PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

Pentas Dag Dig Dug Teater Populer, Saat Kematian Jadi Penuh Absurditas

25 January 2025   |   14:59 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Alih-alih menggambarkan kematian sebagai perjalanan menuju keabadian, seperti yang diyakini penyair Jalaluddin Rumi misalnya, pentas Dag Dig Dug produksi Teater Populer justru membayangkan kematian dari sudut yang berbeda, yang terasa penuh keabsurdan.

Kisah-kisah tentang kematian dalam panggung teater sebenarnya bukan hal baru. Naskah Dag Dig Dug pun bukan sekali ini saja dipentaskan. Lakon ini pertama kali dipentaskan oleh Teater Populer pada 1977 dan telah ditampilkan dengan berbagai pendekatan yang menggugah dalam beberapa dekade terakhir. 

Baca juga: Eksklusif Slamet Rahardjo: Memaknai Hidup Sebagai Panggung Sandiwara 

Namun, kemunculan naskah karya Putu Wijaya ini ke panggung teater lagi kali ini terasa spesial dan punya posisi yang cukup menggugah. Sebab, pementasan ini dinakhodai langsung oleh Slamet Rahardjo, sosok yang kerap disebut sebagai tangan kedua Teater Populer setelah pemimpin pertamanya, Teguh Karya mangkat.

Ya, setelah sekian lama vakum, Teater Populer kembali ke atas panggung. Dalam pentas ini, naskah asli karya Putu Wijaya diinterpretasikan ulang oleh Slamet, dengan perubahan-perubahan kecil, yang terasa menohok, tetapi tanpa meninggalkan roh ceritanya.
 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Lakon Dag Dig Dug mengisahkan kematian tokoh bernama Chairul Umam karena peristiwa tabrak lari. Umam adalah seorang mahasiswa yang berpengetahuan luas, cerdas, rendah hati, berkharisma dan pimpinan gerakan mahasiswa.

Setelah peristiwa nahas itu, ada dua orang yang mengaku sebagai rekan kerjanya, datang ke tempat tinggal Umam, yang rupanya hanyalah indekos yang dimiliki oleh pasangan lanjut usia bernama Salamun dan Hartati.

Dua orang itu berniat menyerahkan amplop berisi uang santunan. Sang pemilik kos, yang bukan orang tua asli Umam, awalnya kaget dengan berita kematian anak kosnya. Namun, mereka segera pura-pura mengenal baik Umam, karena ada uang santunan.

Saat uang santunan dibuka, isinya rupanya tak sesuai dengan kuitansi. Alih-alih marah, pemilik kos justru ingin mengembalikan amplop tersebut, tetapi dengan menambahkan jumlah uang sesuai dengan yang tertulis.

Kecurigaan, marah, emosi, penderitaan, mencuat lewat pertikaian dan keributan kecil di antara mereka berdua dan orang-orang di sekelilingnya, termasuk tokoh pembantu rumah tangga, Cokro, yang selalu ditindas manjikannya.

 

Pementasan Lakon Dag Dig Dug (Foto: JIBI/Hypeabis.id/Eusebio

 

 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

Pementasan Lakon Dag Dig Dug (Foto: JIBI/Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

 


Keabsurdan naskah telah terasa sejak awal. Mulanya, Umam dikabarkan sebagai seorang mahasiswa. Namun, dua orang yang datang ke kos digambarkan sebagai rekan kerja. Ketidakjelasan identitas ini membawa keabsurdan sendiri.

Namun, keabsurdan tersebut justru seolah membawa penonton pada realitas kehidupan nyata. Persoalan tentang identitas diri dan sikap saat ini seolah makin jadi sesuatu yang abu-abu. Identitas kerap kali luntur dan mudah tergantikan oleh sesuatu.

Baca juga: Profil Slamet Rahardjo, Aktor Berdedikasi Lintas Generasi 

Ketidakjelasan dan ketidaksinkronan yang terjadi ini juga membawa pertanyaan terkait nasib sebenarnya yang dialami oleh Umam, mahasiswa kritis yang disebut mati karena kecelakaan.

Penonton seolah dibuat dag dig dug. Benarkah sosok Umam sudah mati, atau benarkah mati karena ditabrak, atau apa maksud uang santunan dari orang yang tidak jelas ini? Apalagi uang itu kemudian diserahkan hanya kepada pemilik kos Umam, bukan orang tua kandungnya.

Kematian bagi Umam, seolah bukan perjalanan menuju keabadian, tetapi proses konspirasi terjadi. Sialnya, konspirasi itu berlanjut dan dianggap sebagai kebenaran, hanya karena telah ada kabar meski tak jelas juga darimana dia berasal.
 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Kabar kepergian Umam kemudian menjadi pemantik tersendiri bagi pasangan suami istri pemilik kos yang telah tua renta itu. Pemikiran mereka, terutama sang suami, Salamun, terhadap kematian kian berbeda.

