Cerita Pelaku Social Enterprise, Dari Daur Ulang hingga Pemberdayaan Difabel
09 January 2025 |
15:30 WIB
Di tengah persaingan bisnis yang semakin sengit, pelaku usaha kini tidak hanya dituntut untuk mencari keuntungan semata, tetapi juga memberikan dampak positif bagi lingkungan sosial dan masyarakat. Konsep bisnis sosial atau social enterprise kian populer.
Bisnis ini dianggap sebagai pelopor perubahan sosial dengan dampak nyata di tingkat lokal dan global. Berdasarkan laporan The Global State of Social Enterprise dari World Economic Forum, saat ini terdapat sekitar 10 juta perusahaan sosial di dunia yang menghasilkan pendapatan sebesar US$2 triliun per tahun—melebihi industri pakaian global.
Baca juga: Kisah Inspiratif Dama Kara dan Batik Paduka, Berdayakan Perajin dan Komunitas Difabel
Lebih dari itu, sektor ini telah menciptakan hampir 200 juta lapangan kerja, dengan tingkat inklusivitas gender yang mencolok, yaitu 50% usaha sosial dipimpin oleh perempuan, jauh melampaui perusahaan konvensional (20%).
Di Indonesia, semakin banyak bisnis lokal yang membuktikan bahwa social enterprise mampu mengatasi tantangan sosial dan lingkungan dengan solusi inovatif. Salah satunya adalah Liberty Society, yang didirikan oleh Tamara Gondo pada 2019. Perusahaan ini mengubah limbah korporat seperti plastik dan tekstil menjadi produk merchandise, dengan melibatkan perempuan prasejahtera sebagai tenaga kreatif.
“Liberty Society dibuat untuk memberdayakan perempuan prasejahtera agar memiliki harapan lagi,” ungkap Tamara, Co-founder dan CEO Liberty Society.
Selama hampir lima tahun, Liberty Society telah bekerja sama dengan lebih dari 100 perusahaan dan menerima dana hibah sebesar Rp8,2 miliar dari DBS Foundation pada 2023. Dana tersebut akan digunakan untuk melatih 200 perempuan prasejahtera, mendaur ulang 100 ton sampah, serta mendirikan fasilitas daur ulang baru.
Contoh lainnya adalah Dama Kara, bisnis batik lokal yang didirikan oleh Nurdini Prihastiti dan Bheben Oscar di tengah pandemi Covide-19 pada 2020. Dengan misi memberdayakan komunitas difabel, Dama Kara bekerja sama dengan yayasan seperti Our Dreams Indonesia dan Art Therapy Center Widyatama.
“Dama Kara percaya setiap individu, termasuk penyandang autisme dan tuna rungu, memiliki potensi besar,” ujar Nurdini. Melalui koleksi batik seperti Jalin dan Rona Bian, mereka memberikan royalti kepada seniman autis yang terlibat. Selain itu, Dama Kara memanfaatkan limbah kain untuk menciptakan produk ramah lingkungan, seperti kolaborasi dengan brand Cajsa yang mengubah sisa kain batik menjadi sepatu.
Kisah inspiratif lainnya datang dari Hijmuku, produsen helm anak yang didirikan oleh Ryan, seorang mantan teknisi smartphone. Melihat banyak anak kecil di desanya berkendara tanpa helm, Ryan memulai usaha ini pada 2016. Kini, Hijmuku melibatkan lebih dari 200 keluarga di Surabaya untuk membantu produksi helm, dengan kapasitas hingga 4.000 unit per hari.
“Berbisnis bukan hanya soal memperkaya diri, tapi juga bagaimana kita bisa menyediakan produk yang berguna sekaligus memberdayakan komunitas sekitar,” kata Ryan.
Hijmuku tidak hanya menghasilkan helm anak yang nyaman dan aman, tetapi juga memberikan pelatihan seperti manajemen waktu, efisiensi produksi, hingga pemasaran digital bagi mitra produksinya.
Baca juga: Tren Berjualan di Social Commerce Resmi Dilarang, Apa Dampaknya?
Editor: Dika Irawan
Bisnis ini dianggap sebagai pelopor perubahan sosial dengan dampak nyata di tingkat lokal dan global. Berdasarkan laporan The Global State of Social Enterprise dari World Economic Forum, saat ini terdapat sekitar 10 juta perusahaan sosial di dunia yang menghasilkan pendapatan sebesar US$2 triliun per tahun—melebihi industri pakaian global.
Baca juga: Kisah Inspiratif Dama Kara dan Batik Paduka, Berdayakan Perajin dan Komunitas Difabel
Lebih dari itu, sektor ini telah menciptakan hampir 200 juta lapangan kerja, dengan tingkat inklusivitas gender yang mencolok, yaitu 50% usaha sosial dipimpin oleh perempuan, jauh melampaui perusahaan konvensional (20%).
Liberty Society
Di Indonesia, semakin banyak bisnis lokal yang membuktikan bahwa social enterprise mampu mengatasi tantangan sosial dan lingkungan dengan solusi inovatif. Salah satunya adalah Liberty Society, yang didirikan oleh Tamara Gondo pada 2019. Perusahaan ini mengubah limbah korporat seperti plastik dan tekstil menjadi produk merchandise, dengan melibatkan perempuan prasejahtera sebagai tenaga kreatif. “Liberty Society dibuat untuk memberdayakan perempuan prasejahtera agar memiliki harapan lagi,” ungkap Tamara, Co-founder dan CEO Liberty Society.
Selama hampir lima tahun, Liberty Society telah bekerja sama dengan lebih dari 100 perusahaan dan menerima dana hibah sebesar Rp8,2 miliar dari DBS Foundation pada 2023. Dana tersebut akan digunakan untuk melatih 200 perempuan prasejahtera, mendaur ulang 100 ton sampah, serta mendirikan fasilitas daur ulang baru.
Dama Kara: Lebih dari Sekadar Batik
Contoh lainnya adalah Dama Kara, bisnis batik lokal yang didirikan oleh Nurdini Prihastiti dan Bheben Oscar di tengah pandemi Covide-19 pada 2020. Dengan misi memberdayakan komunitas difabel, Dama Kara bekerja sama dengan yayasan seperti Our Dreams Indonesia dan Art Therapy Center Widyatama. “Dama Kara percaya setiap individu, termasuk penyandang autisme dan tuna rungu, memiliki potensi besar,” ujar Nurdini. Melalui koleksi batik seperti Jalin dan Rona Bian, mereka memberikan royalti kepada seniman autis yang terlibat. Selain itu, Dama Kara memanfaatkan limbah kain untuk menciptakan produk ramah lingkungan, seperti kolaborasi dengan brand Cajsa yang mengubah sisa kain batik menjadi sepatu.
Hijmuku: Helm Anak yang Memberdayakan Komunitas
Kisah inspiratif lainnya datang dari Hijmuku, produsen helm anak yang didirikan oleh Ryan, seorang mantan teknisi smartphone. Melihat banyak anak kecil di desanya berkendara tanpa helm, Ryan memulai usaha ini pada 2016. Kini, Hijmuku melibatkan lebih dari 200 keluarga di Surabaya untuk membantu produksi helm, dengan kapasitas hingga 4.000 unit per hari. “Berbisnis bukan hanya soal memperkaya diri, tapi juga bagaimana kita bisa menyediakan produk yang berguna sekaligus memberdayakan komunitas sekitar,” kata Ryan.
Hijmuku tidak hanya menghasilkan helm anak yang nyaman dan aman, tetapi juga memberikan pelatihan seperti manajemen waktu, efisiensi produksi, hingga pemasaran digital bagi mitra produksinya.
Baca juga: Tren Berjualan di Social Commerce Resmi Dilarang, Apa Dampaknya?
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.