PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

Pentas Penuh Makna Slamet Rahardjo & Niniek L. Karim dalam Lakon Dag Dig Dug Teater Populer

25 January 2025   |   12:24 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Setelah cukup lama vakum dari dunia panggung, kelompok Teater Populer akhirnya kembali berpentas dengan menampilkan naskah bertajuk Dag Dig Dug. Slamet Rahardjo bertindak sebagai sutradara dalam pementasan ini, sebagai 'tangan kedua' yang menangani Teater Populer setelah pemimpin pertamanya, Teguh Karya mangkat.

Teater Populer bukanlah kelompok teater yang kaleng-kaleng. Didirikan pertama kali pada 1968, kelompok ini memiliki sejarah panjang dalam kesenian teater di Indonesia, dengan berbagai produksi pementasan berkualitasnya.

Baca juga: Teater Populer Manggung Lagi, Siap Bawakan Lakon DAG DIG DUG karya Putu Wijaya

Teater Populer adalah sebuah embrio penting teater modern di Indonesia. Pada perjalanannya, kelompok ini tak hanya memberi warna dalam pementasan, tetapi juga turut andil melahirkan banyak kelompok teater modern lain di Indonesia.
 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Bagi Slamet Rahardjo, bisa kembali berpentas dengan Teater Populer dan membawakan naskah Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, merupakan sebuah anugerah. Naskah ini pun dipilihnya bukanlah tanpa alasan.

Lakon Dag Dig Dug pertama kali dipentaskan pada 1977 di Taman Ismail Marzuki, yang juga disutradarainya. Tak hanya sebagai sutradara, kala itu, Slamet dan Niniek L Karim juga diplot menjadi pemeran utama sebagai pasangan lanjut usia.

Umurnya waktu itu masih 28 tahun. Kini, setelah hampir lima dekade berlalu, naskah legendaris dari Putu Wijaya itu seperti memanggil kembali. Di pentas terbarunya ini, Slamet dan Niniek pun kembali diplot sebagai pemeran utama.

Kembali berpentas dengan lakon yang sama, dengan peran dan lawan main yang sama pula, menjadi sesuatu yang unik bagi Slamet. Menurutnya, ada perbedaan yang terjadi, tetapi ada banyak kesamaan pula yang masih dirasakannya.

Baca juga: Teater Pandora Siap Pentaskan Lakon Constellations di Museum MACAN

Bagi Slamet, sejak naskah itu dibuat sampai sekarang, perasaan magis itu masih begitu lekat. Bahkan, hinggga puluhan tahun berlalu, Slamet merasa naskah itu benar-benar telah melampaui zaman karena terasa relevan hingga sekarang.

“Sekarang, saya bertanya, apa yang kamu rasakan selama ini? Masih ada perasaan dag dig dug, enggak?” ucap Slamet seusai Gladi Resik di Salihara, Jakarta, Jumat (25/1/2025).

Slamet mengatakan naskah Dag Dig Dug ini unik. Dalam naskah tersebut, menurutnya, Putu seperti tengah senang mengulik masalah-masalah kecil menjadi masalah besar. Masalah kecil ada bukan untuk dilupakan begitu saja, tetapi sekecil apa pun itu perlu untuk mendapat perhatian pula untuk diselesaikan.

Dirinya mengaku suka dengan gagasan itu. Lewat pentas ini, Slamet ingin mengembalikan gagasan-gagasan ideal tersebut, sekaligus mengenalkan kembali sosok Khaerul Umam.

“Sial betul, sampai sekarang enggak ada orang yang bisa aku idealkan, kecuali Khaerul Umam. Kerinduan itulah yang membuat naskah Dag Dig Dug begitu penting bagi saya,” imbuhnya.
 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Saat mementaskan kembali naskah ini, Slamet tak membawanya apa adanya. Dia mencoba menginterpretasikan ulang bagaimana Dag Dig Dug dan sosok Khaerul Umam berada saat ini.

Slamet membuat perubahan-perubahan kecil dari naskah asli, tetapi tetap menampilkan roh cerita utamanya. Sedikitnya, dia membuat enam revisi hingga akhirnya sampai ke bentuk yang akan ditampilkan di pentas.

Salah satunya hal menarik yang muncul ialah perbedaan pada karakter Cokro. Interpretasi Slamet terkait dengan gender dan peran Cokro menjadi suguhan yang menarik pada naskah versi anyar ini.

“Dag Dig Dug mencoba menampilkan berbagai situasi yang membuat penikmatnya merenung, tertawa getir, menghadapi semacam kekacauan yang terjadi dalam diri manusia dan sekitarnya,” tuturnya.

Baca juga: Menerka-nerka Arti Cinta Bersama Teater Koma

Sementara itu, Niniek L. Karim mengatakan dirinya menerima kembali tantangan akting ini bukan karena naskahnya saja yang menarik, tetapi juga bentuk penghormatan kepada Teguh Karya, selaku pendiri Teater Populer.

Sebab, jika tidak ada dia, Niniek merasa tak akan pernah berada di posisi ini sampai sekarang. Niniek menyebut ingatannya terhadap pementasan Dag Dig Dug yang telah 48 tahun berlalu itu saat ini cukup samar-samar.

Namun, kala itu, pentas tersebut memang punya artis besar baginya. Terlebih, bersama Tuti Indra Malaon, dirinya bisa memainkan posisi satu jadi dua atau dua jadi satu, yang masih begitu terasa sampai sekarang.

“Saya senang sekali karena kami tetap bisa mengekspresikan realitas dari yang ada pada saat ini,” ucap Niniek.

Niniek mengaku teringat dengan pesan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurutnya, Gus Dur selalu berpesan bahwa seni pertunjukan itu harus selalu merefleksikan kondisi masyarakat yang ada.

Menurut Niniek, Dag Dig Dug karya Putu Wijaya ini, meski naskah lama, tetap bisa menjadi alat kendali atau refleksi dari situasi yang ada. Sebab, hingga saat ini kita memang harus tetap waspada dan dag dig dug terhadap kondisi yang ada.
 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Naskah Dag Dig Dug memotret kehidupan manusia lewat sepasang suami istri berusia lanjut usia yang tidak memiliki anak. Mereka kemudian mengelola rumah besarnya, menjadi indekos yang diisi oleh para mahasiswa.

Persoalan muncul saat diperoleh telegram bahwa salah satu mahasiswa yang kos di rumahnya, yakni Khaerul Umam, mati tertabrak dalam kecelakaan jalan. Umam adalah seorang mahasiswa yang berpengetahuan luas, cerdas, rendah hati, berkharisma dan pimpinan gerakan mahasiswa.

Sontak, kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh Chaerul Umam dicurigai sebagai kecelakaan yang direncanakan. Sebab, ada banyak kejanggalan. Dua utusan yang datang ke rumah kos misalnya, yang menawarkan uang santunan.

Pemilik kos sempat terpukul atas kepergian Umam, tetapi mendadak jadi berpura-pura setelah ada uang santunan. Namun, saat uang santunan itu diterima, uang yang ada di dalamnya malah tak sama dengan jumlah awal.

Kecurigaan, marah, emosi, penderitaan, mencuat lewat pertikaian dan keributan kecil di antara mereka berdua dan orang-orang di sekelilingnya, termasuk tokoh pembantu rumah tangga, Cokro, yang selalu ditindas manjikannya.

Baca juga: Kiprah Landung Simatupang, Seniman Gaek yang Setia Menekuni Teater

Selain menampilkan aktor dan aktris kawakan, yakni Slamet Rahardjo dan Niniek L Karim, pementasan ini juga menghadirkan aktor muda, seperti Reza Rahadian, Donny Damara, Jose Rizal Manua, Kiki Narendra, dan Onkar Sadawira.

Pentas ini diproduseri oleh Paquita Wijaya dan Samuel Wattimena, dengan coproduser Taba Sanchabakhtiar. Samuel dalam pertunjukan ini juga bertindak sebagai perancang busana.

Pentas Teater Populer yang  dipersembahkan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation bekerja sama dengan AP Production ini akan dipentaskan di Teater Salihara pada 25-26 Januari 2025 pukul 19.00 WIB.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Hotel Vasaka Jakarta Punya Promo Imlek dan Slowcation Seru

BERIKUTNYA

Makna Tahun Ular Kayu Imlek 2025 dan Pengaruhnya pada Karier & Keberuntungan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: