Hypereport: Barongsai Lebih Dari Sekadar Pertunjukan
30 January 2025 |
22:30 WIB
Lebih dari sekadar pertunjukan yang menghibur saat Tahun Baru Imlek, pertunjukan barongsai yang hadir memiliki makna dan filosofi yang mendalam. Selain dipercaya dapat mengusir energi negatif, keberadaannya juga merupakan bentuk eksistensi dan pelestarian budaya yang sudah ada sejak ribuan tahun.
Bagi Herman Wiyanto atau yang kerap disapa Ko Aleng, ketua dan juga salah satu pendiri Grup Barongsai Sejahtera di Pontianak, Kalimantan Barat, barongsai memiliki arti yang sangat besar, tidak sekadar sebagai seni pertunjukan. Barongsai merupakan budaya yang harus dipertahankan, sehingga dia memutuskan untuk mendirikan grup ini pada 2015 atau 1 dekade lalu dan melalui berbagai macam tantangan.
Pendirian grup yang kerap disingkat GBS itu berawal dari keinginan untuk melestarikan budaya yang sudah ada sangat lama ini. Aleng mengungkapkan bahwa sejak kecil sudah mengenal barongsai dan sempat mengikuti salah satu grup yang ada di Pontianak.
Baca juga: Hypereport: Merayakan Imlek di Kelenteng-kelenteng Tua Kawasan Glodok Jakarta Barat
Seiring bertambah usia dan aktif bekerja, dia yang pada awal aktif dengan kesenian tersebut perlahan tidak lagi banyak terlibat sampai 2014. Pada saat itu, dia bertemu kembali dengan para senior yang kerap berkecimpung di kesenian ini. “Akhirnya, dengan visi yang sama, kami coba bentuk lah Grup Barongsai Sejahtera ini dan diresmikan pada 2015,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Pada awal-awal pembentukan, pendanaan menjadi kendala utama yang harus dihadapi oleh Aleng dan para pendiri lainnya. Bukan tanpa alasan, biaya yang harus dikeluarkan untuk membentuk tim barongsai tidak kecil.
Satu ekor barongsai yang dibutuhkan sudah memiliki nilai belasan juta rupiah. Selain itu, ada juga alat musik dan juga kostum yang harus digunakan ketika tampil. Untuk mengatasi tantangan itu, para pendiri bersama-sama patungan untuk memenuhi kebutuhan. “Dan puji Tuhan, senior-senior yang dari awal ini sampai sekarang masih tetap ada. Mereka sekarang membina junior-junior mereka,” katanya.
Tidak hanya itu, jumlah anggota grup barongsai ini juga sudah hampir 50 orang. Selain itu, tim barongsai yang ada di GBS juga tidak hanya pria. Grup ini juga memiliki tim yang terdiri dari para pemain wanita. Grup Barongsai Sejahtera juga telah mengikuti berbagai macam kejuaraan barongsai baik nasional maupun internasional.
Meskipun telah berhasil memenangkan berbagai macam kejuaraan, dia tidak bisa memungkiri bahwa regenerasi menjadi salah satu tantangan yang dihadapi. “Yang sekarang kita tahu perkembangan jaman juga sudah sangat cepat. Yang menjadi kendala terbesar adalah regenerasi pemain,” ujarnya.
Banyak anak-anak atau generasi muda pada saat ini sangat tergantung kepada gawai pintar atau gadget, sehingga kerap enggan ikut terlibat dalam barongsai lantaran kegiatan ini cukup memakan energi dan membuat badan terasa capek.
Tidak jarang individu yang tertarik memutuskan untuk mundur setelah mengetahui bahwa latihan yang harus dijalani cukup berat. “Sehingga tahun demi tahun, pemain yang benar-benar niat dan benar-benar mau untuk meneruskan barongsai ini semakin tahun semakin berkurang,” katanya.
Meskipun begitu, dia lantas tidak berputus asa. Grup Barongsai Sejahtera selalu berupaya mempromosikan kesenian ini untuk menarik anak-anak muda pada zaman sekarang untuk bisa kembali aktif.
