Ilustrasi pekerja usia muda menerima tawaran perusahaan | Pexels/Fauxels

Inflasi Jabatan, Tren Gen Z yang Bikin Posisi Kerja Jadi Semakin ‘Glamour’ Tanpa Tanggung Jawab

23 January 2025   |   11:00 WIB
Image
Aldehead Marinda M. U. Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Fenomena inflasi jabatan atau job title inflation belakangan populer di kalangan Gen Z yang telah memasuki usia angkatan kerja. Istilah ini mengacu pada praktik pemberian jabatan yang semakin prestise atau ‘megah’ pada posisi tertentu.

Tanpa diimbangi dengan peningkatan tanggung jawab atau kompensasi yang sesuai dengan jabatan tersebut. Sebuah perusahaan konsultasi rekrutmen Pyou mencatat bahwa fenomena ini telah merambah menjadi kultur baru perusahaan modern, terutama di industri yang persaingannya sangat ketat, seperti teknologi dan perusahaan rintisan (startup).

Baca juga: Mengenal Fenomena Micro Retirement, Rehat Panjang dari Karier yang Dipilih Gen Z & Milenial

Perusahaan sering kali menaruh sematan tinggi pada jabatan untuk menarik dan mempertahankan pekerja, terutama generasi muda seperti Milenial dan Gen Z. Contoh-contoh sematan inflasi jabatan tersebut di Indonesia dapat ditemui praktiknya seperti penambahan jabatan ‘senior’ padahal pekerja masih bekerja di posisi yang sama.

Contoh lain dapat terjadi seperti pekerja yang menerima sematan ‘senior’ bukan karena kualifikasinya yang sudah mapan sebagai seorang manager, melainkan karena gaji di perusahaannya sebelumnya sudah terlampau tinggi.

Sementara itu PR Moment mencatat di berbagai negara, inflasi jabatan muncul dengan cara yang berbeda pula. Di Inggris dan Irlandia misalnya, terjadi peningkatan yang mencolok pada lowongan pekerjaan yang menampilkan jabatan yang terdengar senior dan membutuhkan pengalaman minimal (beberapa tahun misalnya) naik sebesar 53 persen sepanjang tahun 2022-2023.

Perusahan konsultasi Monroe menyebut tren ini tidak berdiri sendiri. Fenomena job title inflation dapat mencerminkan pergeseran dalam budaya tempat kerja di mana perusahaan berusaha meningkatkan daya tarik mereka melalui jabatan yang menarik dengan embel-embel prestise di sana.

Era digital telah memperburuk tren ini karena para pekerja cenderung berlomba memanfaatkan platform media sosial untuk memamerkan kredensial (sematan jabatan) mereka, sehingga jabatan yang mengesankan tampak lebih penting untuk kemajuan karier ketimbang k ompetensi aktual pada posisi yang diperankan.

Fenomena ini turut dibahas Business Insider yang menyebut inflasi jabatan pada awalnya dapat meningkatkan semangat kerja pekerja dengan membuat individu merasa dihargai melalui jabatan yang bergengsi. Namun, hal ini sering kali hanya bersifat sementara dan menutupi masalah yang lebih dalam seperti kesenjangan gaji yang diterima pekerja.

Seiring berjalannya waktu, pekerja dapat mengalami kekecewaan karena kenyataan peran mereka tidak sesuai dengan jabatan mereka. Ketidakselarasan ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas, karena pekerja bergulat dengan ekspektasi yang tidak realistis terkait dengan jabatan mereka yang tinggi, sementara mereka tidak memiliki keterampilan atau tanggung jawab yang diperlukan untuk memenuhi ekspektasi tersebut.

Helena Young seorang penulis di situs saran bisnis profesional asal Inggris, Startups.co.UK mengutip pernyataan Janine Blacksley, Direktur Walters People, tentang “Dulu, jabatan seperti Lead, Principle, Partner, dan VP membutuhkan pengalaman dan kerja keras selama bertahun-tahun. Sekarang, para profesional dianugerahi gelar-gelar tersebut pada tahap awal karier mereka,” ujar Janice seperti dikutip Startups.

Helena sendiri turut menambahkan poin tentang Milenial dan Gen z atau para pekerja muda berusia 18-26 tahun membuat para pemberi kerja merasa dituntut lebih karena generasi muda ini menuntut gaji di atas rata-rata untuk posisi lulusan atau pemula (entry level).

Dia menambahkan bahwa lebih dari separuh Gen-Z berharap untuk dipromosikan setiap 12-18 bulan dan jika mereka tidak mendapatkannya, mereka akan mulai mencari di tempat lain.

Menurutnya job bubble bursts atau penggelembungan jabatan juga dapat menimbulkan rasa ketidaksetaraan di tempat kerja. Jika karyawan merasa bahwa rekan kerja mereka dihargai dibandingkan mereka. Hal ini menurutnya akan menurunkan moral karyawan dan mengundang konflik di tempat kerja.

“Penggelembungan jabatan sebenarnya dapat merusak kepuasan kerja Gen-Z saat ini, dan juga prospek perkembangan mereka di masa depan,” kata Janine.

Sementara bagi perusahaan, hal ini akan menyulitkan mereka untuk mengetahui siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas posisi  mereka dan benar-benar bisa bekerja sesuai perannya. Negatifnya ini menimbulkan inefisiensi yang berdampak negatif pada budaya organisasi.

Dengan mengetahui apa yang dibutuhkan untuk dalam tangga perusahaan, pekerja tingkat menengah dan junior dapat memahami tingkat keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mencapai posisi senior perusahaan. Dengan begitu mereka dapat mencapai jabatan tersebut dengan kerja keras dan dukungan manajemen.

Baca juga: Hypereport: Self Improvement Gen Z di Dunia Karier 2025

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Pelajaran dari Kesuksesan Fore Coffee, Inovasi dan Kualitas yang Tak Pernah Berhenti

BERIKUTNYA

Rayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru Bakal Dicetak Ulang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: