dengan pembaca secara sangkil.
"Gaya berkomunikasinya juga tidak boleh menempatkan admin sebagai karakter yang serba tahu, dan menjadikan pembaca sebagai seorang yang setara. Jadi ada do and don'ts yang sudah kami buat saat akun ini dipegang admin lain," katanya dalam diskusi di Gudskul, Sabtu, (24/5/25).
Setali tiga uang, Teddy W. Kusuma, editor, penulis, dan pengelola Post mengatakan, sebagai sebuah penerbit, mereka juga melakukan pendekatan yang sama. Akan tetapi, karena segmentasi mereka lebih kepada toko buku independen, pendekatan yang dilakukan adalah agar pengunjung datang ke toko mereka.
Salah satu strategi yang Teddy lakukan adalah menjadikan toko buku tersebut layaknya manusia. Jadi mereka juga harus punya sifat, cara pandang politik, dan cara bertutur yang baik, agar pembaca tertarik untuk datang dan ikut merasakan dan berbagi pengalaman dari apa yang dibagikan ke medsos.
"Ihwal pendekatannya adalah kami menggunakan medsos sebagai kanal untuk berbicara, dan menjadikannya sebagai sebuah brand identitas, terutama soal kejujuran dalam menyajikan konten dan info yang kami unggah," katanya.
Lebih lanjut, menurut Teddy yang menjadi tantangan dalam mengelola toko buku pada era kiwari adalah membuat pengunjung kembali datang lagi ke sebuah toko buku. Sebab, mayoritas toko buku independen jarang yang bisa membuat pengunjung kembali datang karena atmosfernya berbeda dengan yang ada di medsos.
Dari sinilah dia kemudian menerapkan strategi khusus, dengan tidak mengunggah buku-buku yang menarik untuk dibaca ke lokapasar. Lain dari itu, mereka juga memacak buku-buku yang berbeda di setiap minggunya agar publik berkenan lagi datang ke toko buku mereka.
"Media sosial memang telah menjadi salah satu medium dalam membentuk brand sebuah toko buku. Mulai dari pengalaman yang dirasakan, serta nilai-nilai yang kami suarakan lewat medsos," katanya.
Baca juga: Anak Muda Buru Buku Bacaan Nonfiksi, Refleksi & Pencarian Jati Diri Jadi Pendorong
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Seiring perubahan perilaku pembaca pada era digital, saat ini media sosial memang menjadi saluran yang sangkil untuk mempromosikan buku. Terlebih dengan munculnya para bookstagram atau influencer yang mengulas, dan berusaha mendekatkan pembaca dengan buku.
Windy Ariestanty, editor, penerjemah, dan penggagas Festival Patjar Merah mengatakan, saat festival mereka lahir pada 2019, Instagram memang menjadi salah satu media yang banyak digunakan masyarakat. Dari sinilah mereka akhirnya memilih media sosial tersebut sebagai salah satu pemasaran.
Baca juga: Berburu Buku Bacaan Sastra Indonesia Klasik Terbitan Balai Pustaka di Parade Masa
Namun, untuk lebih mendekatkan pembaca mereka mengetengahkan penceritaan sebagai alat komunikasi. Metode ini dipilih untuk memberitahu apa yang bakal pembaca dapat saat membeli buku yang diunggah, seperti apa yang menarik dari buku, dan sudut pandang lain yang dirasa dapat menggaet pembaca.
Lain dari itu, Windy juga menjadikan medsos sebagai corong untuk membangun komunikasi dengan cara yang humanis. Admin yang mengelola juga tidak boleh merujuk pada satu sosok. Mereka justru membentuk sebuah karakter bernama Patjar Min, yang nantinya dapat berinteraksi dengan pembaca secara sangkil.
"Gaya berkomunikasinya juga tidak boleh menempatkan admin sebagai karakter yang serba tahu, dan menjadikan pembaca sebagai seorang yang setara. Jadi ada do and don'ts yang sudah kami buat saat akun ini dipegang admin lain," katanya dalam diskusi di Gudskul, Sabtu, (24/5/25).
Suasana diskusi dari Rak ke Reels, Merancang Konten untuk Pemasaran Buku di Gudskul, Jakarta, pada Sabtu (24/5/25). (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Salah satu strategi yang Teddy lakukan adalah menjadikan toko buku tersebut layaknya manusia. Jadi mereka juga harus punya sifat, cara pandang politik, dan cara bertutur yang baik, agar pembaca tertarik untuk datang dan ikut merasakan dan berbagi pengalaman dari apa yang dibagikan ke medsos.
"Ihwal pendekatannya adalah kami menggunakan medsos sebagai kanal untuk berbicara, dan menjadikannya sebagai sebuah brand identitas, terutama soal kejujuran dalam menyajikan konten dan info yang kami unggah," katanya.
Lebih lanjut, menurut Teddy yang menjadi tantangan dalam mengelola toko buku pada era kiwari adalah membuat pengunjung kembali datang lagi ke sebuah toko buku. Sebab, mayoritas toko buku independen jarang yang bisa membuat pengunjung kembali datang karena atmosfernya berbeda dengan yang ada di medsos.
Dari sinilah dia kemudian menerapkan strategi khusus, dengan tidak mengunggah buku-buku yang menarik untuk dibaca ke lokapasar. Lain dari itu, mereka juga memacak buku-buku yang berbeda di setiap minggunya agar publik berkenan lagi datang ke toko buku mereka.
"Media sosial memang telah menjadi salah satu medium dalam membentuk brand sebuah toko buku. Mulai dari pengalaman yang dirasakan, serta nilai-nilai yang kami suarakan lewat medsos," katanya.
Baca juga: Anak Muda Buru Buku Bacaan Nonfiksi, Refleksi & Pencarian Jati Diri Jadi Pendorong
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.