Visualisasi studi etnografis, percampuran imajinasi seni dengan data sejarah, serta eksplorasinya pada masa lalu dan masa kini, telah membuat film-film karya sineas muda Timoteus Anggawan Kusno, punya daya tarik berbeda di kancah global.
Nama Angga, begitu biasa dia disapa, mungkin masih belum terdengar nyaring di dalam negeri. Namun, di kancah global, Angga telah merentangkan karya-karyanya di berbagai sirkuit festival bergengsi dunia, baik dalam bentuk sinema maupun medium seni lainnya.
Baru-baru ini, International Film Festival Rotterdam (IFFR) 2025 memberikan spotlight khusus untuk karya-karyanya. Namanya masuk menjadi satu dari sekian program Focus yang rutin diadakan festival setiap penyelenggaraannya.
Program Focus di dalam festival biasanya menyoroti sekaligus merayakan pendekatan maupun warna sinema tertentu dari suatu masa, wilayah, atau juga sineas. Program ini akan menampilkan film-film pilihan yang bisa memberi gambaran lebih luas terhadap kerja-kerja kreatif yang terjadi di dalamnya.
Dalam catatan kuratorialnya, pihak IFFR ingin menyoroti karya Angga karena dianggap telah menciptakan sekumpulan karya menarik sepanjang satu dekade terakhir. Film-film Angga kerap memadukan batas-batas antara fiksi, memori, dan sejarah, dengan apik.
Dengan mempertanyakan pembuatan narasi sejarah dan mengeksplorasi bayang-bayang yang ditinggalkan oleh kolonialisme, karyanya mengungkap narasi-narasi yang selama ini tidak pernah terlihat atau terdengar.
Timoteus Anggawan Kusno: Through the Pores of Time (Sumber gambar: IFFR 2025)
Film-film Angga juga sering kali menyoroti bagaimana kenangan dan pengalaman dari masa lalu mengakar kuat di tubuh dan alam bawah sadar manusia modern. Dalam film-filmnya, hal-hal terwujud lewat berbagai pola penceritaan unik, dari wawancara, anekdot, pemanfaatan arsip, penelitian, hingga eksplorasi media yang berani.
“Filmnya membuat kita mempertanyakan cara kita memandang masa lalu dan konsekuensinya dalam masyarakat kontemporer,” tulis pihak festival.
Dalam program Focus Timoteus Anggawan Kusno, festival akan merayakan delapan karya sineas Tanah Air tersebut. Dimulai dari Dear Shadow, My Old Friend, Fever Dream, Afterlives, Anatomy of Nostalgia, dan Unreleased, Others or ‘rust en orde’.
Kemudian, film-film lainnya, seperti Terra Incognita: Luka dan bisa kubawa berlari (ii) serta Reversal: Luka dan bisa kubawa berlari (i), juga turut ditayangkan.
Film-film tersebut akan ditayangkan dalam program pemutaran bertajuk Timoteus Anggawan Kusno: Fantasma, Lacuna, Obscura, dan Tmoteus Anggawan Kusno: Through the Pores of Time.
Tak hanya sinema, Angga yang juga berkarya di medium seni lain, juga berkesempatan memamerkan pameran In a Landscape di festival ini. IFFR tahun ini akan berlangsung pada 30 Januari–9 Februari 2025
Dihubungi Sejak November
Visual Artist dan sineas Timoteus Anggawan Kusno (Sumber gambar: Anita Reza Zein/TAK Studioworks)
Meski gelaran festival berlangsung pada akhir Januari 2025, diskusi mengenai program Focus yang merayakan film-filmnya telah berlangsung cukup lama. Angga bercerita pihak festival pertama kali menghubunginya sekitar November 2025.
Kala itu, pihak festival tertarik dengan film-film yang diciptakannya dalam rentang 1 dekade terakhir. Mereka pun ingin memberikan sorotan khusus untuk karya-karya tersebut. Tak butuh waktu lama bagi Angga untuk mengiyakan.
Setelah itu, Angga mengirim materi-materi film miliknya ke pihak festival. Kurator festival kemudian melihat film-filmnya dan menyeleksinya sekali lagi. Akhirnya, terpilih 8 film yang akan ditayangkan dan 1 suguhan pameran seni.
“Jadi, yang dibawa bukan hanya film, tetapi juga pameran seni rupa. Ya, festival ini kan memang cukup berani bereksperimen, terutama menggabungkan ruang seni dan sinema,” ungkap Angga kepada Hypeabis.id.
Bagi Angga, IFFR sebagai festival film memang hadir dengan cukup menarik. Sebab, festival ini tidak hanya fokus pada program gambar gerak, tetapi juga seni rupa secara keseluruhan.
Dalam proses kurasi ini, Angga selaku seniman lebih banyak menyerahkan ke pihak festival. Kendati demikian, dalam prosesnya juga tetap terjadi diskusi antara kedua belah pihak.
Setelah kurasi film selesai, dirinya dan pihak kurator lantas banyak berdiskusi terkait pola penayangan. Nantinya, 8 filmnya akan diputar di dua program kompilasi berbeda, yakni Timoteus Anggawan Kusno: Fantasma, Lacuna, Obscura dan Timoteus Anggawan Kusno: Through the Pores of Time.
Angga mengatakan dalam program tersebut, Fever Dream dan Unreleased, jadi dua judul yang akan melakukan pemutaran dunia di IFFR. Adapun lainnya juga akan menandai pemutaran pertama internasional dan pemutaran pertama Belanda.
Bertemu Audiens Lebih Luas
Visual Artist dan sineas Timoteus Anggawan Kusno (Sumber gambar: Anita Reza Zein/TAK Studioworks)
Sebagai sineas sekaligus visual artist, Angga mengaku gembira karya-karyanya akan mendapat sorotan khusus di IFFR. Menurutnya, program Focus ini punya arti yang penting bagi karya-karyanya, terutama untuk bisa bertemu dengan audiens lebih luas.
“Sebenarnya aku senang ya, bisa menjumpai audiens yang lebih beragam. Engga hanya audiens dari seni rupa, tetapi juga sinema,” imbuhnya.
Selain itu, program Focus juga akan membuat karya-karya yang diciptakannya punya narasi yang berbeda. Angga mengatakan setiap film umumnya berdiri sendiri dan tidak dibuat dalam bentuk serial.
Akan tetapi, lewat program ini, setiap film seolah akan saling berkelindan satu sama lain membentuk satu bangunan utuh. Oleh karena itu, pembacaan penonton dan pengalaman penonton menikmati karya bisa jadi akan berbeda.
Hal tersebut menurutnya cukup seru. Dia pun tak sabar melihat bagaimana sebuah karya bisa diapresiasi dalam bentuk yang berbeda.
Sejauh ini, karya-karya Angga telah didistribusikan ke berbagai festival bergengsi. Film-filmnya telah diputar di IFFR, CPH:DOX, Dok.Leipzig, L'Alternativa, hingga VideoEx. Pada 2021, dia memenangkan Video Production Award dari Han Nefkens Foundation – Loop Barcelona.
Pada tahun 2024, Angga menerima VISIO Production Fund serta memenangkan Locarno Residency. Di luar sinema, karya seni rupa lain dari Angga juga telah dipamerkan di Rijksmuseum, Amsterdam, National Museum of Modern and Contemporary Art, Seoul, Dr. Bhau Daji Lad Museum, Mumbai, Museum of Contemporary Art, Taipei, Bonn Museum of Modern Art, Center for Fine Arts, Brussels, hingga Gwangju Biennale.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.