Segenggam Asa & Refleksi Pariwisata Bali dari Warung Made
29 January 2025 |
17:27 WIB
Di tengah lalu lalang, perempuan gaek itu masih trengginas memberi instruksi pada pelayan. Sesekali sejumlah pengunjung meminta foto bersama dengannya. Arkian, dia pun menimpali para pengunjung, 'jadi bintang ge aku hari ini', selorohnya.
Candaan itu pun disambut tawa pengunjung. Setelah itu, mereka bercakap-cakap. Sang empu atau 'bintang' itu menyambut semuanya dengan ramah, meski tak lupa meminta pelayan untuk menyajikan menu lain, secara khusus untuk suaminya, Peter.
Baca juga: Menikmati 'Surga Tersembunyi' di Balik Formasi Karang Angel's Billabong
Hari itu, Sabtu (25/1/25) adalah hari yang istimewa bagi perempuan itu. Dialah Ni Made Masih (70), salah satu legenda dalam dunia kuliner di Bali. Bu Made, begitu biasa dipanggil adalah pendiri Made's Warung, ikon salah satu wisata di Bali.
Made's Warung telah berdiri sejak 1969 di tepi jalan sekitar 500 meter dari Pantai Kuta. Penggunaan morfem 'warung' juga terjadi kala itu mereka hanya menjual menu-menu lokal untuk turis, seperti pisang goreng, kopi dan tipat cantok- sejenis gado-gado ala Bali.
Sebagai sebuah warung, dalam pengertian sesungguhnya, makanan yang dijual juga disajikan ala kadarnya. Mereka diletakkan di sebuah meja panjang, yang mana di situ juga terdapat ambin, bangku, dengan dinding yang masih terbuat dari gedek, alias anyaman bambu.
Namun, seiring melejitnya pariwisata di Bali, warung dengan menu lokal dan murah itu terus diserbu turis. Salah satunya adalah Peter Steenbergen, turis asal Belanda yang kelak mempersunting Made muda pada 1974. Dia jugalah yang mengajari Made membuat menu lain yang cocok di lidah Eropa.
"Peter yang mengajari saya membuat jaffle, tapi dulu saya ini kembang warung. Jadi enggak boleh pacaran-pacaran. Tapi dia pintar mendekati saya, dengan menyewa tour guide dari Bali," kata Made sambil tertawa.
Seiring waktu, warung yang diwarisi Bu Made dari ayahnya itu pun makin moncer. Terlebih saat mereka membuka cabang pertama di Seminyak, serta memperkenalkan menu-menu lain dari hasil pengalaman, olah rasa, dan percakapan dengan para turis yang memberi masukan terkait menu yang mereka sukai.
Syahdan, bermunculan pula menu seperti nasi goreng, roti tangkup, dan senarai kudapan lain yang kerap dinikmati para turis. Belakangan, mereka juga menyediakan menu-menu Barat, seperti Italia dan Turki, serta membuat menu fusion (perpaduan) antara yang lokal dan yang non lokal.
Kiwari, setelah lebih dari 5 dekade Made's Warung berdiri, bahkan mereka juga telah memiliki banyak cabang baik di dalam dan luar negeri. Di antaranya adalah di Jakarta, Berawa, Bandara Internasional Ngurah Rai, dan Amsterdam, Belanda.
Selain makanan, turunan usaha di tempat ini juga variatif dengan bekerja sama dengan berbagai jenama. Misalnya spa, perhiasaan, kriya, bahkan merchandise dari klub bola Bali United Store. Made's Warung seolah merepresentasikan budaya Bali yang kosmopolit dalam melihat perubahan.
Memasuki Made's Warung di Seminyak, mata pengunjung mungkin akan langsung tertumbuk pada foto ikonik saat Bu Made remaja difoto bersama seorang turis. Dalam adegan tersebut mereka duduk di atas dipan, beberapa sisi pisang tergantung di genteng, botol-botol minuman terhampar di dinding.
Uniknya, di warung yang menggabungkan arsitektur tradisional-modern ini, kita juga disuguhi potret dan lukisan yang menggambarkan kekuatan perempuan. Di sebelah foto di muka misal, sang empu warung juga memacak potret dari Kartini, bersama kedua saudaranya, Kardinah, dan Roekmini.
Sementara itu, saat memasuki lantai dua genhype juga akan bersitatap dengan sosok Frida Kahlo. Perupa asal Meksiko ini, sepertinya bukan tanpa alasan kedua replika lukisannya yang bertajuk Self-Portrait with Monkey dan Self Portrait, Dedicated to Dr Eloesser ditempatkan untuk mengapit potret sang empu warung.
Bu Made mengatakan, ihwal pemasangan kedua karya itu memang ada tujuannya. Lukisan yang dibelikan suaminya itu menurut Made adalah merepresentasikan hidupnya sebagai perempuan. Ada keberanian dari sosok perupa tersebut yang menginspirasinya dalam menghadapi berbagai hal-hal pelik.
"Frida ini kisah hidupnya seperti sejarah hidup saya. Dia juga perempuan yang pemberani, di sangat spesial bagi saya. Dari dia saya belajar tentang dunia barat, lalu mengemasnya dengan kebudayaan saya sendiri," katanya.
Saat ditanya mengenai pariwisata Bali yang terkesan over kapasitas, Bu Made juga memiliki pandangan berbeda. Sebagai warga lokal, dia melihat Bali ibarat madu yang terus dikerumuni orang dari berbagai dunia. Namun, di tengah momen tersebut nilai-nilai tradisi mulai banyak dilanggar oleh para pendatang.
"Bali itu ibarat paradise. Bagi mereka itu surga, tapi bagi saya ini sesak, semua digampangin, jalan enggak ada yang mengurus, sampah di mana-mana, air habis, tanah habis, di mana future?" katanya.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, I Putu Anom mengatakan, warung dengan pola usaha yang diterapkan Made bisa banyak ditemui di Bali. Namun, yang biasanya berhasil adalah mereka yang mampu menyesuaikan perkembangan zaman baik dari segi menu hingga ornamen bangunan.
Berbeda dengan warung-warung lain di daerah pedalaman Bali, warung di pesisir menurutnya memang lebih mudah berevolusi. Dari segi menu misalnya, mereka juga tidak akan menyajikan makanan yang bagi sebagian orang tidak dikudap karena haram, atau ada penyesuaian bahan bakunya.
"Model warung seperti ini biasanya memahami selera dan keyakinan umat lain. Terlebih dengan mendapat pengetahuan dari suaminya, pasti dia ingin menyesuaikan citarasa yang sesuai untuk wisatawan mancanegara dan lokal," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Candaan itu pun disambut tawa pengunjung. Setelah itu, mereka bercakap-cakap. Sang empu atau 'bintang' itu menyambut semuanya dengan ramah, meski tak lupa meminta pelayan untuk menyajikan menu lain, secara khusus untuk suaminya, Peter.
Baca juga: Menikmati 'Surga Tersembunyi' di Balik Formasi Karang Angel's Billabong
Hari itu, Sabtu (25/1/25) adalah hari yang istimewa bagi perempuan itu. Dialah Ni Made Masih (70), salah satu legenda dalam dunia kuliner di Bali. Bu Made, begitu biasa dipanggil adalah pendiri Made's Warung, ikon salah satu wisata di Bali.
Made's Warung telah berdiri sejak 1969 di tepi jalan sekitar 500 meter dari Pantai Kuta. Penggunaan morfem 'warung' juga terjadi kala itu mereka hanya menjual menu-menu lokal untuk turis, seperti pisang goreng, kopi dan tipat cantok- sejenis gado-gado ala Bali.
Sebagai sebuah warung, dalam pengertian sesungguhnya, makanan yang dijual juga disajikan ala kadarnya. Mereka diletakkan di sebuah meja panjang, yang mana di situ juga terdapat ambin, bangku, dengan dinding yang masih terbuat dari gedek, alias anyaman bambu.
Namun, seiring melejitnya pariwisata di Bali, warung dengan menu lokal dan murah itu terus diserbu turis. Salah satunya adalah Peter Steenbergen, turis asal Belanda yang kelak mempersunting Made muda pada 1974. Dia jugalah yang mengajari Made membuat menu lain yang cocok di lidah Eropa.
"Peter yang mengajari saya membuat jaffle, tapi dulu saya ini kembang warung. Jadi enggak boleh pacaran-pacaran. Tapi dia pintar mendekati saya, dengan menyewa tour guide dari Bali," kata Made sambil tertawa.
