Pemilihan Material Jadi Kunci Keberlanjutan Pelestarian Cagar Budaya di Nusantara
12 February 2025 |
06:16 WIB
Indonesia memiliki pelbagai bangunan cagar budaya yang tersebar di berbagai daerah. Akan tetapi, karena senarai cagar budaya yang dibuat dari benda anorganik itu mayoritas telah berusia ratusan hingga ribuan tahun, maka dibutuhkan konservasi agar tetap lestari.
Tidak dimungkiri, cagar budaya memang tak ada yang abadi. Faktor lingkungan dan iklim, termasuk vandalisme menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kerusakan atau pelapukan dari benda-benda cagar budaya tersebut, yang mayoritas berada di tempat terbuka.
Ahli kimia lulusan FH Reutlingen, Jerman, Sugiarto Goenawan mengatakan pentingnya pemilihan material yang tepat untuk mengkonservasi cagar budaya tersebut. Ini dilakukan agar dapat mempertahankan nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya agar terus dapat dinikmati publik.
Baca juga: Pengusaha Hashim Djojohadikusumo Jabat Ketua Dewan Penyantun Museum dan Cagar Budaya
Dengan banyaknya warisan cagar budaya yang perlu dikonservasi, tujuan utama dari pelestarian ini bukan hanya mengedepankan restorasi visual semata. Lebih dari itu, tujuan utama restorasi adalah untuk memahami seperti apa karakteristik bangunan, serta material yang tepat untuk melestarikannya.
Tak hanya mengandalkan bahan alam, pada era kiwari teknologi kimia juga memiliki peran penting untuk melestarikan bangunan cagar budaya. Misalnya dengan memanfaatkan material seperti cat, plaster, densifier, dan fireproof yang dapat mencegah pelapukan, atau mengurangi dampak saat terjadi kebakaran.
"Penggunaan plester untuk konservasi, misal di Museum Bahari maka akan mengurung kadar air di dalam bangunan. Namun dengan plester berpori maka akan membuat bangunan jadi bisa bernapas," katanya dalam seminar bertajuk Pelestarian Cagar Budaya yang Berkelanjutan, di Galeri Cemara 6, Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Lain dari itu, Sugiarto juga menyoroti bagaimana reaksi kimia tertentu saat dipertemukan dengan material baru dan lama yang dapat menyebabkan degradasi struktural. Alih-alih memperkuat bangunan, jika material yang diterapkan saat konservasi tidak tepat, justru akan mempercepat kerusakan saat restorasi.
Dari sinilah dia merekomendasikan untuk menggunakan material yang sudah teruji. Untuk bangunan yang dibuat pada dekade 1910-an misalnya, karena mayoritas menggunakan bahan kapur -sebab semen belum tersedia- maka bisa memanfaatkan plester dengan kapur padam.
Dia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara ahli kimia, arsitek, arkeolog, dan pemerintah dalam melestarikan warisan cagar budaya. Menurutnya, dengan pendekatan multidisipliner maka akan menghasilkan solusi yang tidak hanya bagus secara visual, tapi juga tahan lama.
"Untuk bangunan cagar budaya, direkomendasikan untuk menggunakan cat Silikat, yang ditemukan pada 1880 di Jerman Selatan. Silikat adalah mineral, matt, yang tidak membentuk film, melainkan bereaksi dan menyatu dengan mineral pada plester/acian, sehingga berpori dan bernapas," imbuhnya.
Seminar Pelestarian Cagar Budaya yang Berkelanjutan dihelat dengan menghadirkan 8 pemateri dari berbagai disiplin ilmu berbeda dan lintas profesi. Antara lain ilmu Arkeologi, Arsitektur, Teknik Sipil, Kimia, dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Ada unsur pemerintah selaku regulator, konservator, akademisi, serta peneliti.
Sejumlah panelis dalam diskusi ini adalah Judi Wahjuddin (Sekretaris Dirjen Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan), Norviadi Setio Husodo (Kepala Pusat Konservasi Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta), Dr Wiwin Djuwita Ramelan (Pakar Pelestarian/Penyusun Pedoman Etika Pelestarian).
Ada juga Prof Dr Indri Hapsari Susilowati (Guru Besar K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia), Albertus Kriswandhono (Arsitek Cagar Budaya),Gatot Gautama (Kepala Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta), dan Subkhan (Ketua Komisi II Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N)/Ketua Forum QHSE BUMN Karya).
Baca juga: Rekam Jejak Sejarah Repatriasi Cagar Budaya Indonesia-Belanda
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Tidak dimungkiri, cagar budaya memang tak ada yang abadi. Faktor lingkungan dan iklim, termasuk vandalisme menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kerusakan atau pelapukan dari benda-benda cagar budaya tersebut, yang mayoritas berada di tempat terbuka.
Ahli kimia lulusan FH Reutlingen, Jerman, Sugiarto Goenawan mengatakan pentingnya pemilihan material yang tepat untuk mengkonservasi cagar budaya tersebut. Ini dilakukan agar dapat mempertahankan nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalamnya agar terus dapat dinikmati publik.
Baca juga: Pengusaha Hashim Djojohadikusumo Jabat Ketua Dewan Penyantun Museum dan Cagar Budaya
Dengan banyaknya warisan cagar budaya yang perlu dikonservasi, tujuan utama dari pelestarian ini bukan hanya mengedepankan restorasi visual semata. Lebih dari itu, tujuan utama restorasi adalah untuk memahami seperti apa karakteristik bangunan, serta material yang tepat untuk melestarikannya.
Tak hanya mengandalkan bahan alam, pada era kiwari teknologi kimia juga memiliki peran penting untuk melestarikan bangunan cagar budaya. Misalnya dengan memanfaatkan material seperti cat, plaster, densifier, dan fireproof yang dapat mencegah pelapukan, atau mengurangi dampak saat terjadi kebakaran.
"Penggunaan plester untuk konservasi, misal di Museum Bahari maka akan mengurung kadar air di dalam bangunan. Namun dengan plester berpori maka akan membuat bangunan jadi bisa bernapas," katanya dalam seminar bertajuk Pelestarian Cagar Budaya yang Berkelanjutan, di Galeri Cemara 6, Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Lain dari itu, Sugiarto juga menyoroti bagaimana reaksi kimia tertentu saat dipertemukan dengan material baru dan lama yang dapat menyebabkan degradasi struktural. Alih-alih memperkuat bangunan, jika material yang diterapkan saat konservasi tidak tepat, justru akan mempercepat kerusakan saat restorasi.
Dari sinilah dia merekomendasikan untuk menggunakan material yang sudah teruji. Untuk bangunan yang dibuat pada dekade 1910-an misalnya, karena mayoritas menggunakan bahan kapur -sebab semen belum tersedia- maka bisa memanfaatkan plester dengan kapur padam.
Dia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara ahli kimia, arsitek, arkeolog, dan pemerintah dalam melestarikan warisan cagar budaya. Menurutnya, dengan pendekatan multidisipliner maka akan menghasilkan solusi yang tidak hanya bagus secara visual, tapi juga tahan lama.
"Untuk bangunan cagar budaya, direkomendasikan untuk menggunakan cat Silikat, yang ditemukan pada 1880 di Jerman Selatan. Silikat adalah mineral, matt, yang tidak membentuk film, melainkan bereaksi dan menyatu dengan mineral pada plester/acian, sehingga berpori dan bernapas," imbuhnya.
Seminar Pelestarian Cagar Budaya yang Berkelanjutan dihelat dengan menghadirkan 8 pemateri dari berbagai disiplin ilmu berbeda dan lintas profesi. Antara lain ilmu Arkeologi, Arsitektur, Teknik Sipil, Kimia, dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Ada unsur pemerintah selaku regulator, konservator, akademisi, serta peneliti.
Sejumlah panelis dalam diskusi ini adalah Judi Wahjuddin (Sekretaris Dirjen Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan), Norviadi Setio Husodo (Kepala Pusat Konservasi Cagar Budaya Pemprov DKI Jakarta), Dr Wiwin Djuwita Ramelan (Pakar Pelestarian/Penyusun Pedoman Etika Pelestarian).
Ada juga Prof Dr Indri Hapsari Susilowati (Guru Besar K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia), Albertus Kriswandhono (Arsitek Cagar Budaya),Gatot Gautama (Kepala Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta), dan Subkhan (Ketua Komisi II Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N)/Ketua Forum QHSE BUMN Karya).
Baca juga: Rekam Jejak Sejarah Repatriasi Cagar Budaya Indonesia-Belanda
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.