Salah satu karya dalam pameran Utopian Dreams; Dystopian World, di Neo Gallery Jakarta (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Menyibak Imajinasi & Impian dalam Pameran Utopian Dreams; Dystopian World

20 May 2025   |   14:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Dua bingkai karya cukil kertas itu hadir dalam nuansa gelap dalam bingkai kaca. Berbentuk bulat, ornamen di dalamnya hadir dalam kesatuan yang padu dan simetris seperti simbol mandala dalam tradisi Buddha, yang menggambarkan perdamaian dan kesatuan harmoni.

Namun sat didekti, siluet tersebut justru berangkat dari gambar senjata yang digunakan untuk perang, seperti M16, AK 47, dan F16. Fragmen-fragmen senjata tersebut seolah menyiratkan sisa-sisa peradaban bumi yang hancur akibat ulah dan ambisi manusia.

The Night Sky That Ever Existed, dan The Desert That Once Existed, itulah judul karya tersebut. Bertarikh 2025, lukisan ini merupakan karya Mujahidin Nurrahman dalam pameran bertajuk Utopian Dreams; Dystopian World, di Neo Gallery, Jakarta.

Baca juga: Pameran Prophecy: Visualisasi Emosi Mikael Aldo Lewat Fotografi

Utopian Dreams; Dystopian World merupakan seteleng kolaborasi Neo Gallery dan ArtSociates yang berlangusng hingga awal pekan ini. Sesuai tajuknya, pameran ini membedah sisi ketidakpastian hidup manusia di tengah bencana iklim dan perang lewat imajinasi.

"Pameran ini mengeksplorasi hubungan antara realitas yang menuju distopia dengan potensi gambar-gambar yang utopis, atau mungkin sebaliknya," kata kurator Axel Ridzky.

Menurut Axel, karya Mujahidin Nurrahman, menjadi menjadi refleksi mendalam atas lanskap dunia yang rusak akibat perubahan iklim dan krisis ekologis. Penggunaan fragmen senjata yang digunakan juga menyiratkan sisa-sisa peradaban yang hancur.

Walakin, di balik representasi  tersebut masih ada secercah harap lewat lanskap alam di dalamnya. Visual tersebut seolah menjadi semacam refleksi agar manusia sejenak melihat  tempat yang kita tinggali masih menyimpan potensi untuk dibentuk ulang.

"Karya ini menjadi semacam meditasi visual, mengingatkan akan kontras antara kerusakan yang ditinggalkan manusia dan potensi keteraturan serta kesucian yang masih mungkin diraih," imbuhnya.

Fragmen senjata berlatar alam juga dihadirkan Mujahidin di karyanya yang lain. Di antaranya The Once Beautiful Ocean Waves, dan The Mountain That Once Existed. Semua karya ini bermedia arang di atas kertas cukil, dan lembar akrilik.

"Karya saya mayoritas isunya tentang agama dan kekerasan. Kebanyakan saya membicarakan politik atau sosial di dunia Islam, seperti patriarki perempuan, kekerasan dan stigma," kata Mujahidin dalam sebuah diskusi di Komunitas Salihara.


Lanskap Ingatan

Mengambil latar konflik berkepanjangan, bencana alam akibat perubahan iklim, kekacauan politik, hingga ancaman teknologi kecerdasan buatan, para seniman dalam seteleng bersama ini mencoba mencari harapan dan pembaruan lewat bahasa rupa.

Selain Mujahidin, para seniman yang terlibat adalah Chakra Narasangga, Dzikra Afifah, Etza Meisyara, Henryette Louise, dan Hilman Hendarsyah. Semuanya membawa kecenderungan estetika yang berbeda, baik dari segi material dan teknik.

Salah satunya hadir dalam karya Etza Meisyara, yang memboyong 5 karya dua dimensi berbahan plat logam. Dalam senari karyanya ini, perupa asal Bandung, itu juga mengeksplorasi lanskap ingatan dan disonansi emosional yang terus berubah  seiring waktu.

Di antaranya terefleksi dalam karya bertajuk Drift Atlas (etching foto, cat akrilik, karat dan debu pada plat kuningan, 80 X 60 cm, 2025). Pada karya ini Etza menghadirkan visual yang menyerupai fragmen-fragmen kenangan yang terdistorsi.

Menurut Etza, apa yang dihadirkan dalam karya ini adalah hasil tangkapan dari perjalanannya beberapa waktu terakhir ke sejumlah daerah. Metodenya lewat memoriografi, sebuah konsep tentang bagaimana menangkap arsip dari memori fotografi dan otak yang beku.

"Untuk mengekspansi metode tersebut, memoriografi dianggap sebagai sesuatu yang memiliki emosi, dan eksplorasi yang lebih lagi ketika dirasakan dalam waktu berbeda-beda," katanya.

Axel mengatakan, visual yang ditampilkan Etza menyerupai mimpi, di mana masa lalu bertemu dengan masa depan yang belum pasti. Sosok-sosok yang hadir dalam karyanya juga tampak seperti bayangan atau hantu, yang terjebak antara realitas dan alam bawah sadar.
 
Lain dari itu, palet warna yang digunakan juga memunculkan kesan hangat dan nostalgik, akan tetapi terselip juga bayangan-bayangan yang menandakan ketegangan antara rasa nyaman dan kegelisahan. Namun, semuanya tergambar dalam tekstur organik dan elemen geometris.

"Karya ini menjadi artefak yang merekam kerinduan sekaligus perubahan—sebuah catatan visual tentang apa yang pernah ada, yang masih bertahan, dan yang belum terwujud," katanya.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

SEBELUMNYA

Cek Jadwal Seleksi & Cara Daftar Beasiswa DLI yang Baru Dibuka

BERIKUTNYA

Legenda Kelam Malin Kundang Jadi Film Pertama Rio Dewanto & Faradina Mufti Beradu Peran

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: