Indeks Keselamatan Jurnalis Meningkat, Tapi Ancaman Kebebasan Pers Masih Rentan
24 February 2025 |
19:19 WIB
Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 mencatat peningkatan skor menjadi 60,5, menempatkannya dalam kategori Agak Terlindungi. Meskipun angka ini naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mayoritas jurnalis tetap merasa waspada terhadap masa depan kebebasan pers, terutama dalam menghadapi transisi pemerintahan baru.
Ancaman kriminalisasi, sensor, dan tekanan dari berbagai pihak masih menjadi momok yang membuat banyak jurnalis lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka.
Hasil survei yang dilakukan Yayasan TIFA bersama Populix mengungkapkan bahwa 66 persen jurnalis kini lebih waspada dalam memproduksi berita. Bentuk kekerasan yang paling dikhawatirkan meningkat dalam 5 tahun ke depan adalah pelarangan liputan (56 persen) dan larangan pemberitaan (51 persen).
Baca juga: Begini Sikap dan Posisi Insan Pers di Tengah Gempuran AI
Aktor utama yang dianggap sebagai ancaman terbesar meliputi organisasi masyarakat (23 persen) dan buzzer (17 persen), yang semakin mempersempit ruang gerak jurnalis dalam menyampaikan fakta secara independen.
Meskipun pemerintah menegaskan komitmennya dalam menjamin kebebasan pers, banyak pihak menilai bahwa regulasi yang ada, seperti UU ITE dan KUHP, masih menjadi ancaman serius. Selain itu, tekanan ekonomi dan ketakutan akan konsekuensi hukum menyebabkan lebih dari setengah responden melakukan swasensor.
Dewan Pengawas Yayasan Tifa, Natalia Soebagjo menyampaikan bahwa meskipun indeks keselamatan jurnalis mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat tantangan besar dalam memastikan kebebasan pers yang lebih aman. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai pihak.
“Khusus untuk pemerintah, harus merevisi regulasi yang membatasi kebebasan pers serta memperkuat mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis,” kata Natalia dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, pekan lalu.
Dia juga mendorong perusahaan media untuk lebih berkomitmen terhadap keselamatan jurnalis melalui SOP yang jelas, pelatihan, dan dukungan hukum. Selain itu, organisasi jurnalis dan CSO perlu memperkuat advokasi, pendampingan hukum, serta edukasi bagi jurnalis.
Menurutnya, keselamatan jurnalis bukan sekadar isu personal, tetapi berpengaruh langsung terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dari semua pihak untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi jurnalis.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, menjelaskan temuan Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 ini mencatat 167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian, di mana bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51 persen). Aktor utama dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah Organisasi Masyarakat (23 persen), Buzzer (17 persen), dan Polisi (13 persen).
Selain itu, sebanyak 39 persen jurnalis mengaku pernah mengalami penyensoran, baik dari redaksi maupun pemilik media. Lebih dari setengah responden juga mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) untuk menghindari konflik dan kontroversi yang berlebihan.
“Dari sisi negara dan regulasi, UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers. Melalui temuan ini, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis di Indonesia,” ujar Nazmi.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen AJI, Bayu Wardhana, menyoroti bahwa meskipun angka kekerasan terhadap jurnalis menurun, kualitasnya justru meningkat. Tak hanya itu, pada 2024, terdapat jurnalis yang meninggal dunia, sesuatu yang tidak terjadi pada tahun sebelumnya.
Selain kekerasan fisik, jurnalis juga menghadapi intimidasi dan tekanan ekonomi, yang mendorong banyak dari mereka melakukan swasensor. “Ada ancaman pembatasan kerja sama media jika berita dianggap sensitif. Perlindungan jurnalis harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Sementara itu, Deputi II Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menekankan pentingnya peran negara dalam menjamin keselamatan jurnalis. Dia berharap indeks keselamatan jurnalis terus meningkat hingga benar-benar masuk kategori "terlindungi."
Baca juga: UNESCO Sebut Intimidasi & Kekerasan Terhadap Jurnalis Lingkungan Kian Masif
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Fajar Sidik
Ancaman kriminalisasi, sensor, dan tekanan dari berbagai pihak masih menjadi momok yang membuat banyak jurnalis lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka.
Hasil survei yang dilakukan Yayasan TIFA bersama Populix mengungkapkan bahwa 66 persen jurnalis kini lebih waspada dalam memproduksi berita. Bentuk kekerasan yang paling dikhawatirkan meningkat dalam 5 tahun ke depan adalah pelarangan liputan (56 persen) dan larangan pemberitaan (51 persen).
Baca juga: Begini Sikap dan Posisi Insan Pers di Tengah Gempuran AI
Aktor utama yang dianggap sebagai ancaman terbesar meliputi organisasi masyarakat (23 persen) dan buzzer (17 persen), yang semakin mempersempit ruang gerak jurnalis dalam menyampaikan fakta secara independen.
Meskipun pemerintah menegaskan komitmennya dalam menjamin kebebasan pers, banyak pihak menilai bahwa regulasi yang ada, seperti UU ITE dan KUHP, masih menjadi ancaman serius. Selain itu, tekanan ekonomi dan ketakutan akan konsekuensi hukum menyebabkan lebih dari setengah responden melakukan swasensor.
Dewan Pengawas Yayasan Tifa, Natalia Soebagjo menyampaikan bahwa meskipun indeks keselamatan jurnalis mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat tantangan besar dalam memastikan kebebasan pers yang lebih aman. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai pihak.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2024. (Sumber infografis: Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024, TIFA, Populix)
“Khusus untuk pemerintah, harus merevisi regulasi yang membatasi kebebasan pers serta memperkuat mekanisme perlindungan hukum bagi jurnalis,” kata Natalia dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 di Jakarta, pekan lalu.
Dia juga mendorong perusahaan media untuk lebih berkomitmen terhadap keselamatan jurnalis melalui SOP yang jelas, pelatihan, dan dukungan hukum. Selain itu, organisasi jurnalis dan CSO perlu memperkuat advokasi, pendampingan hukum, serta edukasi bagi jurnalis.
Menurutnya, keselamatan jurnalis bukan sekadar isu personal, tetapi berpengaruh langsung terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif dari semua pihak untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi jurnalis.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat, menjelaskan temuan Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 ini mencatat 167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian, di mana bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah pelarangan liputan (56%) dan larangan pemberitaan (51 persen). Aktor utama dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah Organisasi Masyarakat (23 persen), Buzzer (17 persen), dan Polisi (13 persen).
Selain itu, sebanyak 39 persen jurnalis mengaku pernah mengalami penyensoran, baik dari redaksi maupun pemilik media. Lebih dari setengah responden juga mengakui melakukan sensor mandiri (self-censorship) untuk menghindari konflik dan kontroversi yang berlebihan.
“Dari sisi negara dan regulasi, UU ITE dan KUHP masih dianggap sebagai ancaman utama bagi kebebasan pers. Melalui temuan ini, diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, organisasi media, dan masyarakat sipil dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman bagi para jurnalis di Indonesia,” ujar Nazmi.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen AJI, Bayu Wardhana, menyoroti bahwa meskipun angka kekerasan terhadap jurnalis menurun, kualitasnya justru meningkat. Tak hanya itu, pada 2024, terdapat jurnalis yang meninggal dunia, sesuatu yang tidak terjadi pada tahun sebelumnya.
Selain kekerasan fisik, jurnalis juga menghadapi intimidasi dan tekanan ekonomi, yang mendorong banyak dari mereka melakukan swasensor. “Ada ancaman pembatasan kerja sama media jika berita dianggap sensitif. Perlindungan jurnalis harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Sementara itu, Deputi II Kantor Komunikasi Kepresidenan, Noudhy Valdryno, menekankan pentingnya peran negara dalam menjamin keselamatan jurnalis. Dia berharap indeks keselamatan jurnalis terus meningkat hingga benar-benar masuk kategori "terlindungi."
Baca juga: UNESCO Sebut Intimidasi & Kekerasan Terhadap Jurnalis Lingkungan Kian Masif
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.