Sejumlah pengunjung menikmati karya di pameren BAAA #5 Galeri Nasional Jakarta (sumber gambar Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)

Dinamika Basoeki Abdullah Art Award: dari Kompetisi Seni Lukis hingga Instalasi

25 November 2024   |   16:30 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Ada yang berbeda dengan Basoeki Abdullah Art Award (BAAA) #5. Ajang seni rupa itu, kini tidak lagi hanya melombakan seni lukis. Memasuki usianya yang ke-5, BAAA akhirnya melebarkan jangkauannya ke seni rupa kontemporer, baik instalasi dan video dalam tajuk Conversations with No Things.

BAAA #5 dihelat di Galeri Nasional Indonesia, pada 22 November hingga 8 Desember 2024. Besarnya hadiah dan kelenturan syarat, membuat peserta berpartisipasi meningkat drastis, dari 175 proposal pada 2022, kini melonjak jadi 1.075 proposal.

Baca juga: Puluhan Karya Pemenang Basoeki Abdullah Art Award Bakal Dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia

Kurator Mikke Susanto mengatakan, setelah urun rembug dengan Museum Basoeki Abdullah, tahun ini memang meniadakan batasan topik dan bentuk karya seni. Para peserta juga tidak wajib untuk mempertautkan karya mereka dengan keberadaan sang maestro.

Dari 1.075 proposal, Mikke dan dewan juri yang lain, yakni Alia Swastika, Amalia Wirjono, Ricky Pesik, dan Wiyu Wahono, lalu menyeleksi karya yang masuk. Arkian, terkurasilah 29 karya pemenang, di mana 5 di antaranya berhak mendapatkan hadiah Rp100 juta.
 
 

Peserta pemenang berasal dari 29 provinsi dari total 38 provinsi di Indonesia. Dari segi gender, jumlah kepesertaan masih didominasi perupa laki-laki, dengan perbandingan 684 seniman pria, dan 391 seniman perempuan. Sejumlah seniman ada juga yang mengirim karya dari luar negeri.

Ke-29 seniman tersebut adalah Adi Gunawan, Ahmad Fauzan Azima, Amy Rahmadhita, Audya Amalia, Benny Widyo, Betiq Laiqa Fatiha, Catur Agung Nugroho, Chakra Narasangga, Chrisna Femand, Desy Febrianti, Erzhal umamit, Evi Pangestu, Fatih Jagad Raya, dan I Gede Sukarya.

Kemudian Lejar Daniartana Hukubun, M. Hafiz Maha, Muhammad Aqil Najih Reza, Muhammad Saviq Hibatulbaqi, Nurrachmat Widyasena, Oberlan Luna, TEMPA, Wildan Indra Sugara, Yeni Ulfah, dan Zakaria Pangaribuan.
 
Adapun yang terpilih sebagai finalis adalah Agnes Hansella, Angela Sunaryo, Asmoadji, Suvi Wahyudianto, dan Syaura Qotrunadha. Seluruh peserta mayoritas mengeksplorasi tema keterasingan, kesehatan mental, interaksi manusia-teknologi, dan isu lingkungan.

"Dari karya-karya para finalis termaknai bahwa seni visual Indonesia saat ini tengah dilanda ragam percakapan yang mengusik keberadaan kita sebagai manusia. Karena setiap orang maupun sesuatu [atau bukan sesuatu], berhak untuk dipahami," kata Mikke.


Ketimpangan & Tragedi

Memasuki Galeri Nasional, mata publik akan bertabrakan dengan ragam karya, 2 hingga 3 dimensi. Salah satunya lewat karya Asmoadji, Bercermin pada Sekitar, yang menggambarkan ketimpangan sosial manusia urban. Perupa otodidak itu, menghamparkan instalasi kontrasitas pemukiman penduduk.

Namun, berbeda dari seri karya-karya sebelumnya, Asmo menggunakan pasir silika, alih-alih tanah liat, sebagai bidang karyanya. Lain dari itu, sang seniman juga menggunakan cermin, yang berbentuk gedung tinggi, untuk merefleksikan pemukiman-pemukiman kumuh di bawahnya.

Penggunaan media pasir siliak juga memberi pertanyaan baru. Apakah ini semacam bentuk protes sang seniman mengenai konflik lahan yang mulai meruyak ke pesisir. Realitas tersebut tak bisa dilepaskan dari pembukaan kembali keran ekspor pasir laut pada pemerintahan Jokowi.

"Pembangunan saat ini akan semakin masif, bahkan di pinggir laut. Cermin berfungsi sebagai refleksi yang mengganggu [pemandangan] dari orang-orang yang hidup di atas gedung," kata seniman asal Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu.
 

agag

 

Pengunjung menikmati arsip video dokumenter Suvi Wahyudianto dalam karya Billboard Tak Berwarna dan Utopia Pasca Ingatan,di pameren BAAA #5 Galeri Nasional Jakarta  (sumber gambar Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)


Suvi Wahyudianto, lain lagi. Memboyong karya Billboard Tak Berwarna dan Utopia Pasca Ingatan (dokumenter performance), seniman asal Madura itu membuat manifesto untuk melakukan rekonsiliasi terkait tragedi Sambas (1999) antara suku Madura dan Dayak yang menewaskan 1.189 orang.

Karya ini merupakan seri lanjutan Suvi saat melakukan napak tilas di Kalimantan Barat, beberapa tahun silam. Bersama Aloysius Siasyu,  mereka mencoba menjawab hantu ketakutan traumatisnya sebagai keturunan dari suku yang yang sempat berseteru, lewat rekaman yang dipasang di billboard.

Menurut Suvi, karya billboard tersebut mencoba menanggung beban makna dalam sebuah potret yang menempel pada keduanya, sekaligus merespon pengalaman dengan pendekatan melankolis. "Karya ini secara estetika juga untuk merespons pengalaman yang pedih, yang tidak bisa tuntas diselesaikan secara hukum dan politik," tulisnya.


Alienasi & Ketakutan

Sekelumit kisah tentang keterasingan juga diungkai oleh perupa Angela Sunaryo, lewat karya Kerokan. Angela merupakan mahasiswa yang baru pulang menempuh pendidikan di Ceko. Momen saat menjadi diaspora inilah yang membuatnya memandang secara berbeda Tanah Air kelahirannya, Indonesia.

Lewat kerokan, Angela, mencoba memfragmentasi identitas dirinya yang 'tercerabut' dengan membuat video performance. Sang seniman juga menafsirkan ulang 'ritual' tersebut, dengan menggores kulit untuk mengeluarkan angin sebagai metafora untuk isolasi sosial dan emosional.

"Selama 6 bulan di Ceko, entah kenapa saat melihat Indonesia dari kejauhan saya memiliki perspektif yang berbeda pada Tanah Air. Lain dari itu, karena di sana dingin, saya juga kangen kerokan. Namun, dalam karya ini konteksnya lain, karena bukan hanya kesembuhan fisik, melainkan juga batin," katanya.
 

ahah

Pengunjung menikmati arsip video Kerokan karya Angela Sunaryo di pameren BAAA #5 Galeri Nasional Jakarta  (sumber gambar Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)
 

Isu tentang ketakutan juga dibedah oleh Agnes Hansella, lewat karya First of the Gang. Yaitu dengan memvisualkan bentuk virus dan mikroorganisme dalam dunia macrame yang dibuat dengan tali. Agnes juga menyusun visual berdasarkan imajinasinya di mana virus-virus tersebut dihadirkan laiknya storyboard film.

Baca juga: Basoeki Abdullah Art Award #5, Apresiasi Karya Seniman Muda

"Teknik makrame itu sebenarnya mirip ikat pramuka, di mana dalam karya ini saya meminjam bentuk-bentuk virus dan mikroorganisme. Karya ini terinspirasi dari seorang scientist bernama Elizabeth Fischer yang bekerja di balik foto-foto virus Corona," katanya

Satu karya lain yang tak kalah unik adalah Alterasi Kisah Sang Pengelana, dari Syaura Qotrunadha. Yaitu dengan menampilkan video tiga saluran dari berbagai arsip rekaman lama studio Lokananta yang jarang diketahui publik, khususnya lagu-lagu daerah seperti Sin Sin So (Tapanuli), Rambang (Makassar), dan Dajung Sampan (Banten). 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Cerita Rachel Vennya Debut Bintangi Horor dalam Film Hutang Nyawa

BERIKUTNYA

Vendor PC Khawatir Pasar Komputer Lesu jika PPN Naik

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: