Cerita di Balik Penulisan Manuskrip Al-Qur'an Terpanjang dengan Khat Hijazi Awal
18 March 2025 |
15:22 WIB
Pondok Pesantren Modern Sahid Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat melakukan penulisan Ulang Manuskrip Al-Qur'an Terpanjang dengan Khat Hijazi Awal. Kegiatan yang dilakukan mulai 17 Maret sampai 27 Mei 2025 tersebut menjadi bagian dari pencatatan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Awal mula tercetusnya ide tersebut, berangkat dari Sri Bimastuti H. Sukamdani, Dewan Pembina Yayasan Wakaf Sahid Husnul Khotimah dan Vice President Sahid Group setelah perjalanannya ke Uzbekistan pada 2018.
"Saat di Uzbekisan saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu museum Al-Qur'an di Tashkent dan melihat Al-Qur'an asli peninggalan khalifah Usman bin Affan yang tertua di dunia," paparnya.
Baca juga: Pondok Pesantren Modern Sahid Pecahkan Rekor MURI Penulisan Manuskrip Al-Qur'an Terpanjang
Sepulang dari sana Sri Bimastuti tergerak untuk untuk membuat Rekor muri penulisan Al-Qur'an tertua di dunia tersebut, atas dorongan dari kerabat dan rekan-rekannya. Prosesnya memang cukup panjang, namun dia banyak mendapatkan dukungan dari pimpinan dan pengurus Pondok Pesantren Modern Sahid sampai akhirnya bisa terealisasi sekarang.
"Mudah-mudahan, perjalanan ini baik untuk kita semua, terutama anak-anak muda supaya bisa lebih mencintai Al-Qur'an, memahami sejarahnya dan menjadikannya sebagai pedoman hidup," lanjutnya.
Tantangan terbesar yang dikhawatirkan terjadi saat proses penulisan adalah, anak-anak yang belum terbiasa menulis dengan pena bambu dan tinta. Oleh karenanya, para pengajar mempersiapkan mereka dengan melakukan pelatihan supaya proses penulisannya rapi tanpa ada tinta yang berceceran.
Penulisan Al-Qur'an terpanjang ini diperkirakan akan selesai dalam beberapa bulan ke depan. Setelah rampung, karya ini akan dipamerkan di Museum Rekor Dunia Indonesia dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas sebagai bentuk apresiasi terhadap seni kaligrafi Islam.
Di sisi lain, Syaifuddin sebagai Kepala Seksi Koleksi dan Pameran, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, yang juga melakukan perjalanan ke Uzbekistan bersama, memaparkan bahwa Al-Qur'an asli peninggalan khalifah Usman bin Affan ini menjadi inspirasi terbesar dilaksanakannnya Rekor MURI tersebut.
Melihat dari sisi historisnya, pengumpulan dan penulisan alias kodifikasi Al-Qur'an yang paling penting adalah pada masa khalifah Utsman bin Affan. Kala itu ada banyak sekali versi bacaan Al-Qur'an, di mana orang-orang saling mengafirkan karena perbedaan tersebut.
Para pasukan muslim dari Syam (yang bacaannya al-Miqdad bin al-Aswad) dan pasukan muslim dari Irak (yang berguru dari Ibnu Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari) hampir saling mengkafirkan satu sama lain. Perbedaan versi ini membawa konflik di tengah masyarakat.
"Akhirnya peristiwa-peristiwa itu mengilhami beliau untuk menyusun mushaf (naskah kuno atau koleksi lembar) Al-Qur'an yang kemudian akan menjadi standar dan acuan utama dalam semua mushaf yang ditulis setelahnya," ujar Syaifuddin.
Utsman bin Affan kemudian memanggil para sahabat terkemuka ahli Al-Qur’an untuk mencari akar masalah dan mencoba mengatasinya. Dia mengaktifkan tim kodifikasi dengan ketuanya Zaid bin Tsabit atas inisiatif Hudzaifah bin Yaman yang menyaksikan langsung perselisihan atas perbedaan bacaan.
Bentuk mushaf yang disalin ulang pada masa khalifah Utsman tidak banyak berbeda dengan bentuk penulisan pada masa Nabi Muhammad SAW. dan khalifah sebelumnya. Dari sisi kaligrafi berbentuk Kufi dan belum terdapat tanda diakritik (tanda baca) dan titik-titik huruf, baik titik harakat (naqt al-irob) maupun titik huruf (naqt al-i'jam).
Di tangan para sahabat ini, tersusun mushaf Utsmani yang kemudian didistribusikan ke beberapa jantung-jantung kekuasaan Islam dengan diiringi para qori (orang yang melantunkan bacaan Al-Quran dengan mentaati aturan-aturan yang benar) untuk dijadikan standar penulisan. Kota-kota tersebut adalah Mekkah, Syam, Basrah, Kufah, Madinah.
Mengutip arsip bayt al quran museum istiqlal, sebelum datangnya mesin cetak di Nusantara, penggandaan Al-Qur'an dilakukan secara manual dengan menyalin (menulis ulang) huruf perhuruf hingga lengkap 30 juz. Penyalinan Al- Qur'an secara manual ini diperkirakan sudah ada sejal akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung timur Laut Sumatera menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Dalam catatan Ibnu Batutah yang pernah singgah di Samudra Pasai pada 1345 melaporkan, Sultan Pasai sering menghadiri pembacaan Al-Qur'an dan diskusi keagamaan dengan rakyatnya.
Meskipun demikian, bukti fisik keberadaan mushaf tertua yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16 tepatnya Jumadil Awal 993 H (1585), koleksi William Marsden (w.1836), Inggris.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dari 2009 hingga 2014, penyalinan Al-Qur'an dilakukan secara masif terjadi pada abad ke 18 dan 19 M, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan Islam di wilayah-wilayah penting di Nusantara.
Wilayah tersebut seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan manuskrip Al-Qur'an masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak.
Memasuki abad ke 20, teknik cetak litografi mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin cetak modern oleh beberapa penerbit masa awal seperti Maktabah Al-Islamiyyah (Bukittinggi), Maktabah Al-Mishriyyah Abdullah Afif (Cirebon) dan Penerbit Nabhan (Surabaya). Pasca era 1950-an, muncul Al-Ma'arif (Bandung), Sulaiman Mar'i (Surabaya), Sinar Kebudayaan Islam (Jakarta), Tinta Mas (Jakarta), dan Menara Kudus.
Perkembangan penerbitan mushaf Al-Qur'an di Indonesia tumbuh pesat memasuki abad ke-21. Munculnya penerbit-penerbit baru dengan berbagai inovasi perwajahan dan konten pelengkap teks. Al-Qur'an menjadi sangat inovatif dan kompetitif. Sampai akhirnya pada 2023 tercatat kurang lebih ada 239 penerbit mushaf Al-Qur'an di Indonesia.
Baca juga: Jejak Penulisan dan Penyalinan Al-Quran Sejak Diturunkan pada Nabi Muhammad SAW
Awal mula tercetusnya ide tersebut, berangkat dari Sri Bimastuti H. Sukamdani, Dewan Pembina Yayasan Wakaf Sahid Husnul Khotimah dan Vice President Sahid Group setelah perjalanannya ke Uzbekistan pada 2018.
"Saat di Uzbekisan saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu museum Al-Qur'an di Tashkent dan melihat Al-Qur'an asli peninggalan khalifah Usman bin Affan yang tertua di dunia," paparnya.
Baca juga: Pondok Pesantren Modern Sahid Pecahkan Rekor MURI Penulisan Manuskrip Al-Qur'an Terpanjang
Sepulang dari sana Sri Bimastuti tergerak untuk untuk membuat Rekor muri penulisan Al-Qur'an tertua di dunia tersebut, atas dorongan dari kerabat dan rekan-rekannya. Prosesnya memang cukup panjang, namun dia banyak mendapatkan dukungan dari pimpinan dan pengurus Pondok Pesantren Modern Sahid sampai akhirnya bisa terealisasi sekarang.
"Mudah-mudahan, perjalanan ini baik untuk kita semua, terutama anak-anak muda supaya bisa lebih mencintai Al-Qur'an, memahami sejarahnya dan menjadikannya sebagai pedoman hidup," lanjutnya.
Tantangan terbesar yang dikhawatirkan terjadi saat proses penulisan adalah, anak-anak yang belum terbiasa menulis dengan pena bambu dan tinta. Oleh karenanya, para pengajar mempersiapkan mereka dengan melakukan pelatihan supaya proses penulisannya rapi tanpa ada tinta yang berceceran.
Manuskrip Al-Qur'an Terpanjang dengan Khat Hijazi Awal (Sumber Foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Penulisan Al-Qur'an terpanjang ini diperkirakan akan selesai dalam beberapa bulan ke depan. Setelah rampung, karya ini akan dipamerkan di Museum Rekor Dunia Indonesia dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas sebagai bentuk apresiasi terhadap seni kaligrafi Islam.
Di sisi lain, Syaifuddin sebagai Kepala Seksi Koleksi dan Pameran, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, yang juga melakukan perjalanan ke Uzbekistan bersama, memaparkan bahwa Al-Qur'an asli peninggalan khalifah Usman bin Affan ini menjadi inspirasi terbesar dilaksanakannnya Rekor MURI tersebut.
Melihat dari sisi historisnya, pengumpulan dan penulisan alias kodifikasi Al-Qur'an yang paling penting adalah pada masa khalifah Utsman bin Affan. Kala itu ada banyak sekali versi bacaan Al-Qur'an, di mana orang-orang saling mengafirkan karena perbedaan tersebut.
Para pasukan muslim dari Syam (yang bacaannya al-Miqdad bin al-Aswad) dan pasukan muslim dari Irak (yang berguru dari Ibnu Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari) hampir saling mengkafirkan satu sama lain. Perbedaan versi ini membawa konflik di tengah masyarakat.
"Akhirnya peristiwa-peristiwa itu mengilhami beliau untuk menyusun mushaf (naskah kuno atau koleksi lembar) Al-Qur'an yang kemudian akan menjadi standar dan acuan utama dalam semua mushaf yang ditulis setelahnya," ujar Syaifuddin.
Mushaf Al-Quran khalifah Utsman bin Affan (Sumber Foto: Hypeabis.id/Kintan Nabila)
Bentuk mushaf yang disalin ulang pada masa khalifah Utsman tidak banyak berbeda dengan bentuk penulisan pada masa Nabi Muhammad SAW. dan khalifah sebelumnya. Dari sisi kaligrafi berbentuk Kufi dan belum terdapat tanda diakritik (tanda baca) dan titik-titik huruf, baik titik harakat (naqt al-irob) maupun titik huruf (naqt al-i'jam).
Di tangan para sahabat ini, tersusun mushaf Utsmani yang kemudian didistribusikan ke beberapa jantung-jantung kekuasaan Islam dengan diiringi para qori (orang yang melantunkan bacaan Al-Quran dengan mentaati aturan-aturan yang benar) untuk dijadikan standar penulisan. Kota-kota tersebut adalah Mekkah, Syam, Basrah, Kufah, Madinah.
Sejarah Penulisan Ulang Al-Qur'an di Nusantara
Pencatatan Rekor Muri penulisan ulang manuskrip Al-Qur'an terpanjang dan terkuno oleh Pondok Pesantren Modern Sahid membuat kita penasaran dan ingin menengok kembali seperti apa sejarah penyalinan atau penulisan ulang Al-Qur'an di Nusantara.Mengutip arsip bayt al quran museum istiqlal, sebelum datangnya mesin cetak di Nusantara, penggandaan Al-Qur'an dilakukan secara manual dengan menyalin (menulis ulang) huruf perhuruf hingga lengkap 30 juz. Penyalinan Al- Qur'an secara manual ini diperkirakan sudah ada sejal akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung timur Laut Sumatera menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Dalam catatan Ibnu Batutah yang pernah singgah di Samudra Pasai pada 1345 melaporkan, Sultan Pasai sering menghadiri pembacaan Al-Qur'an dan diskusi keagamaan dengan rakyatnya.
Meskipun demikian, bukti fisik keberadaan mushaf tertua yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16 tepatnya Jumadil Awal 993 H (1585), koleksi William Marsden (w.1836), Inggris.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an dari 2009 hingga 2014, penyalinan Al-Qur'an dilakukan secara masif terjadi pada abad ke 18 dan 19 M, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan Islam di wilayah-wilayah penting di Nusantara.
Wilayah tersebut seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan manuskrip Al-Qur'an masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak.
Memasuki abad ke 20, teknik cetak litografi mulai ditinggalkan dan diganti dengan mesin cetak modern oleh beberapa penerbit masa awal seperti Maktabah Al-Islamiyyah (Bukittinggi), Maktabah Al-Mishriyyah Abdullah Afif (Cirebon) dan Penerbit Nabhan (Surabaya). Pasca era 1950-an, muncul Al-Ma'arif (Bandung), Sulaiman Mar'i (Surabaya), Sinar Kebudayaan Islam (Jakarta), Tinta Mas (Jakarta), dan Menara Kudus.
Perkembangan penerbitan mushaf Al-Qur'an di Indonesia tumbuh pesat memasuki abad ke-21. Munculnya penerbit-penerbit baru dengan berbagai inovasi perwajahan dan konten pelengkap teks. Al-Qur'an menjadi sangat inovatif dan kompetitif. Sampai akhirnya pada 2023 tercatat kurang lebih ada 239 penerbit mushaf Al-Qur'an di Indonesia.
Baca juga: Jejak Penulisan dan Penyalinan Al-Quran Sejak Diturunkan pada Nabi Muhammad SAW
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.