Kemdiktisaintek Tanggapi #KaburAjaDulu, Perlu Kolaborasi Kampus & Sektor Industri
10 March 2025 |
12:21 WIB
Fenomena tagar Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu yang belakangan menjadi perbincangan publik di media sosial mendapat perhatian dari sejumlah pihak, tak terkecuali Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto.
Dia menilai tagar Kabur Aja Dulu di media sosial merupakan aspirasi dari masyarakat yang menjadi evaluasi bagi pemerintah. "Itu kan aspirasi atau suara yang berkembang di masyarakat, itu sebagai sesuatu yang kami perlu lihat sebagai apa yang ada yang harus dievaluasi," kata Brian di Kantor Kemdiktisaintek, Jakarta, baru-baru ini.
Baca juga: Hypereport: Cerita Rieke Diah Pitaloka Soroti #KaburAjaDulu hingga Pentingnya Data Nasional
Brian mengakui bahwa atmosfer kerja di Indonesia masih perlu diperbaiki agar lebih kondusif bagi tenaga kerja muda. Meski begitu, dia menekankan bahwa secara fundamental, batas geografis kini semakin kabur, terutama dalam dunia kerja. Sebab, menurut Brian, ada juga beberapa masyarakat yang tinggal di Indonesia namun bekerja di perusahaan luar negeri.
"Memang keperluannya kami tingkatkan nih dari sisi iklim [kerja], atmosfer kerja, dan sebagainya. Tapi kan setiap negara pasti punya kondisi yang berbeda-beda, budaya yang berbeda-beda," ucapnya.
Dia menyampaikan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja di Indonesia ialah melibatkan kampus dengan pihak industri untuk mendorong riset yang lebih terfokus. Dengan demikian, riset dan pengembangan (R&D) yang dilakukan oleh para peneliti di kampus bisa mendorong penguatan industri nasional.
"Kolaborasi antarkampus harus dilakukan secara mutlak. Kita perlu memfokuskan riset dan inovasi pada produk-produk tertentu, yang bisa langsung menjawab kebutuhan masyarakat dan industri," katanya.
Menurutnya, selama ini, meskipun riset telah dilakukan di berbagai bidang, cenderung kurang fokus pada bidang yang spesifik. Hal ini mengakibatkan banyak temuan penelitian tidak dapat berkembang menjadi produk akhir yang bisa dimanfaatkan oleh industri. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya Kemdiktisaintek mengawal program riset yang sedang berjalan agar dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang ada.
"Kami akan memastikan bahwa riset-riset ini dapat berjalan dengan baik dan terarah, agar masalah yang ada, bisa terjawab dengan inovasi yang dihasilkan oleh kampus-kampus kita," tambah Brian.
Dia juga menyebutkan bahwa keterlibatan dunia pendidikan dengan sektor industri sejak dini dalam membangun sumber daya manusia (SDM) adalah kunci untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja di Indonesia.
Dengan adanya industri baru di berbagai sektor, seperti otomotif dan agraria, Brian meyakini bahwa ekosistem lapangan kerja akan semakin luas, sehingga anak muda tidak perlu mencari peluang kerja ke luar negeri.
"Kita akan dorong, jadi kalau dulu barangkali belum terjadi link and match, kita dorong sehingga produk-produk riset bisa menjadi industri. Karena itu penting kalau kita mau menaikkan kesejahteraan supaya lapangan kerja banyak," imbuhnya.
Fenomena Kabur Aja Dulu kerap dikaitkan dengan istilah brain drain, yakni banyaknya tenaga terampil, berpendidikan tinggi dan profesional lainnya yang meninggalkan negara asal mereka dan pindah ke negara lain. Biasanya, mereka memilih negara tujuan yang menawarkan kondisi kerja yang lebih baik, gaji yang lebih tinggi, fasilitas penelitian yang lebih lengkap, atau peluang pengembangan karier yang lebih luas.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengatakan fenomena brain drain tidak bisa hanya dipandang dari sisi negatifnya, tetapi juga harus dilihat dari sisi positifnya. Menurutnya, banyaknya diaspora yang berkualitas di luar negeri berkontribusi besar dalam pembangunan negara.
Hal tersebut merujuk pada konsep brain circulation, yaitu gagasan di mana individu berpendidikan dan berbakat, terutama profesional dan akademisi, menimba ilmu atau bekerja di luar negeri, lalu kembali ke negaranya dengan membawa pengalaman, keterampilan, serta jaringan yang lebih luas. Menurutnya, hal ini tidak hanya mendorong kemajuan di bidang sains dan teknologi, tetapi juga memperkuat perekonomian negara.
"Jadi brain circulation ini sebenarnya sangat penting sekali untuk meningkatkan discourse power of Indonesia, itu sangat penting," kata Stella.
Tagar Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu belakangan menjadi perbincangan publik di media sosial khususnya di kalangan anak muda. Tagar ini merupakan ungkapan atau seruan dari masyarakat khususnya anak muda untuk meninggalkan atau 'kabur' dari Indonesia demi bekerja maupun melanjutkan studi di luar negeri.
Fenomena Kabur Aja Dulu dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri. Situasi tersebut terjadi diduga karena banyaknya kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, fenomena Kabur Aja Dulu juga dikaitkan dengan sistem pendidikan di Tanah Air yang cenderung memiliki biaya mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan gaji per bulan yang rendah.
Bukan sekadar tagar. Niat migrasi di kalangan masyarakat khususnya anak muda cukup signifikan. Hal ini terungkap dalam hasil survei terbaru yang dilakukan oleh YouGov Indonesia. Survei yang dilakukan pada 24-27 Februari 2025 itu menemukan bahwa Gen Z menjadi generasi yang paling minat untuk pindah ke luar negeri dalam beberapa tahun ke depan sebagaimana diungkap oleh 41 persen dari responden.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan Milenial sebesar 31 persen, Gen X 26 persen, dan Baby Boomers 12 persen. Berbagai tujuan melatarbelakangi keinginan masyarakat pindah ke luar negeri, mulai dari ingin memulai bisnis sendiri, melanjutkan studi, hingga mencari peluang bisnis dan karier global.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi menilai fenomena tagar Kabur Aja Dulu merupakan bentuk penilaian generasi muda khususnya kalangan terdidik kepada pemerintah saat ini, yang dianggap kurang memperhatikan hak-hak warga negara khususnya dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Penilaian itu lantas berkembang menjadi satu sikap bahwa peluang mendapatkan kerja di dalam negeri saat ini kian menyempit. Kondisi tersebut makin diperparah dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran, sehingga perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan kerja sama dengan pemerintah harus mengurangi tenaga kerja.
"Misalnya pekerja hotel jelas sebentar lagi akan dikurangi. Kemudian perusahaan-perusahaan swasta yang biasa bekerja sama dengan pemerintah pasti sebentar lagi akan kehilangan proyek-proyek yang biasanya datang dari pemerintah. Jadi pengurangan tenaga kerja juga akan besar-besaran akan terjadi. Kemudian masyarakat akhirnya mencari pekerjaan atau peluang di luar negeri," katanya kepada Hypeabis.id.
Sigit mengatakan fenomena Kabur Aja Dulu juga tidak bisa dilepaskan dari keputusan pemerintah yang kini membangun struktur organisasi sangat gemuk dengan jumlah anggota kabinet yang sangat besar. Hal ini, katanya, menumbuhkan pesimisme terutama di kalangan anak muda. Alih-alih menciptakan lapangan kerja yang besar, pemerintah justru membuat kabinet yang gemuk dengan anggaran yang besar.
"Artinya pemerintah yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar hampir 60 persen suara kemarin dalam pemilihan umum [Pemilu] itu tidak menjawab dengan program-program yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Menurut Sigit, seharusnya pemerintah merespons fenomena #KaburAjaDulu secara positif dengan menciptakan program-program bertahap dalam penciptaan lapangan kerja. Kebijakan-kebijakan yang jelas dan berpihak pada generasi muda terdidik, agar mereka segera terserap lapangan kerja.
"Itu hanya bisa terjadi kalau kebijakan efisiensi di era Pak Prabowo ini diarahkan untuk penciptaan lapangan kerja. Kalau efisiensi dipakai terlalu besar untuk makan gratis, untuk membiayai pemerintahnya yang terlalu gemuk, ya ini jelas pemikiran atau cara berpikir yang kontradiktif. Organisasi di atasnya gemuk, yang ada di lapisan bawah ini sangat kesusahan karena terjadi PHK atau efisiensi," katanya.