Saat tampil di suatu tempat, grup ini kerap mengajak anak-anak yang terlihat suka dengan barongsai untuk bergabung. Kemungkinan mereka untuk tertarik dan ikut menjadi bagian dalam grup barongsai lebih besar ketika melihat langsung pertunjukan.
Dia menambahkan, seni pertunjukan barongsai memang tidak bisa menjadi satu-satunya andalan bagi individu untuk menopang kehidupan mengingat banyak anggota yang bekerja selain sebagai pemain barongsai.
“Kami di grup Barongsai Sejahtera ini, memang kami semua, termasuk saya, termasuk adik-adik yang ikut itu, kami sama sekali tidak mencari untung dari barongsai ini. Justru anak-anak yang di sini, saya sendiri, semuanya bekerja. Jadi, kami yang menghidupi grup ini, sehingga tetap eksis,” katanya.
Pendapatan yang diperoleh ketika tampil kerap digunakan untuk keperluan sehari-hari tim, seperti pembelian barongsai baru atau biaya lain ketika hendak bertanding atau mengikuti kompetisi.
Meskipun begitu, barongsai dapat menjadi jalan bagi individu yang ingin menempuh jalur sebagai atlet profesional pemain barongsai. Pada saat ini, selain sebagai seni pertunjukan, barongsai juga telah menjadi salah satu ajang olahraga yang masuk dalam Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Budayawan Alex Cheung menilai bahwa tidak banyak angkatan muda China yang masih peduli terhadap kesenian yang penuh dengan nilai luhur itu. Jangankan bermain alat musik tradisional yang mengiringi barongsai, bahkan istilah atau aturan sakral cara memegang barongsai saja mereka kerap tidak mengetahuinya.
“Namun demikian di era globalisasi ini, siapa pun tak bisa membendung arus keterbukaan informasi. Barongsai saat ini bisa dibilang dapat tampil kapan pun, tak harus pada hari raya China,” katanya.
Di antara tantangan yang ada, tantangan yang cukup besar terhadap eksistensi dan perkembangan barongsai di Indonesia pada saat ini adalah dukungan pemerintah terhadap pelestarian seni pertunjukan ini dan cara barongsai ini dapat menjadi profesi yang mampu menghidupi para pemainnya.
Selama atraksi ini masih terbatas dan bersifat temporal, maka akan terjadi kesulitan regenerasi yang benar-benar mampu memahami falsafah moral dan nilai sakral dari atraksi ini. Perlu dilakukan juga bagaimana agar tradisi budaya barongsai ini dimasukkan ke dalam pelajaran sekolah, supaya tidak melulu dianggap budaya asing.
Baca juga: Hypereport: Melihat Potret & Makna Perayaan Imlek Kiwari
Makna barongsai
Berbeda dengan masyarakat China pada masa lampau, makna barongsai bagi generasi muda China pada saat ini telah mengalami pergeseran, seiring dengan globalisasi yang terjadi.
Alex menilai, pada masa lampau, masyarakat China mempercayai bahwa singa yang menari memiliki kekuatan mengusir kejahatan, sehingga kerap mempersembahkan pertunjukan barongsai Singa pada perayaan Tahun Baru Imlek atau perayaan lainnya.
Kepercayaan itu terkait dengan status singa yang ditinggikan ketika hewan ini didatangkan dari daerah barat semasa kaisar Zhangdi dari Dinasti Han Timur (25-220 Masehi) dan menyebarnya agama Buddha di China.
Sementara pada masa kini, atraksi barongsai lebih identik dengan pertunjukan hiburan, representasi tradisi budaya orang China. Di kalangan generasi muda China secara umum, barongsai dipandang sebagai bagian dari selebrasi hari raya.
“Jadi terbatas sebagai simbol tradisi budaya saja. Hal ini menjadi salah satu sebab kurangnya minat generasi muda di bidang pelestarian barongsai. Atas dasar itu, apresiasi harus diberikan kepada klub-klub atau perkumpulan yang mengangkat dan rutin melakukan pelatihan atraksi barongsai ini,” ujarnya.
Eksistensi dan perkembangan barongsai
Budayawan Alex Cheung menilai, seni pertunjukan barongsai (Wu Shi) di Indonesia pada saat ini bisa dibilang sudah menjadi bagian dari tradisi dan budaya China yang sudah “diadopsi” di tengah masyarakat Indonesia, baik kalangan peranakan maupun non-China.
Kondisi tersebut bisa terlihat, misalnya, dari para pemainnya saat ini yang justru lebih didominasi oleh masyarakat non-China. Meski demikian, seni pertunjukan barongsai tetap melekat sebagai identitas tradisi dan kultur masyarakat China di Indonesia dengan nilai-nilai
spiritual tertentu.
“Sejak masa reformasi kita telah bisa menyaksikan pertunjukan atraksi barongsai dan liong ditampilkan secara bebas, bukan hanya semasa Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, atau hari raya Tionghoa lainnya, melainkan juga dapat ditemui di berbagai perhelatan event event budaya baik yang diselenggarakan oleh institusi, kelompok, hingga acara pribadi,” ujarnya.
Dia menuturkan, proses komodifikasi yang terjadi terhadap seni pertunjukan barongsai di Indonesia pada masa kini seperti munculnya barongsai Jawa, iringan musik pop, iringan joget dansa, dan lainnya, tidak membuat identitas dan kebudayaan China memudar. Proses tersebut justru mewarnai identitas seni pertunjukan barongsai itu sendiri dengan kekhasan di setiap daerah di Indonesia.
Secara umum, perkembangan pertunjukan barongsai di Indonesia saat ini sangat baik. Sudah ada lembaga yang mewadahinya seperti Persatuan Liong Barongsai Seluruh Indonesia (PLBSI) yang terhimpun di Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI). Lalu, banyak juga klub-klub barongsai yang konsisten mempromosikan barongsai sekaligus melestarikan seni pertunjukan China ini.
Klub Kong Ha Hong salah satu yang turut mengharumkan nama Indonesia di kancah seni pertunjukan barongsai ketika mereka berhasil menjadi juara 1 dunia beberapa kali.
“Ke depannya, seni pertunjukan barongsai ini akan semakin merakyat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi budaya bangsa Indonesia yang tetap menjadi identitas etnis China di Indonesia,” katanya.
Seni pertunjukan barongsai dapat tetap bertahan hingga saat ini lantaran semangat untuk mempertahankan warisan leluhur yang sangat besar, termasuk pada masa Orde Baru selama 32 tahun dari 1967 sampai 1998.
“Walaupun prahara yang berlangsung selama 32 tahun pada masa Orde Baru (1967-1998) telah menyenyapkan tradisi budaya etnis Tionghoa di Indonesia, namun tetap tak mampu menghilangkan semangat untuk mempertahankan warisan leluhur ini secara diam-diam,
salah satunya atraksi barongsai ini, yang tak hanya mampu bertahan, bahkan kini berkembang pesat,” katanya.
Dia menambahkan, setelah reformasi bergulir, atraksi barongsai masih terus dapat dilestarikan oleh masyarakat China di Indonesia karena merupakan atraksi yang umum di kalangan masyarakat China di berbagai penjuru dunia, bukan hanya di negara asalnya saja.
Kondisi tersebut berbeda dengan atraksi lainnya seperti cng-ge (cung gee) atau cng-koh (cung koh), yaitu atraksi arak-arakan semacam pawai yang pada masa kolonial dahulu pernah populer di Buitenzorg (Bogor) dan juga Batavia (Jakarta). Atraksi tersebut kini telah punah ditelan waktu, sebab hanya dimainkan secara terbatas di kalangan etnis China tertentu di daerah Zhangzhou (Ciangciu) dan di Xiamen (Emui).
Perkumpulan-perkumpulan China seperti Hoo Hap Hwee, Hokkian Hwee Koan, Sin Ming Hui, Kuo Chi Yen Chiu She, Khong Kauw Hwee, Shantung Kung Hui, Kwong Siew Wai Kuan, dan lain sebagainya juga memegang peranan penting terhadap keberlangsungan seni pertunjukan barongsai di Indonesia.
“Mengutip teori fungsionalisme struktural yang dikemukakan Radcliffe-Brown, masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan yang bekerja sama untuk mempertahankan keseluruhan, menunjukkan atraksi barongsai sebagai perilaku sosial masyarakat China bukan untuk memuaskan kebutuhan individual, melainkan untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat China itu sendiri secara keseluruhan,” paparnya.
Baca juga: Hypereport: Ornamen Imlek Unik dan Maknanya Sebagai Pembawa Keberuntungan di Tahun Baru
Editor: Puput Ady Sukarno
Bagi Herman Wiyanto atau yang kerap disapa Ko Aleng, ketua dan juga salah satu pendiri Grup Barongsai Sejahtera di Pontianak, Kalimantan Barat, barongsai memiliki arti yang sangat besar, tidak sekadar sebagai seni pertunjukan. Barongsai merupakan budaya yang harus dipertahankan, sehingga dia memutuskan untuk mendirikan grup ini pada 2015 atau 1 dekade lalu dan melalui berbagai macam tantangan.
Pendirian grup yang kerap disingkat GBS itu berawal dari keinginan untuk melestarikan budaya yang sudah ada sangat lama ini. Aleng mengungkapkan bahwa sejak kecil sudah mengenal barongsai dan sempat mengikuti salah satu grup yang ada di Pontianak.
Baca juga: Hypereport: Merayakan Imlek di Kelenteng-kelenteng Tua Kawasan Glodok Jakarta Barat
Seiring bertambah usia dan aktif bekerja, dia yang pada awal aktif dengan kesenian tersebut perlahan tidak lagi banyak terlibat sampai 2014. Pada saat itu, dia bertemu kembali dengan para senior yang kerap berkecimpung di kesenian ini. “Akhirnya, dengan visi yang sama, kami coba bentuk lah Grup Barongsai Sejahtera ini dan diresmikan pada 2015,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Pada awal-awal pembentukan, pendanaan menjadi kendala utama yang harus dihadapi oleh Aleng dan para pendiri lainnya. Bukan tanpa alasan, biaya yang harus dikeluarkan untuk membentuk tim barongsai tidak kecil.
Satu ekor barongsai yang dibutuhkan sudah memiliki nilai belasan juta rupiah. Selain itu, ada juga alat musik dan juga kostum yang harus digunakan ketika tampil. Untuk mengatasi tantangan itu, para pendiri bersama-sama patungan untuk memenuhi kebutuhan. “Dan puji Tuhan, senior-senior yang dari awal ini sampai sekarang masih tetap ada. Mereka sekarang membina junior-junior mereka,” katanya.
Tidak hanya itu, jumlah anggota grup barongsai ini juga sudah hampir 50 orang. Selain itu, tim barongsai yang ada di GBS juga tidak hanya pria. Grup ini juga memiliki tim yang terdiri dari para pemain wanita. Grup Barongsai Sejahtera juga telah mengikuti berbagai macam kejuaraan barongsai baik nasional maupun internasional.
Meskipun telah berhasil memenangkan berbagai macam kejuaraan, dia tidak bisa memungkiri bahwa regenerasi menjadi salah satu tantangan yang dihadapi. “Yang sekarang kita tahu perkembangan jaman juga sudah sangat cepat. Yang menjadi kendala terbesar adalah regenerasi pemain,” ujarnya.
Banyak anak-anak atau generasi muda pada saat ini sangat tergantung kepada gawai pintar atau gadget, sehingga kerap enggan ikut terlibat dalam barongsai lantaran kegiatan ini cukup memakan energi dan membuat badan terasa capek.
Tidak jarang individu yang tertarik memutuskan untuk mundur setelah mengetahui bahwa latihan yang harus dijalani cukup berat. “Sehingga tahun demi tahun, pemain yang benar-benar niat dan benar-benar mau untuk meneruskan barongsai ini semakin tahun semakin berkurang,” katanya.
Meskipun begitu, dia lantas tidak berputus asa. Grup Barongsai Sejahtera selalu berupaya mempromosikan kesenian ini untuk menarik anak-anak muda pada zaman sekarang untuk bisa kembali aktif.
Saat tampil di suatu tempat, grup ini kerap mengajak anak-anak yang terlihat suka dengan barongsai untuk bergabung. Kemungkinan mereka untuk tertarik dan ikut menjadi bagian dalam grup barongsai lebih besar ketika melihat langsung pertunjukan.