Ni Made Masih berpose di lorong Made's Warung, Seminyak, Bali pada Sabtu (25/12/25). (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Syahdan, bermunculan pula menu seperti nasi goreng, roti tangkup, dan senarai kudapan lain yang kerap dinikmati para turis. Belakangan, mereka juga menyediakan menu-menu Barat, seperti Italia dan Turki, serta membuat menu fusion (perpaduan) antara yang lokal dan yang non lokal.
Kiwari, setelah lebih dari 5 dekade Made's Warung berdiri, bahkan mereka juga telah memiliki banyak cabang baik di dalam dan luar negeri. Di antaranya adalah di Jakarta, Berawa, Bandara Internasional Ngurah Rai, dan Amsterdam, Belanda.
Selain makanan, turunan usaha di tempat ini juga variatif dengan bekerja sama dengan berbagai jenama. Misalnya spa, perhiasaan, kriya, bahkan merchandise dari klub bola Bali United Store. Made's Warung seolah merepresentasikan budaya Bali yang kosmopolit dalam melihat perubahan.
Kemandirian Perempuan
Memasuki Made's Warung di Seminyak, mata pengunjung mungkin akan langsung tertumbuk pada foto ikonik saat Bu Made remaja difoto bersama seorang turis. Dalam adegan tersebut mereka duduk di atas dipan, beberapa sisi pisang tergantung di genteng, botol-botol minuman terhampar di dinding.Uniknya, di warung yang menggabungkan arsitektur tradisional-modern ini, kita juga disuguhi potret dan lukisan yang menggambarkan kekuatan perempuan. Di sebelah foto di muka misal, sang empu warung juga memacak potret dari Kartini, bersama kedua saudaranya, Kardinah, dan Roekmini.
Sementara itu, saat memasuki lantai dua genhype juga akan bersitatap dengan sosok Frida Kahlo. Perupa asal Meksiko ini, sepertinya bukan tanpa alasan kedua replika lukisannya yang bertajuk Self-Portrait with Monkey dan Self Portrait, Dedicated to Dr Eloesser ditempatkan untuk mengapit potret sang empu warung.
Bu Made mengatakan, ihwal pemasangan kedua karya itu memang ada tujuannya. Lukisan yang dibelikan suaminya itu menurut Made adalah merepresentasikan hidupnya sebagai perempuan. Ada keberanian dari sosok perupa tersebut yang menginspirasinya dalam menghadapi berbagai hal-hal pelik.
"Frida ini kisah hidupnya seperti sejarah hidup saya. Dia juga perempuan yang pemberani, di sangat spesial bagi saya. Dari dia saya belajar tentang dunia barat, lalu mengemasnya dengan kebudayaan saya sendiri," katanya.
Potret Ni Made Masih muda (tengah) diapit replika lukisan Frida Kahlo (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Saat ditanya mengenai pariwisata Bali yang terkesan over kapasitas, Bu Made juga memiliki pandangan berbeda. Sebagai warga lokal, dia melihat Bali ibarat madu yang terus dikerumuni orang dari berbagai dunia. Namun, di tengah momen tersebut nilai-nilai tradisi mulai banyak dilanggar oleh para pendatang.
"Bali itu ibarat paradise. Bagi mereka itu surga, tapi bagi saya ini sesak, semua digampangin, jalan enggak ada yang mengurus, sampah di mana-mana, air habis, tanah habis, di mana future?" katanya.
Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, I Putu Anom mengatakan, warung dengan pola usaha yang diterapkan Made bisa banyak ditemui di Bali. Namun, yang biasanya berhasil adalah mereka yang mampu menyesuaikan perkembangan zaman baik dari segi menu hingga ornamen bangunan.
Berbeda dengan warung-warung lain di daerah pedalaman Bali, warung di pesisir menurutnya memang lebih mudah berevolusi. Dari segi menu misalnya, mereka juga tidak akan menyajikan makanan yang bagi sebagian orang tidak dikudap karena haram, atau ada penyesuaian bahan bakunya.
"Model warung seperti ini biasanya memahami selera dan keyakinan umat lain. Terlebih dengan mendapat pengetahuan dari suaminya, pasti dia ingin menyesuaikan citarasa yang sesuai untuk wisatawan mancanegara dan lokal," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.