Baca juga: Bukan Tagar Belaka, 41% Anak Muda Minat 'Kabur' ke Luar Negeri
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dia menilai tagar Kabur Aja Dulu di media sosial merupakan aspirasi dari masyarakat yang menjadi evaluasi bagi pemerintah. "Itu kan aspirasi atau suara yang berkembang di masyarakat, itu sebagai sesuatu yang kami perlu lihat sebagai apa yang ada yang harus dievaluasi," kata Brian di Kantor Kemdiktisaintek, Jakarta, baru-baru ini.
Baca juga: Hypereport: Cerita Rieke Diah Pitaloka Soroti #KaburAjaDulu hingga Pentingnya Data Nasional
Brian mengakui bahwa atmosfer kerja di Indonesia masih perlu diperbaiki agar lebih kondusif bagi tenaga kerja muda. Meski begitu, dia menekankan bahwa secara fundamental, batas geografis kini semakin kabur, terutama dalam dunia kerja. Sebab, menurut Brian, ada juga beberapa masyarakat yang tinggal di Indonesia namun bekerja di perusahaan luar negeri.
"Memang keperluannya kami tingkatkan nih dari sisi iklim [kerja], atmosfer kerja, dan sebagainya. Tapi kan setiap negara pasti punya kondisi yang berbeda-beda, budaya yang berbeda-beda," ucapnya.
Dia menyampaikan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja di Indonesia ialah melibatkan kampus dengan pihak industri untuk mendorong riset yang lebih terfokus. Dengan demikian, riset dan pengembangan (R&D) yang dilakukan oleh para peneliti di kampus bisa mendorong penguatan industri nasional.
"Kolaborasi antarkampus harus dilakukan secara mutlak. Kita perlu memfokuskan riset dan inovasi pada produk-produk tertentu, yang bisa langsung menjawab kebutuhan masyarakat dan industri," katanya.
Menurutnya, selama ini, meskipun riset telah dilakukan di berbagai bidang, cenderung kurang fokus pada bidang yang spesifik. Hal ini mengakibatkan banyak temuan penelitian tidak dapat berkembang menjadi produk akhir yang bisa dimanfaatkan oleh industri. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya Kemdiktisaintek mengawal program riset yang sedang berjalan agar dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang ada.
"Kami akan memastikan bahwa riset-riset ini dapat berjalan dengan baik dan terarah, agar masalah yang ada, bisa terjawab dengan inovasi yang dihasilkan oleh kampus-kampus kita," tambah Brian.
Dia juga menyebutkan bahwa keterlibatan dunia pendidikan dengan sektor industri sejak dini dalam membangun sumber daya manusia (SDM) adalah kunci untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja di Indonesia.
Dengan adanya industri baru di berbagai sektor, seperti otomotif dan agraria, Brian meyakini bahwa ekosistem lapangan kerja akan semakin luas, sehingga anak muda tidak perlu mencari peluang kerja ke luar negeri.
"Kita akan dorong, jadi kalau dulu barangkali belum terjadi link and match, kita dorong sehingga produk-produk riset bisa menjadi industri. Karena itu penting kalau kita mau menaikkan kesejahteraan supaya lapangan kerja banyak," imbuhnya.
Sisi Positif Brain Drain
Fenomena Kabur Aja Dulu kerap dikaitkan dengan istilah brain drain, yakni banyaknya tenaga terampil, berpendidikan tinggi dan profesional lainnya yang meninggalkan negara asal mereka dan pindah ke negara lain. Biasanya, mereka memilih negara tujuan yang menawarkan kondisi kerja yang lebih baik, gaji yang lebih tinggi, fasilitas penelitian yang lebih lengkap, atau peluang pengembangan karier yang lebih luas.Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengatakan fenomena brain drain tidak bisa hanya dipandang dari sisi negatifnya, tetapi juga harus dilihat dari sisi positifnya. Menurutnya, banyaknya diaspora yang berkualitas di luar negeri berkontribusi besar dalam pembangunan negara.
Hal tersebut merujuk pada konsep brain circulation, yaitu gagasan di mana individu berpendidikan dan berbakat, terutama profesional dan akademisi, menimba ilmu atau bekerja di luar negeri, lalu kembali ke negaranya dengan membawa pengalaman, keterampilan, serta jaringan yang lebih luas. Menurutnya, hal ini tidak hanya mendorong kemajuan di bidang sains dan teknologi, tetapi juga memperkuat perekonomian negara.
"Jadi brain circulation ini sebenarnya sangat penting sekali untuk meningkatkan discourse power of Indonesia, itu sangat penting," kata Stella.
Tagar Kabur Aja Dulu atau #KaburAjaDulu belakangan menjadi perbincangan publik di media sosial khususnya di kalangan anak muda. Tagar ini merupakan ungkapan atau seruan dari masyarakat khususnya anak muda untuk meninggalkan atau 'kabur' dari Indonesia demi bekerja maupun melanjutkan studi di luar negeri.
Fenomena Kabur Aja Dulu dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan keadilan di dalam negeri. Situasi tersebut terjadi diduga karena banyaknya kebijakan pemerintah belakangan ini yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, fenomena Kabur Aja Dulu juga dikaitkan dengan sistem pendidikan di Tanah Air yang cenderung memiliki biaya mahal, rendahnya ketersediaan lapangan kerja, dan gaji per bulan yang rendah.
Bukan sekadar tagar. Niat migrasi di kalangan masyarakat khususnya anak muda cukup signifikan. Hal ini terungkap dalam hasil survei terbaru yang dilakukan oleh YouGov Indonesia. Survei yang dilakukan pada 24-27 Februari 2025 itu menemukan bahwa Gen Z menjadi generasi yang paling minat untuk pindah ke luar negeri dalam beberapa tahun ke depan sebagaimana diungkap oleh 41 persen dari responden.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan Milenial sebesar 31 persen, Gen X 26 persen, dan Baby Boomers 12 persen. Berbagai tujuan melatarbelakangi keinginan masyarakat pindah ke luar negeri, mulai dari ingin memulai bisnis sendiri, melanjutkan studi, hingga mencari peluang bisnis dan karier global.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi menilai fenomena tagar Kabur Aja Dulu merupakan bentuk penilaian generasi muda khususnya kalangan terdidik kepada pemerintah saat ini, yang dianggap kurang memperhatikan hak-hak warga negara khususnya dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Penilaian itu lantas berkembang menjadi satu sikap bahwa peluang mendapatkan kerja di dalam negeri saat ini kian menyempit. Kondisi tersebut makin diperparah dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran, sehingga perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan kerja sama dengan pemerintah harus mengurangi tenaga kerja.
"Misalnya pekerja hotel jelas sebentar lagi akan dikurangi. Kemudian perusahaan-perusahaan swasta yang biasa bekerja sama dengan pemerintah pasti sebentar lagi akan kehilangan proyek-proyek yang biasanya datang dari pemerintah. Jadi pengurangan tenaga kerja juga akan besar-besaran akan terjadi. Kemudian masyarakat akhirnya mencari pekerjaan atau peluang di luar negeri," katanya kepada Hypeabis.id.
Sigit mengatakan fenomena Kabur Aja Dulu juga tidak bisa dilepaskan dari keputusan pemerintah yang kini membangun struktur organisasi sangat gemuk dengan jumlah anggota kabinet yang sangat besar. Hal ini, katanya, menumbuhkan pesimisme terutama di kalangan anak muda. Alih-alih menciptakan lapangan kerja yang besar, pemerintah justru membuat kabinet yang gemuk dengan anggaran yang besar.
"Artinya pemerintah yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar hampir 60 persen suara kemarin dalam pemilihan umum [Pemilu] itu tidak menjawab dengan program-program yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Menurut Sigit, seharusnya pemerintah merespons fenomena #KaburAjaDulu secara positif dengan menciptakan program-program bertahap dalam penciptaan lapangan kerja. Kebijakan-kebijakan yang jelas dan berpihak pada generasi muda terdidik, agar mereka segera terserap lapangan kerja.
"Itu hanya bisa terjadi kalau kebijakan efisiensi di era Pak Prabowo ini diarahkan untuk penciptaan lapangan kerja. Kalau efisiensi dipakai terlalu besar untuk makan gratis, untuk membiayai pemerintahnya yang terlalu gemuk, ya ini jelas pemikiran atau cara berpikir yang kontradiktif. Organisasi di atasnya gemuk, yang ada di lapisan bawah ini sangat kesusahan karena terjadi PHK atau efisiensi," katanya.
Baca juga: Bukan Tagar Belaka, 41% Anak Muda Minat 'Kabur' ke Luar Negeri
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.