Dia menambahkan, seni pertunjukan barongsai memang tidak bisa menjadi satu-satunya andalan bagi individu untuk menopang kehidupan mengingat banyak anggota yang bekerja selain sebagai pemain barongsai.
“Kami di grup Barongsai Sejahtera ini, memang kami semua, termasuk saya, termasuk adik-adik yang ikut itu, kami sama sekali tidak mencari untung dari barongsai ini. Justru anak-anak yang di sini, saya sendiri, semuanya bekerja. Jadi, kami yang menghidupi grup ini, sehingga tetap eksis,” katanya.
Pendapatan yang diperoleh ketika tampil kerap digunakan untuk keperluan sehari-hari tim, seperti pembelian barongsai baru atau biaya lain ketika hendak bertanding atau mengikuti kompetisi.
Meskipun begitu, barongsai dapat menjadi jalan bagi individu yang ingin menempuh jalur sebagai atlet profesional pemain barongsai. Pada saat ini, selain sebagai seni pertunjukan, barongsai juga telah menjadi salah satu ajang olahraga yang masuk dalam Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Budayawan Alex Cheung menilai bahwa tidak banyak angkatan muda China yang masih peduli terhadap kesenian yang penuh dengan nilai luhur itu. Jangankan bermain alat musik tradisional yang mengiringi barongsai, bahkan istilah atau aturan sakral cara memegang barongsai saja mereka kerap tidak mengetahuinya.
“Namun demikian di era globalisasi ini, siapa pun tak bisa membendung arus keterbukaan informasi. Barongsai saat ini bisa dibilang dapat tampil kapan pun, tak harus pada hari raya China,” katanya.
Di antara tantangan yang ada, tantangan yang cukup besar terhadap eksistensi dan perkembangan barongsai di Indonesia pada saat ini adalah dukungan pemerintah terhadap pelestarian seni pertunjukan ini dan cara barongsai ini dapat menjadi profesi yang mampu menghidupi para pemainnya.
Selama atraksi ini masih terbatas dan bersifat temporal, maka akan terjadi kesulitan regenerasi yang benar-benar mampu memahami falsafah moral dan nilai sakral dari atraksi ini. Perlu dilakukan juga bagaimana agar tradisi budaya barongsai ini dimasukkan ke dalam pelajaran sekolah, supaya tidak melulu dianggap budaya asing.
Baca juga: Hypereport: Melihat Potret & Makna Perayaan Imlek Kiwari
Makna barongsai
Berbeda dengan masyarakat China pada masa lampau, makna barongsai bagi generasi muda China pada saat ini telah mengalami pergeseran, seiring dengan globalisasi yang terjadi.
Alex menilai, pada masa lampau, masyarakat China mempercayai bahwa singa yang menari memiliki kekuatan mengusir kejahatan, sehingga kerap mempersembahkan pertunjukan barongsai Singa pada perayaan Tahun Baru Imlek atau perayaan lainnya.
Kepercayaan itu terkait dengan status singa yang ditinggikan ketika hewan ini didatangkan dari daerah barat semasa kaisar Zhangdi dari Dinasti Han Timur (25-220 Masehi) dan menyebarnya agama Buddha di China.
Sementara pada masa kini, atraksi barongsai lebih identik dengan pertunjukan hiburan, representasi tradisi budaya orang China. Di kalangan generasi muda China secara umum, barongsai dipandang sebagai bagian dari selebrasi hari raya.
“Jadi terbatas sebagai simbol tradisi budaya saja. Hal ini menjadi salah satu sebab kurangnya minat generasi muda di bidang pelestarian barongsai. Atas dasar itu, apresiasi harus diberikan kepada klub-klub atau perkumpulan yang mengangkat dan rutin melakukan pelatihan atraksi barongsai ini,” ujarnya.
Eksistensi dan perkembangan barongsai
Budayawan Alex Cheung menilai, seni pertunjukan barongsai (Wu Shi) di Indonesia pada saat ini bisa dibilang sudah menjadi bagian dari tradisi dan budaya China yang sudah “diadopsi” di tengah masyarakat Indonesia, baik kalangan peranakan maupun non-China.
Kondisi tersebut bisa terlihat, misalnya, dari para pemainnya saat ini yang justru lebih didominasi oleh masyarakat non-China. Meski demikian, seni pertunjukan barongsai tetap melekat sebagai identitas tradisi dan kultur masyarakat China di Indonesia dengan nilai-nilai
spiritual tertentu.
“Sejak masa reformasi kita telah bisa menyaksikan pertunjukan atraksi barongsai dan liong ditampilkan secara bebas, bukan hanya semasa Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, atau hari raya Tionghoa lainnya, melainkan juga dapat ditemui di berbagai perhelatan event event budaya baik yang diselenggarakan oleh institusi, kelompok, hingga acara pribadi,” ujarnya.
Dia menuturkan, proses komodifikasi yang terjadi terhadap seni pertunjukan barongsai di Indonesia pada masa kini seperti munculnya barongsai Jawa, iringan musik pop, iringan joget dansa, dan lainnya, tidak membuat identitas dan kebudayaan China memudar. Proses tersebut justru mewarnai identitas seni pertunjukan barongsai itu sendiri dengan kekhasan di setiap daerah di Indonesia.
Secara umum, perkembangan pertunjukan barongsai di Indonesia saat ini sangat baik. Sudah ada lembaga yang mewadahinya seperti Persatuan Liong Barongsai Seluruh Indonesia (PLBSI) yang terhimpun di Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI). Lalu, banyak juga klub-klub barongsai yang konsisten mempromosikan barongsai sekaligus melestarikan seni pertunjukan China ini.
Klub Kong Ha Hong salah satu yang turut mengharumkan nama Indonesia di kancah seni pertunjukan barongsai ketika mereka berhasil menjadi juara 1 dunia beberapa kali.
“Ke depannya, seni pertunjukan barongsai ini akan semakin merakyat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi budaya bangsa Indonesia yang tetap menjadi identitas etnis China di Indonesia,” katanya.
Seni pertunjukan barongsai dapat tetap bertahan hingga saat ini lantaran semangat untuk mempertahankan warisan leluhur yang sangat besar, termasuk pada masa Orde Baru selama 32 tahun dari 1967 sampai 1998.
“Walaupun prahara yang berlangsung selama 32 tahun pada masa Orde Baru (1967-1998) telah menyenyapkan tradisi budaya etnis Tionghoa di Indonesia, namun tetap tak mampu menghilangkan semangat untuk mempertahankan warisan leluhur ini secara diam-diam,
salah satunya atraksi barongsai ini, yang tak hanya mampu bertahan, bahkan kini berkembang pesat,” katanya.
Dia menambahkan, setelah reformasi bergulir, atraksi barongsai masih terus dapat dilestarikan oleh masyarakat China di Indonesia karena merupakan atraksi yang umum di kalangan masyarakat China di berbagai penjuru dunia, bukan hanya di negara asalnya saja.
Kondisi tersebut berbeda dengan atraksi lainnya seperti cng-ge (cung gee) atau cng-koh (cung koh), yaitu atraksi arak-arakan semacam pawai yang pada masa kolonial dahulu pernah populer di Buitenzorg (Bogor) dan juga Batavia (Jakarta). Atraksi tersebut kini telah punah ditelan waktu, sebab hanya dimainkan secara terbatas di kalangan etnis China tertentu di daerah Zhangzhou (Ciangciu) dan di Xiamen (Emui).
Perkumpulan-perkumpulan China seperti Hoo Hap Hwee, Hokkian Hwee Koan, Sin Ming Hui, Kuo Chi Yen Chiu She, Khong Kauw Hwee, Shantung Kung Hui, Kwong Siew Wai Kuan, dan lain sebagainya juga memegang peranan penting terhadap keberlangsungan seni pertunjukan barongsai di Indonesia.
“Mengutip teori fungsionalisme struktural yang dikemukakan Radcliffe-Brown, masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan yang bekerja sama untuk mempertahankan keseluruhan, menunjukkan atraksi barongsai sebagai perilaku sosial masyarakat China bukan untuk memuaskan kebutuhan individual, melainkan untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat China itu sendiri secara keseluruhan,” paparnya.
Baca juga: Hypereport: Ornamen Imlek Unik dan Maknanya Sebagai Pembawa Keberuntungan di Tahun Baru
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.