Hari Pendidikan Nasional, Mengenang Jejak Ki Hadjar Dewantara
02 May 2025 |
08:28 WIB
Setiap tanggal 2 Mei, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai momen refleksi atas perjuangan panjang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Perayaan ini menjadi pengingat bahwa kemajuan sebuah negara sangat bergantung pada mutu pendidikan yang diterima oleh generasi mudanya.
Tanggal 2 Mei dipilih bukan tanpa alasan. Hari tersebut merupakan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh besar dan visioner dalam dunia pendidikan Indonesia. Beliau dikenal sebagai pelopor pendidikan yang inklusif dan merata, memperjuangkan agar semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, memiliki hak yang sama untuk mengakses ilmu pengetahuan.
Baca juga: Guru Galih Sulistyaningra Bicara Tantangan Mempopulerkan Pendidikan di Indonesia
Dalam buku Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya dari Museum Kebangkitan Nasional, diceritakan bahwa ia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Lahir dari keluarga bangsawan, anak dari GPH Soerjaningrat dan cucu Sri Paku Alam III, membuatnya punya akses terhadap pendidikan Barat yang kala itu sangat terbatas untuk pribumi.
Pendidikan pertamanya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar elite untuk anak-anak Eropa dan kaum priayi. Setelah itu, ia melanjutkan ke School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA), sekolah kedokteran untuk pribumi. Namun, kesehatannya yang memburuk membuatnya harus menghentikan studi.
Meski tak selesai di STOVIA, Soewardi muda tak kehilangan semangat. Ia memilih jalur jurnalistik sebagai wadah perjuangan. Melalui tulisan-tulisannya di media seperti Sediotomo, Midden Java, hingga De Expres, ia lantang menyuarakan kritik terhadap kolonialisme Belanda, dengan bahasa tajam namun bermartabat. Artikel terkenalnya yang berjudul Als ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda), jadi salah satu bukti keberaniannya bersuara demi keadilan.
Namun, perjuangannya tak berhenti di ujung pena. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang membuka pintu bagi rakyat jelata untuk mengakses ilmu pengetahuan, hal yang sebelumnya hanya menjadi hak istimewa kalangan atas.
Bagi Ki Hadjar, pendidikan bukan semata proses transfer ilmu, melainkan alat pembebasan, sebuah jalan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan merdeka. Ia menolak sistem pendidikan kolonial yang kaku, diskriminatif, dan hanya menekankan intelektualisme tanpa menyentuh aspek kemanusiaan.
Sebaliknya, sistem Taman Siswa menekankan nilai humanisme, kerakyatan, dan kebangsaan. Pendidikan harus mampu membentuk karakter, bukan hanya mencetak lulusan. Ia percaya, guru adalah panutan, bukan sekadar pengajar. Maka lahirlah tiga asas pendidikannya yang melegenda:
Ketiga semboyan itu hingga kini masih menjadi landasan dalam dunia pendidikan Indonesia, terutama “Tut Wuri Handayani” yang diadopsi sebagai slogan resmi Kementerian Pendidikan.
Setelah Indonesia merdeka, pengabdian Ki Hadjar Dewantara berlanjut. Ia dipercaya sebagai Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia pada 1950, membawa semangat pendidikan inklusif yang merdeka dari tekanan politik maupun diskriminasi sosial.
Sebagai bentuk penghormatan, ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 1959 dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun yang sama. Ia wafat pada 26 April 1959, tapi gagasan dan semangatnya terus hidup dalam setiap ruang kelas dan buku pelajaran yang dibuka oleh anak-anak bangsa.
Lewat Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, tanggal kelahirannya resmi dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari ini bukan hanya untuk mengenang beliau, tapi juga sebagai pengingat bahwa pendidikan yang adil dan merdeka adalah hak seluruh rakyat Indonesia.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Tanggal 2 Mei dipilih bukan tanpa alasan. Hari tersebut merupakan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh besar dan visioner dalam dunia pendidikan Indonesia. Beliau dikenal sebagai pelopor pendidikan yang inklusif dan merata, memperjuangkan agar semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, memiliki hak yang sama untuk mengakses ilmu pengetahuan.
Baca juga: Guru Galih Sulistyaningra Bicara Tantangan Mempopulerkan Pendidikan di Indonesia
Dalam buku Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya dari Museum Kebangkitan Nasional, diceritakan bahwa ia lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Lahir dari keluarga bangsawan, anak dari GPH Soerjaningrat dan cucu Sri Paku Alam III, membuatnya punya akses terhadap pendidikan Barat yang kala itu sangat terbatas untuk pribumi.
Pendidikan pertamanya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar elite untuk anak-anak Eropa dan kaum priayi. Setelah itu, ia melanjutkan ke School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA), sekolah kedokteran untuk pribumi. Namun, kesehatannya yang memburuk membuatnya harus menghentikan studi.
Meski tak selesai di STOVIA, Soewardi muda tak kehilangan semangat. Ia memilih jalur jurnalistik sebagai wadah perjuangan. Melalui tulisan-tulisannya di media seperti Sediotomo, Midden Java, hingga De Expres, ia lantang menyuarakan kritik terhadap kolonialisme Belanda, dengan bahasa tajam namun bermartabat. Artikel terkenalnya yang berjudul Als ik een Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda), jadi salah satu bukti keberaniannya bersuara demi keadilan.
Namun, perjuangannya tak berhenti di ujung pena. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang membuka pintu bagi rakyat jelata untuk mengakses ilmu pengetahuan, hal yang sebelumnya hanya menjadi hak istimewa kalangan atas.
Bagi Ki Hadjar, pendidikan bukan semata proses transfer ilmu, melainkan alat pembebasan, sebuah jalan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan merdeka. Ia menolak sistem pendidikan kolonial yang kaku, diskriminatif, dan hanya menekankan intelektualisme tanpa menyentuh aspek kemanusiaan.
Sebaliknya, sistem Taman Siswa menekankan nilai humanisme, kerakyatan, dan kebangsaan. Pendidikan harus mampu membentuk karakter, bukan hanya mencetak lulusan. Ia percaya, guru adalah panutan, bukan sekadar pengajar. Maka lahirlah tiga asas pendidikannya yang melegenda:
- Ing ngarsa sung tulada – di depan memberi contoh
- Ing madya mangun karsa – di tengah membangun semangat
- Tut wuri handayani – di belakang memberi dorongan
Ketiga semboyan itu hingga kini masih menjadi landasan dalam dunia pendidikan Indonesia, terutama “Tut Wuri Handayani” yang diadopsi sebagai slogan resmi Kementerian Pendidikan.
Setelah Indonesia merdeka, pengabdian Ki Hadjar Dewantara berlanjut. Ia dipercaya sebagai Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia pada 1950, membawa semangat pendidikan inklusif yang merdeka dari tekanan politik maupun diskriminasi sosial.
Sebagai bentuk penghormatan, ia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 1959 dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun yang sama. Ia wafat pada 26 April 1959, tapi gagasan dan semangatnya terus hidup dalam setiap ruang kelas dan buku pelajaran yang dibuka oleh anak-anak bangsa.
Lewat Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, tanggal kelahirannya resmi dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari ini bukan hanya untuk mengenang beliau, tapi juga sebagai pengingat bahwa pendidikan yang adil dan merdeka adalah hak seluruh rakyat Indonesia.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.