Kematian bagi Salamun kemudian bersalin rupa seperti obsesi. Dia mendadak begitu takut akan kematian. Di lain hal, ada pihak lain yang mengakomodir itu. Menangkap peluang obsesi kematian menjadi ladang bisnis.

Misalnya, dengan menjual marmer atau peti mati dan mengiming-imingi harga selalu naik tiap bulan. Peristiwa ini menjadi sesuatu yang menggelitik.

Tak berhenti sampai sini, obsesi kematian dari pemilik kos juga lambat laun makin absurd. Hingga kemudian, Cokro, pembantu rumah tangga di rumah itu, terkena getahnya. Dia jadi sosok yang kerap kena tindas majikannya dalam arti sebenarnya maupun secara mental.

Dalam babak antara pemilik kos dan pembantu, Slamet Rahardjo mengarahkan pentas ke arah baru. Kali ini, tampak mempertontonkan pertarungan kelas dengan kentara. Bahkan, meski sebenarnya Cokro tak terlalu banyak mendapat panggung dan sorotan, sosoknya tetap saja disalahkan dan dieksploitasi.

Barang kali, bagi kelas bawah seperti Cokro, kematian bukan saat napasnya telah tiada. Namun, justru sepanjang kehidupanlah kematian itu dirasakannya.

Kematian menjadi makin absurd, gambarannya ditangkap berbeda-beda oleh setiap orang, baik secara takut, pasrah menunggu waktunya, sampai terenggut identitas dirinya. Begitu sulit mencari kebenaran kematian Umam, hingga akhirnya hidup berlanjut entah ke mana.


Naskah & Aktor Jadi Kekuatan Utama

Berdurasi sekitar 2 jam, kekuatan lakon Dag Dig Dug ada pada naskah cerita dan kedalaman karakter yang dituangkan oleh para aktor di dalamnya. Dalam pertunjukan ini, dengan bentuk panggung arena, aktor memang jadi napas utama dalam memacu cerita berjalan ke depan.

Keberadaan tata panggung yang tampak minimalis, hanya berisi beberapa pintu, tempat duduk, set meja, dan gantungan baju. Sisi artistik tampak hanya berfungsi sebagai kanvas kosong. Para aktorlah yang kemudian mewarnai dengan berbagai bentuk kuas, dari ekspresi wajah, suara, pergerakan, dan sebagainya.

Dalam hal ini, performa duo aktor gaek Slamet Raharjo dan Niniek L Kariem sebagai dua pemeran utama, masih tampak begitu prima. Keduanya pun melebur dengan apik bersama para aktor lain, seperti Reza Rahadian, Donny Damara, Jose Rizal Manua, Kiki Narendra, dan Onkar Sadawira.

Dalam pertunjukan ini, beberapa kejadian-kejadian kecil, seperti suara tokek yang muncul berulang, atau tahu bulat, sukses membawa intensi yang berbeda. Sejumlah isu terkini, seperti pagar laut, pun tak lepas dari celetukan para aktor, membawa naskah lama ini ke kontekstual era saat ini.
 

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

PEMENTASAN LAKON DAG DIG DUG (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)


Bagi Slamet Rahardjo, bisa bermain teater lagi merupakan upaya untuk pulang. Menurut Slamet, teater adalah rumah dan lewat pementasan ini, dirinya ingin pulang ke rumahnya tersebut.

Lewat Dag Dig Dug, dirinya ingin menampilkan berbagai situasi yang membuat penikmatnya merenung, tertawa getir, dan mengahadapi semacam kekacauan dalam diri manusia dan sekitarnya.

“Dialognya terkadang tanpa ujung pangkal dan sebagian terasa dituturkan bukan kepada lawan main, melankan kepada penonton, lebih tepatnya kepada situasi sekarang,” ungkapnya.

Baca juga: Pentas Penuh Makna Slamet Rahardjo & Niniek L. Karim dalam Lakon Dag Dig Dug Teater Populer

Sementara itu, produser Pawuita Widjaja, yang pernah bermain drama di produksi Teater Populer periode akhir Teguh Karya berkarya, yakni Perhiasan Gelas, mengaku bangga bisa kembali ke tempat ini lagi.

Baginya, keterlibatannya di pentas ini semacam tanggung jawab darinya agar Teater Populer hidup lagi. Dalam pentas ini, sebagian yang bermain adalah dari jebolan Teater Populer, meski terdapat pula keikutsertaan teman-teman lain.

“Ya, itu membuat pertunjukan ini menjadi lebih meriah dan sangat penting untuk menghidupkan kembali Teater Populer,” imbuhnya.

Pentas Teater Populer yang  dipersembahkan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation bekerja sama dengan AP Production ini akan dipentaskan di Teater Salihara pada 25-26 Januari 2025 pukul 19.00 WIB.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Makna Tahun Ular Kayu Imlek 2025 dan Pengaruhnya pada Karier & Keberuntungan

BERIKUTNYA

Strategi Brand Lokal Bersaing di Industri Parfum, Aktif di Platform Online Jadi Kunci

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: