Cerita Komposer Cine Concert Samsara, Menyatukan Musik Tradisi dengan EDM dalam Film Bisu
14 December 2024 |
16:55 WIB
Cine concert Samsara, film terbaru dari sutradara Garin Nugroho kembali menyapa penikmat seni pertunjukan. Setelah menyambangi Esplanade Singapura, Indonesia Bertutur Bali, dan festival film JAFF, Yogyakarta, film bisu itu dimainkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 13-15 Desember 2024.
Awal bulan Desember lalu, Samsara juga berhasil menggondol penghargaan Festival Film Indonesia untuk kategori Penata Musik Terbaik dari dua komposernya, Wayan Sudirana dan Kasimyn. Bagi Genhype yang sudah menonton versi cine concert dan sinema film ini, scoring musik memang menjadi komponen penting dari film tersebut.
Baca juga: Cine Concert Samsara Siap Digelar 3 Hari di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki
Komposer Wayan Sudirana mengatakan, hadir dalam dua versi, film Samsara memang memberi tantangan berbeda dari scoring yang pernah digarap sebelumnya. Untuk versi cine concert misalnya, mereka harus mengkondisikan ruang dari setiap pertunjukan yang mereka gelar di berbagai daerah., baik di dalam dan luar negeri.
Sebagai contoh, saat mereka konser di Singapura di mana memiliki akustik yang baik, akan berbeda dengan saat ketika pentas ruang terbuka, yakni Indonesia Bertutur. Pengalaman berpindah lokasi itulah yang menurutnya menambah pengetahuan baru dalam memaksimalkan audio untuk mendukung jalannya pertunjukan dari film hitam-putih itu.
Terdiri dalam 6 babak, para musisi yang memainkan instrumen gamelan dan electronic dance music (EDM) juga memiliki ruang untuk berimprovisasi meski cukup terbatas. Artinya, mereka dapat saling mengisi celah komposisi nada untuk memberi impresi suara yang baru dari setiap pertunjukan meskipun tidak banyak waktu di dalamnya.
"Kalau dari segi komposisi karena dimainkan oleh manusia, jadinya akan tetap terus berbeda pada saat pementasan walaupun kita menggunakan skoring. Namun, tentu saja ada penyesuaian, sebab manusia tidak akan bisa ajeg dalam memainkan tempo nada," katanya saat gladi resik di GBB, TIM, Jumat (13/12/24).
Sementara itu, Kasimyn mengatakan pihaknya juga harus menyiapkan audio engineering dari Bali yang dapat menyetem (menyesuaikan nada) dari setiap gamelan yang mereka bawa. Sebab, tidak semua musisi memahami titilaras Gamelan Semarandana, Bali yang memiliki sistem 5 nada Gong Kebyar dan 7 nada Semar Pegulingan.
Dari segi pengerjaan musik, salah satu penggawa grup musik Gabber Modus Operandi itu mengungkap, tantangan lain dari cine concert Samsara adalah menerjemahkan keinginan sutradara dengan cara yang sangkil. Sebab, saat membuat sampel musik, kedua komposer asal Bali itu hanya berangkat dari naskah, alias sebelum filmnya dibuat.
"Kalau secara pribadi saya melihat Samsara itu bukan film bisu atau sejarah. Melainkan justru dilihat dari era 1930-an itu musik elektronik itu bercabang ke arah mana? Dengan tonal-tonal tradisi akan seperti apa? Itu yang kami buat, dengan pendekatan sci-fi, di mana mistisisme adalah karya fiksi di ranah bunyi," imbuhnya.
Tantangan lain dari proses ini menurut Wayan Sudirana adalah kedua komposer harus jeli dalam menggabungkan antara yang tradisi dan yang modern. Saat membuat sampel musik untuk adegan koreografi, misalnya. Sudirana harus membuat skoring dari awal, sementara Kasymin dari bagian akhir. Saat bertemu di tengah, mereka lalu menyatukan komposisi tersebut, dan melanjutkan kembali apa yang dimulai dari awal.
Etnomusikologi lulusan University of British Columbia, Kanada itu menjelaskan terdapat 3 sinkronisasi dalam komposisi yang mereka buat. Di antaranya adalah pemain gamelan yang memiliki 'rasa', vokalis yang terdiri 4 orang, dan EDM yang dikendalikan oleh manusia, akan tetapi terdiri dari perangkat komputer, serta unsur film bisu yang tidak bisa ditawar lagi timing adegannya.
"Sinkronisasi inilah challenge-nya. Bagaimana semua unsur tadi dapat selaras, padahal penyanyinya tidak dapat melihat qiu [kode] dari pemain gamelan. Para nayaga yang tidak bisa melihat adegan film, dan pemain EDM yang berada di samping layar, sehingga membuat susah berkomunikasi," imbuhnya.
Samsara merupakan film ketiga expanded dari Garin Nugroho setelah menelurkan Opera Jawa (2006) dan Setan Jawa (2016). Film ini berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Busana Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2024.
Samsara mengambil setting tempat di Bali di tahun 30-an, bercerita tentang seorang pria dari keluarga miskin yang ditolak lamarannya oleh orang tua kaya dari perempuan yang dicintainya. Dia melakukan perjanjian gaib dengan Raja Monyet dan melakukan ritual gelap untuk mendapatkan kekayaan.
Namun, dalam prosesnya, ritual tersebut justru mengutuk istri dan anaknya hingga menderita. Samsara menampilkan banyak elemen pertunjukan tradisional Bali seperti orkestra gamelan, tari tradisional, topeng, dan wayang yang dipadukan dengan musik elektronik digital serta tari dan topeng kontemporer.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Awal bulan Desember lalu, Samsara juga berhasil menggondol penghargaan Festival Film Indonesia untuk kategori Penata Musik Terbaik dari dua komposernya, Wayan Sudirana dan Kasimyn. Bagi Genhype yang sudah menonton versi cine concert dan sinema film ini, scoring musik memang menjadi komponen penting dari film tersebut.
Baca juga: Cine Concert Samsara Siap Digelar 3 Hari di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki
Komposer Wayan Sudirana mengatakan, hadir dalam dua versi, film Samsara memang memberi tantangan berbeda dari scoring yang pernah digarap sebelumnya. Untuk versi cine concert misalnya, mereka harus mengkondisikan ruang dari setiap pertunjukan yang mereka gelar di berbagai daerah., baik di dalam dan luar negeri.
Sebagai contoh, saat mereka konser di Singapura di mana memiliki akustik yang baik, akan berbeda dengan saat ketika pentas ruang terbuka, yakni Indonesia Bertutur. Pengalaman berpindah lokasi itulah yang menurutnya menambah pengetahuan baru dalam memaksimalkan audio untuk mendukung jalannya pertunjukan dari film hitam-putih itu.
Terdiri dalam 6 babak, para musisi yang memainkan instrumen gamelan dan electronic dance music (EDM) juga memiliki ruang untuk berimprovisasi meski cukup terbatas. Artinya, mereka dapat saling mengisi celah komposisi nada untuk memberi impresi suara yang baru dari setiap pertunjukan meskipun tidak banyak waktu di dalamnya.
"Kalau dari segi komposisi karena dimainkan oleh manusia, jadinya akan tetap terus berbeda pada saat pementasan walaupun kita menggunakan skoring. Namun, tentu saja ada penyesuaian, sebab manusia tidak akan bisa ajeg dalam memainkan tempo nada," katanya saat gladi resik di GBB, TIM, Jumat (13/12/24).
Sementara itu, Kasimyn mengatakan pihaknya juga harus menyiapkan audio engineering dari Bali yang dapat menyetem (menyesuaikan nada) dari setiap gamelan yang mereka bawa. Sebab, tidak semua musisi memahami titilaras Gamelan Semarandana, Bali yang memiliki sistem 5 nada Gong Kebyar dan 7 nada Semar Pegulingan.
Dari segi pengerjaan musik, salah satu penggawa grup musik Gabber Modus Operandi itu mengungkap, tantangan lain dari cine concert Samsara adalah menerjemahkan keinginan sutradara dengan cara yang sangkil. Sebab, saat membuat sampel musik, kedua komposer asal Bali itu hanya berangkat dari naskah, alias sebelum filmnya dibuat.
"Kalau secara pribadi saya melihat Samsara itu bukan film bisu atau sejarah. Melainkan justru dilihat dari era 1930-an itu musik elektronik itu bercabang ke arah mana? Dengan tonal-tonal tradisi akan seperti apa? Itu yang kami buat, dengan pendekatan sci-fi, di mana mistisisme adalah karya fiksi di ranah bunyi," imbuhnya.
Seorang violinist memainkan biola dalam acara gladi bersih Cine-Concert Samsara, di GBB, TIM, Jakarta, Jumat, (13/12/24). (Sumber gambar: Bakti Budaya Djarum Foundation)
Tantangan lain dari proses ini menurut Wayan Sudirana adalah kedua komposer harus jeli dalam menggabungkan antara yang tradisi dan yang modern. Saat membuat sampel musik untuk adegan koreografi, misalnya. Sudirana harus membuat skoring dari awal, sementara Kasymin dari bagian akhir. Saat bertemu di tengah, mereka lalu menyatukan komposisi tersebut, dan melanjutkan kembali apa yang dimulai dari awal.
Etnomusikologi lulusan University of British Columbia, Kanada itu menjelaskan terdapat 3 sinkronisasi dalam komposisi yang mereka buat. Di antaranya adalah pemain gamelan yang memiliki 'rasa', vokalis yang terdiri 4 orang, dan EDM yang dikendalikan oleh manusia, akan tetapi terdiri dari perangkat komputer, serta unsur film bisu yang tidak bisa ditawar lagi timing adegannya.
"Sinkronisasi inilah challenge-nya. Bagaimana semua unsur tadi dapat selaras, padahal penyanyinya tidak dapat melihat qiu [kode] dari pemain gamelan. Para nayaga yang tidak bisa melihat adegan film, dan pemain EDM yang berada di samping layar, sehingga membuat susah berkomunikasi," imbuhnya.
Samsara merupakan film ketiga expanded dari Garin Nugroho setelah menelurkan Opera Jawa (2006) dan Setan Jawa (2016). Film ini berhasil meraih Piala Citra untuk kategori Sutradara Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Busana Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2024.
Samsara mengambil setting tempat di Bali di tahun 30-an, bercerita tentang seorang pria dari keluarga miskin yang ditolak lamarannya oleh orang tua kaya dari perempuan yang dicintainya. Dia melakukan perjanjian gaib dengan Raja Monyet dan melakukan ritual gelap untuk mendapatkan kekayaan.
Namun, dalam prosesnya, ritual tersebut justru mengutuk istri dan anaknya hingga menderita. Samsara menampilkan banyak elemen pertunjukan tradisional Bali seperti orkestra gamelan, tari tradisional, topeng, dan wayang yang dipadukan dengan musik elektronik digital serta tari dan topeng kontemporer.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.