Ilustrasi siswa sekolah dasar. (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Rachman)

Hypereport: Kekhawatiran Dunia Pendidikan di Tengah Efisiensi Anggaran

24 February 2025   |   20:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Pendidikan menjadi salah satu sektor yang terdampak kebijakan efisiensi anggaran 2025. Pendidikan merupakan fondasi penting untuk menciptakan sumber daya manusia berkualitas serta mencerdaskan bangsa. Tak ayal, pemotongan anggaran di sektor ini menuai protes berbagai kalangan.

Efisiensi anggaran terjadi di sektor pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengalami pemangkasan anggaran untuk tahun 2025 sebesar Rp7,27 triliun. Dari yang semula memiliki anggaran sebesar Rp33,5 triliun menjadi Rp26,2 triliun. 

Baca juga: Efisiensi Anggaran Kemendikdasmen, Delegasi Lomba Internasional Tetap Didukung

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti memaparkan merujuk pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, terdapat sejumlah program di Kemendikdasmen yang tidak mengalami pemotongan yakni seperti belanja pegawai  gaji dan tunjangan ASN sebesar Rp1,64 triliun, serta belanja bantuan sosial seperti Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar Rp9,6 triliun dan bantuan bencana sebesar Rp22,5 miliar.

Selain itu, tunjangan guru non ASN juga tidak terkena pemangkasan yakni sebesar Rp11,5 triliun. "Nilai ini sudah termasuk kenaikan tunjungan profesi guru non ASN yang dinaikkan menjadi Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta per orang per bulan," kata Mu'ti dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI, pekan lalu.

Selain hal-hal tersebut, efisiensi anggaran terjadi di hampir seluruh program Kemendikdasmen. Program-program prioritas yang ada tetap berjalan namun dengan dana terbatas. Misalnya, Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) yang semula menyasar 3.879 penerima, menjadi 3.212 penerima. Begitupun bantuan pemerintah untuk lembaga penyelanggara pendidikan yang semula menargetkan 2.929 lembaga menjadi 1.317 lembaga.

Program pengembangan prestasi dan talenta juga mengalami pemangkasan, dari yang semula menyasar 500 lembaga untuk 36.305 orang, menjadi tinggal 95 lembaga untuk 4.367 orang. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) juga terkena efisiensi, yang tahun ini hanya disediakan untuk setengah dari total target penerima yakni 401.600 orang.

"Meskipun pemerintah belum bisa menyediakan secara penuh untuk 806.000 orang, hampir separuhnya tetap bisa dibiayai untuk tahun 2025," kata Mu'ti.

Pemangkasan juga terjadi untuk pendidikan vokasi. Program pengembangan SMK Pusat Keunggulan misalnya, yang semula menargetkan 1.178 lembaga menjadi tinggal 15 lembaga. Begitupun dengan pendidikan dan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan vokasi yang semula menargetkan 10.214 orang menjadi 1.421 orang.

Tak hanya di pendidikan tingkat dasar dan menengah, efisiensi anggaran juga terjadi di pendidikan tinggi dalam Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek). Semula, Kemdiktisaintek menerima anggaran sebesar Rp56,6 triliun. Namun, akhirnya mengalami pemangkasan sebesar Rp14,3 triliun.

Pemangkasan anggaran menyasar untuk berbagai program, mulai dari tunjangan dosen non-PNS, beberapa bantuan sosial beasiswa, hingga layanan publik di perguruan tinggi. Tunjangan dosen non PNS mengalami pemangkasan sebesar 25 persen, yang semula Rp2,7 triliun menjadi Rp676 miliar. 

Sementara itu, anggaran bantuan sosial beasiswa yang semula Rp15,4 triliun juga mengalami pemangkasan sebesar Rp1,4 triliun. Salah satu beasiswa yang terdampak ialah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) yang dipangkas sebesar Rp1,3 triliun. Begitupun anggaran beberapa beasiswa lainnya yang dipotong mulai dari 10 persen hingga 25 persen.

Pemangkasan juga terjadi untuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) yang menyubsidi uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa hingga mencapai 50 persen. Begitupun dengan program revitalisasi PTN yang mengalami pemangkasan sebesar 50 persen. Bantuan kelembagaan bagi perguruan tinggi swasta juga dipangkas 50 persen dari total Rp365 miliar.


Akademisi Sayangkan Efisiensi Anggaran Pendidikan

 

Ilustrasi

Ilustrasi siswa sekolah dasar. (Sumber foto: Unsplash/Bayu Syaits)

Pengamat pendidikan Edi Subkhan menilai efisiensi anggaran yang ditetapkan kebijakan pemerintah semestinya tidak turut menyasar sektor pendidikan. Menurutnya, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 

Jika pemerintah tetap memangkas anggaran pendidikan, kata Edi, artinya akan banyak alokasi atau bujet dana yang mestinya bisa untuk anggaran beasiswa, peningkatan kesejahteraan guru, hingga dana riset di Kemdiktisaintek, akhirnya tidak bisa tercapai. Padahal, menurutnya, SDM yang unggul justru bisa menjadi modal untuk bisa meningkatkan sektor ekonomi hingga 6-7 persen sebagaimana janji politik yang dikemukakan Presiden Prabowo Subianto.

"Itu enggak akan mungkin bisa dilakukan kalau pemerintah tidak punya perhatian serius terhadap dunia pendidikan. Jadi, kalau mimpi 2045 Indonesia Emas, kayanya mimpi itu harus mundur 10-20 tahun lagi kalau caranya begini," katanya kepada Hypeabis.id.

Edi mengatakan secara empiris, ada sejumlah dampak yang akan timbul jika efisiensi anggaran tetap dijalankan, salah satunya ialah tertutupnya akses masyarakat untuk mendapat ilmu pengetahuan. Hal itu misalnya bisa terjadi dengan adanya pemangkasan beasiswa KIP Kuliah baik untuk pendaftar baru maupun penerima ongoing, termasuk berbagai dana subsidi dari pemerintah untuk sektor pendidikan.

Terkait keputusan pemerintah untuk tetap menjalankan sejumlah beasiswa meski dalam dana yang telah diefisiensi, Edi menilai hal tersebut harus benar-benar dipastikan bisa dijalanan sampai ke level operasional sekolah ataupun kampus.

Edi mengatakan jika memang efisiensi anggaran tetap harus dilakukan di sektor pendidikan, maka realisasinya harus dilaksanakan secara lebih detail dan jeli, dengan menyasar bidang-bidang yang memang tidak fundamental. Seperti kebutuhan alat tulis kantor (ATK) yang saat ini sudah tidak terkalu banyak diperlukan dengan adanya digitalisasi, dan anggaran untuk perjalanan dinas.

"Makanya yang paling ideal menurut saya, dunia pendidikan itu jangan sampai ada efisiensi. Karena pemerintah kan sebenarnya justru enggak melakukan efisiensi di situ, tapi justru investasi. Kalau investasi di pendidikan, maka 5 atau 10 tahun lagi, kita akan bisa memanen generasi muda yang berkualitas unggul," katanya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Agus Sartono menegaskan investasi dalam pendidikan adalah kunci bagi pembangunan peradaban dan kemajuan bangsa. Dia mencontohkan negara-negara maju seperti di Eropa yang memiliki tradisi akademik kuat karena menempatkan profesi guru dan dosen pada posisi yang terhormat. 

“Tanpa pendidikan, tidak akan ada peradaban. Negara maju sudah berkomitmen untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia,” ujarnya.

Dia pun menolak jika pemotongan anggaran menyasar beasiswa, termasuk beasiswa KIP Kuliah, beasiswa Daerah 3T, beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (Adik) dan ADEM. Sebab beasiswa tersebut merupakan instrumen untuk memutus rantai kemiskinan dan memperkecil kesenjangan sosial. Apabila anggaran ini dipangkas, maka akan semakin sulit bagi masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan tinggi. 

Agus menambahkan ada kekhawatiran besar dari adanya pemangkasan anggaran di bidang pendidikan, khususnya dampak terhadap perguruan tinggi negeri (PTN). Dia berharap pemangkasan anggaran ini tidak sampai memaksa PTN untuk menaikkan uang kuliah tunggal (UKT). 

"Jangan sampai pemangkasan anggaran memaksa PTN menaikkan Uang Kuliah Tunggal [UKT]. Jika intervensi pemerintah berkurang tetapi di sisi lain PTN diminta untuk tetap memenuhi kebutuhan dosen dan tenaga kependidikan, maka ini bisa menjadi dilema yang memicu gejolak di kampus," ujarnya.

Lebih lanjut, Agus mengatakan pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk fungsi pendidikan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Meski pemerintah pusat telah memenuhi ketentuan ini dengan peningkatan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, pemerintah daerah masih mengandalkan transfer dana dari pusat tanpa mengalokasikan anggaran pendidikan secara mandiri.

“Pemprov dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih bergantung pada dana transfer pusat yang lebih dari 20 persen dari total anggaran pendidikan. Jika dihitung, sebagian besar dana itu digunakan untuk gaji guru, seolah-olah kabupaten/kota tidak perlu mengalokasikan dana tambahan,” jelasnya.

Selain itu, dia juga menyoroti potensi kebocoran dalam implementasi anggaran pendidikan, seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak selalu tepat sasaran.

“Ada kasus di mana siswa penerima KIP di daerah terpencil kesulitan mengambil bantuan karena keterbatasan akses, dan akhirnya dana tersebut dikelola oleh pihak sekolah. Ini perlu diperbaiki agar hak siswa benar-benar sampai ke tangan yang berhak,” tambahnya.

Agus mengatakan bahwa efisiensi anggaran memang bukanlah hal yang mudah. Kendati begitu, dia menekankan sebaiknya penghematan anggaran tidak sampai mengorbankan masa depan anak bangsa. “Mengapa tidak efisiensi dengan perampingan struktur pemerintahan? Negara lain memiliki kabinet yang lebih ramping, tetapi kondisi pemerintah saat ini dengan posisi yang gemuk, justru pesan efisiensi ini jadi tidak muncul,” ucapnya.

Dosen Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Agustina Kustulasari menilai pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana efisiensi tersebut diterapkan. Menurutnya, kata ‘efisiensi’ sendiri sebenarnya berarti mengurangi yang boros.

"Namun, pertanyaannya, bagian mana yang dianggap boros? Jika kita langsung memangkas dalam jumlah besar, apakah benar praktik selama ini seboros itu?," katanya.

Agustina juga menekankan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan efektivitas. Dalam pandangannya, efisiensi hanya akan bermakna jika selaras dengan efektivitas. Artinya, tujuan utama yang ingin dicapai tetap harus terpenuhi, tetapi dengan cara yang lebih efisien. “Jika efisiensi justru mengurangi daya dukung terhadap riset dan inovasi, maka kebijakan ini perlu dikaji ulang,” jelasnya.

Dalam konteks riset di perguruan tinggi, Agustina menyoroti bahwa pemotongan anggaran dapat berdampak luas, baik bagi dosen maupun mahasiswa. Sebab, kampus sering kali merancang program berdasarkan anggaran tahun sebelumnya. 

Jika ada perubahan mendadak seperti sekarang, tentu akan mengganggu dinamika kerja, perencanaan program, dan bahkan bisa menghambat penelitian yang sudah berjalan. Padahal, riset dan inovasi menjadi bagian penting dalam peningkatan kemampuan daya saing bangsa.

Dia menambahkan dengan adanya pemangkasan anggaran ini, kampus harus semakin kreatif dalam mencari sumber pendanaan alternatif, termasuk kerja sama dengan industri dan lembaga internasional, meskipun langkah tersebut bukan hal yang baru dan sudah lama dilakukan.

“Pertanyaannya sekarang adalah, apa lagi yang bisa kita lakukan? Jika anggaran riset sudah terbatas sejak awal, lalu masih dipangkas lagi, tentu ini menjadi tantangan besar bagi peneliti dan institusi akademik. Kita harus terus kreatif, tetapi pada saat yang sama negara juga perlu terus berperan,” ujarnya.

Dia juga menekankan pentingnya mempertimbangkan kembali dampak jangka panjang dari kebijakan efisiensi ini. Menurutnya, pemangkasan anggaran harus dilakukan dengan cermat dan tidak boleh menghambat pencapaian tujuan utama pendidikan dan riset. “Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi ini benar-benar untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan bukan pemangkasan untuk kepentingan politik,” tambahnya.


Anggaran Perlu Dikawal Lebih Ketat

 

Ilustrasi siswa sekolah menengah. (Sumber foto: Unsplash/Ed Us)

Ilustrasi siswa sekolah menengah. (Sumber foto: Unsplash/Ed Us)


Pada kesempatan terpisah, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan pihaknya mendukung kebijakan efisiensi anggaran selama hal tersebut tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat seperti di sektor pendidikan. Menurutnya, momen ini justru bisa digunakan untuk mengevaluasi sejumlah program yang selama ini rutin dijalankan di sektor pendidikan.

"Yang paling penting kalau udah dipotong anggarannya itu, hasil pemotongannya harus dikawal betul-betul untuk kepentingan rakyat, buat anak-anak dan guru. Jangan sampai udah dipotong, terus kemudian dananya tuh kemana gitu loh," ujarnya.

Unifah khususnya menyoroti salah satu keputusan pemerintah yakni yang hanya akan membiayai sekitar 400.000 guru untuk mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Angka itu hanya separuh dari target awal jumlah guru yang ikut PPG pada 2025 yakni 806.000 orang.

Menurutnya, alih-alih hanya berfokus untuk memangkas jumlah keikutsertaan guru, pemerintah justru bisa melakukan evaluasi pelaksanaan PPG agar bisa lebih efisien dan efektif. Dengan begitu, bukan tidak mungkin pelaksanaan PPG bisa lebih efisien, sehingga lebih banyak guru yang bisa ikut program tersebut.

"Pertanyaan sederhananya adalah, sudahkah dikaji ulang pembiayaan sertifikasi itu? Karena kalau menurut undang-undang guru dan dosen, sertifikasi itu boleh dilakukan training yang untuk meningkatkan kompetensi mereka selama 11 hari. Sekarang bentuknya kan untuk program yang 3 bulan. Nah itu kan bisa dikaji lagi sehingga bisa dimanfaatkan untuk yang 400.000 lainnya. Semua itu memang memerlukan kerja keras kita, memerlukan pemikiran ulang kita," katanya.

Dia juga mengungkapkan bahwa kesejahteraan guru sampai saat ini masih belum sepenuhnya terjamin. Salah satu hal yang paling banyak dikeluhkan guru ialah tunjangan profesi guru yang belum sepenuhnya dibayarkan. Dia berharap efisiensi anggaran di sektor pendidikan benar-benar bisa dijalankan sebagaimana mestinya, bukan disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Baca juga: KIP Kuliah 2025 Tidak Kena Efisiensi Anggaran, Cek Syarat & Cara Daftarnya

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Cek Bocoran Spesifikasi Laptop Anyar Xiaomi yang Diduga Redmi Book Pro 2025

BERIKUTNYA

Hypereport: Strategi Kemenekraf Atasi Dampak Efisiensi Anggaran di Sektor Fesyen

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: