Profil Heriawan Siauw, Perupa Abstrak dengan Tradisi Taoisme
04 December 2024 |
21:00 WIB
Nama perupa Heriawan Siauw dalam dunia seni rupa Indonesia mungkin belum begitu populer. Pasalnya, perupa asal Muara Enim, Sumatera Selatan itu hanya sesekali menggelar pameran, baik tunggal atau bersama dengan seniman lain di Tanah Air dalam satu dekade terakhir.
Namun, perupa jangkung itu, belakangan kembali mencuri perhatian sejumlah kolektor seni. Sebab, setelah lebih dari satu dekade tidak muncul ke publik, Heriawan Siauw kembali turun gunung untuk memamerkan puluhan karyanya di Neo Gallery, Jakarta.
Baca juga: Menapaki Perjalanan Spiritualitas Kristus dalam Pameran The Holy Journey Seniman Sasya Tranggono
Bukan tanpa alasan Heriawan, lama tidak berpameran. Sebab, dia mengaku juga ingin kembali mementahkan teknik melukis. Meditasi menjadi salah satu pola yang digunakan untuk memulai praktik tersebut, hingga akhirnya puluhan karya kembali terkumpul.
Dalam pameran bertajuk Meditation itu, Heriawan menampilkan 30 karya abstrak yang muncul dari eksplorasi mendalamnya terhadap praktik meditasi. Senarai karya ini merupakan manifestasi perjalanan kontemplatif dan refleksinya terhadap hidup pasca Covid-19 melanda dunia.
"Kalau dulu saya menggambar berpikir mau mengarah corak artistik seperti apa, sekarang saya mengosongkan pikiran. Saat mulai menggores, saya belum ada figur, atau mau menggambar apa? Jadi saya lepaskan saja intervensi dari alam pikiran saya sendiri," katanya belum lama ini kepada Hypeabis.id.
Salah satu karya unik Heriawan dalam fase ini adalah lukisan bertajuk Circle of Life (acrylic on canvas, 200x200 cm, 2019). Sepintas, karya ini menggambarkan garis-garis siklus kehidupan yang meruyak dari berbagai arah. Sebuah sangkan paran atau dari dan menuju ke mana hidup berakhir.
Karya bertajuk Natural Shadow lain lagi. Lukisan yang terdiri dari dua panel itu sangatlah kontras. Pada kanvas pertama, sang seniman seperti sedang mengabstraksikan hamparan kelimun manusia, atau mungkin pepohonan. Namun, pada kanvas kedua, goresan-goresannya tampak lebih merapat, dengan tekstur yang lebih kasar.
"Diptych ini sebenarnya satu karya, karena ukurannya terlalu besar, sekitar 7 meter, akhirnya saya belah menjadi dua. Ini sengaja saya pisahin menjadi dua karya dengan spanram yang berbeda, meskipun itu sebenarnya masih satu karya," imbuhnya.
Kurator Jean Couteau dalam kuratorialnya mengatakan, lukisan-lukisan Heriawan memang jauh dari sifat intelektual dan konstruksi abstrak geometris. Alih-alih mengatur representasi visual, atau membiarkan bentuk dan warna menyusun realitas puitisnya sendiri, sang seniman justru membiarkan warna seperti apa adanya.
Autentisitas ala Heriawan adalah tidak adanya ekspresi pribadi. Bahkan, sang seniman seolah menolak mengungkapkan jati diri, serta melepaskan perannya sebagai seniman. "Heriawan tidak berada di luar apa yang ingin dia wakili—atau lebih tepatnya, seolah-olah dia hanya bagian yang tidak penting dari apa yang ingin dia wakili," katanya.
Heriawan Siauw adalah seorang seniman kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan latar belakang Sino-Indonesia. Seniman berambut gondrong itu, adalah perupa jebolan Universitas Trisakti bidang Desain Interior. Kendati begitu, dia mengaku passionnya memang berada di seni rupa.
Lahir sebagai peranakan China, tak ayal memberinya latar belakang budaya ganda pada Heriawan. Saat masih kecil, dia juga bersekolah di sekolah Tionghoa, di mana Heriawan belajar bahasa Mandarin dan mempelajari dasar-dasar penulisan karakter Tionghoa, yang kelak juga memengaruhi gaya melukisnya.
"Saya banyak belajar dari ayah saya ketika dia menulis. Saat itu saya masih kelas 2 SD, ini sangat memengaruhi perjalanan saya terhadap pemikiran dan filsafat konfusianisme," tutur Heriawan
Namun, saat Heriawan mendalami pengetahuan bahasa dan tuli Tionghoa, tragedi 1965 pecah. Tangannya yang dilatih untuk menciptakan bentuk-bentuk karakter dalam menulis syair-syair Mandarin, sontak terhenti. Walakin memori-memori tersebut masih mengendap di kepala dan sensor motoriknya.
Sejarah gelap inilah yang menurut Jean Couteau memberi cukup banyak pengaruh bagi sang seniman. Sebab, kala itu masyarakat Tionghoa Indonesia tidak hanya menghadapi prasangka, tetapi juga ancaman fisik, sehingga pengalaman traumatis tersebut tanpa disadari meninggalkan bekas dalam jiwa Heriawan.
Menurut Jean Couteau, pengaruh tersebut tampak jelas dalam karya-karyanya yang didominasi abstrak. Kendati begitu, alih-alih mengejar realitas visual, Heriawan justru mengejar sesuatu yang lain. Yaitu dengan melepaskan semua kendali, membiarkan bentuk, warna, dan kombinasi tersembunyi yang menghuni jiwanya.
"Kita tidak boleh mengabaikan pengaruh budaya Tiongkok pada jiwa Heriawan. Jauh di dalam budaya Tiongkok terdapat tradisi Konfusianisme, yang mengajarkan konservatisme sosial—menerima otoritas, menghormati orang yang lebih tua, dan mematuhi sistem politik yang ada," katanya.
Baca juga: Merefleksikan Pemikiran Sastrawan Kritis Era Kiwari di Pameran 100 Tahun AA Navis
Di samping taoisme, terdapat juga tradisi konfusianisme yang banyak memengaruhi corak abstrak Heriawan. Misalnya dalam karya bertajuk Love is Not about Right or Wrong, Autumnal, Battle, atau Cultural Heritage, yang memiliki corak tradisi lukis ala Jackson Pollock.
Tradisi inilah yang menurut Jean Couteau membuat sang seniman memandang manusia bukan sebagai lawan dari alam, akan tetapi sebagai bagian darinya. Oleh karenanya dalam senarai lukisan tersebut, Heriawan berupaya mendalami harmoni dengan tatanan alam, yang akhirnya menyatu dengan harmoni alam.
"Sebagai seorang pelukis, Heriawan tenggelam dalam tradisi dan kebijaksanaan Tiongkok. Sementara satu bagian dari tradisi ini mendorongnya untuk menerima realitas sosial, bagian lain, yang dipengaruhi oleh Taoisme," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Namun, perupa jangkung itu, belakangan kembali mencuri perhatian sejumlah kolektor seni. Sebab, setelah lebih dari satu dekade tidak muncul ke publik, Heriawan Siauw kembali turun gunung untuk memamerkan puluhan karyanya di Neo Gallery, Jakarta.
Baca juga: Menapaki Perjalanan Spiritualitas Kristus dalam Pameran The Holy Journey Seniman Sasya Tranggono
Bukan tanpa alasan Heriawan, lama tidak berpameran. Sebab, dia mengaku juga ingin kembali mementahkan teknik melukis. Meditasi menjadi salah satu pola yang digunakan untuk memulai praktik tersebut, hingga akhirnya puluhan karya kembali terkumpul.
Dalam pameran bertajuk Meditation itu, Heriawan menampilkan 30 karya abstrak yang muncul dari eksplorasi mendalamnya terhadap praktik meditasi. Senarai karya ini merupakan manifestasi perjalanan kontemplatif dan refleksinya terhadap hidup pasca Covid-19 melanda dunia.
"Kalau dulu saya menggambar berpikir mau mengarah corak artistik seperti apa, sekarang saya mengosongkan pikiran. Saat mulai menggores, saya belum ada figur, atau mau menggambar apa? Jadi saya lepaskan saja intervensi dari alam pikiran saya sendiri," katanya belum lama ini kepada Hypeabis.id.
Heriawan Siauw (sumber gambar: Neo Gallery)
Salah satu karya unik Heriawan dalam fase ini adalah lukisan bertajuk Circle of Life (acrylic on canvas, 200x200 cm, 2019). Sepintas, karya ini menggambarkan garis-garis siklus kehidupan yang meruyak dari berbagai arah. Sebuah sangkan paran atau dari dan menuju ke mana hidup berakhir.
Karya bertajuk Natural Shadow lain lagi. Lukisan yang terdiri dari dua panel itu sangatlah kontras. Pada kanvas pertama, sang seniman seperti sedang mengabstraksikan hamparan kelimun manusia, atau mungkin pepohonan. Namun, pada kanvas kedua, goresan-goresannya tampak lebih merapat, dengan tekstur yang lebih kasar.
"Diptych ini sebenarnya satu karya, karena ukurannya terlalu besar, sekitar 7 meter, akhirnya saya belah menjadi dua. Ini sengaja saya pisahin menjadi dua karya dengan spanram yang berbeda, meskipun itu sebenarnya masih satu karya," imbuhnya.
Kurator Jean Couteau dalam kuratorialnya mengatakan, lukisan-lukisan Heriawan memang jauh dari sifat intelektual dan konstruksi abstrak geometris. Alih-alih mengatur representasi visual, atau membiarkan bentuk dan warna menyusun realitas puitisnya sendiri, sang seniman justru membiarkan warna seperti apa adanya.
Autentisitas ala Heriawan adalah tidak adanya ekspresi pribadi. Bahkan, sang seniman seolah menolak mengungkapkan jati diri, serta melepaskan perannya sebagai seniman. "Heriawan tidak berada di luar apa yang ingin dia wakili—atau lebih tepatnya, seolah-olah dia hanya bagian yang tidak penting dari apa yang ingin dia wakili," katanya.
Tragedi & Tradisi Taoisme
Heriawan Siauw adalah seorang seniman kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan latar belakang Sino-Indonesia. Seniman berambut gondrong itu, adalah perupa jebolan Universitas Trisakti bidang Desain Interior. Kendati begitu, dia mengaku passionnya memang berada di seni rupa.Lahir sebagai peranakan China, tak ayal memberinya latar belakang budaya ganda pada Heriawan. Saat masih kecil, dia juga bersekolah di sekolah Tionghoa, di mana Heriawan belajar bahasa Mandarin dan mempelajari dasar-dasar penulisan karakter Tionghoa, yang kelak juga memengaruhi gaya melukisnya.
"Saya banyak belajar dari ayah saya ketika dia menulis. Saat itu saya masih kelas 2 SD, ini sangat memengaruhi perjalanan saya terhadap pemikiran dan filsafat konfusianisme," tutur Heriawan
Namun, saat Heriawan mendalami pengetahuan bahasa dan tuli Tionghoa, tragedi 1965 pecah. Tangannya yang dilatih untuk menciptakan bentuk-bentuk karakter dalam menulis syair-syair Mandarin, sontak terhenti. Walakin memori-memori tersebut masih mengendap di kepala dan sensor motoriknya.
Sejarah gelap inilah yang menurut Jean Couteau memberi cukup banyak pengaruh bagi sang seniman. Sebab, kala itu masyarakat Tionghoa Indonesia tidak hanya menghadapi prasangka, tetapi juga ancaman fisik, sehingga pengalaman traumatis tersebut tanpa disadari meninggalkan bekas dalam jiwa Heriawan.
Salah satu karya Heriawan Siauw (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Menurut Jean Couteau, pengaruh tersebut tampak jelas dalam karya-karyanya yang didominasi abstrak. Kendati begitu, alih-alih mengejar realitas visual, Heriawan justru mengejar sesuatu yang lain. Yaitu dengan melepaskan semua kendali, membiarkan bentuk, warna, dan kombinasi tersembunyi yang menghuni jiwanya.
"Kita tidak boleh mengabaikan pengaruh budaya Tiongkok pada jiwa Heriawan. Jauh di dalam budaya Tiongkok terdapat tradisi Konfusianisme, yang mengajarkan konservatisme sosial—menerima otoritas, menghormati orang yang lebih tua, dan mematuhi sistem politik yang ada," katanya.
Baca juga: Merefleksikan Pemikiran Sastrawan Kritis Era Kiwari di Pameran 100 Tahun AA Navis
Di samping taoisme, terdapat juga tradisi konfusianisme yang banyak memengaruhi corak abstrak Heriawan. Misalnya dalam karya bertajuk Love is Not about Right or Wrong, Autumnal, Battle, atau Cultural Heritage, yang memiliki corak tradisi lukis ala Jackson Pollock.
Tradisi inilah yang menurut Jean Couteau membuat sang seniman memandang manusia bukan sebagai lawan dari alam, akan tetapi sebagai bagian darinya. Oleh karenanya dalam senarai lukisan tersebut, Heriawan berupaya mendalami harmoni dengan tatanan alam, yang akhirnya menyatu dengan harmoni alam.
"Sebagai seorang pelukis, Heriawan tenggelam dalam tradisi dan kebijaksanaan Tiongkok. Sementara satu bagian dari tradisi ini mendorongnya untuk menerima realitas sosial, bagian lain, yang dipengaruhi oleh Taoisme," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.