Fenomena Konser Batal di Indonesia, YLKI Catat Kenaikan Keluhan Konsumen Setahun Terakhir
20 November 2024 |
14:38 WIB
Sejumlah konser musik yang batal digelar telah menjadi fenomena yang tengah jadi sorotan di Indonesia. Yang paling segar misalnya, konser solois wanita asal Inggris, Dua Lipa, yang sedianya digelar di Indonesia Arena, Senayan, Jakarta pada 9 November 2024 lalu, batal digelar.
Selain Dua Lipa, konser Super Diva yang menggabungkan 3 Diva (Kris Dayanti, Ruth Sahanaya, Titi DJ) dan Super Girls (Lyodra, Tiara Andini, Ziva Magnolya) yang harusnya dijadwalkan pada Sabtu, 2 November 2024, juga mendadak ditunda sampai 17 Januari 2025.
Kemudian, gelaran NEVAEVA! Festival 2024, sebuah festival musik Korea yang rencananya mendatangkan 10 artis, juga gagal digelar pada 2 November 2024.
Baca juga: BPKN: Aduan Konser Gagal di Indonesia Tembus 200 Laporan dalam 2 Bulan Terakhir
Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo mengatakan pengaduan konsumen terhadap komoditas konser yang gagal atau bermasalah bukanlah hal baru. Isu ini sebenarnya telah mulai banyak jadi perhatian sejak setahun ke belakang.
Rio menyebut dalam satu tahun ini, pengaduan konsumen terhadap konser musik makin masif. Menurutnya, hal ini terjadi karena hingga sekarang pemerintah belum membuat regulasi yang jelas dan khusus terkait perlindungan konsumen terhadap komoditas konser.
Dengan makin banyak aduan, Rio melihat saat ini sudah muncul urgensi untuk membuat aturan penyelenggaraan konser yang lebih terstruktur. Tidak hanya soal keamanan saja, tetapi juga perlindungan terhadap konsumen jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai rencana.
“Sejauh ini, pengaduan tentang konser banyak terfokus di Jabodetabek. Kamis lalu, ada yang mengadukan terkait konser dan dia mewakili 900 konsumen,” ungkap Rio kepada Hypeabis.id.
Menurutnya, keluhan konsumen terkait konser ini punya permasalahan yang berbeda-beda. Namun, ada tiga besar yang biasanya jadi masalah utama. Pertama, perihal perubahan venue musik.
Meski tampak sepele, Rio menyebut perubahan venue musik sebenarnya juga dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Hal ini karena akses transportasi menjadi berubah, selain itu pola tempat duduk juga berpotensi tidak sama.
Terkait aduan ini, Rio menuturkan para konsumen biasanya banyak mengeluh karena tempat duduk di kelas tiket yang dibelinya menjadi tidak sesuai harapan, karena lebih jauh dari saat masih di venue lama.
Kedua adalah pembatalan konser. Menurut Rio, aduan terkait konser yang batal jumlahnya cukup banyak. Hal ini tentu saja merugikan konsumen, terlebih jika pembatalannya dilakukan hanya beberapa jam atau hari jelang konser berlangsung.
Ketiga adalah mekanisme refund. YLKI mencatat ada beberapa permasalahan refund tiket konser batal yang belum memiliki mekanisme jelas. Hal ini membuat proses pembayarannya menjadi berjalan lama.
Selain itu, hitung-hitungan pengembalian dana juga terkadang jadi masalah lain yang pelik. Menurut Rio, jika konser benar-benar batal, seharusnya uang yang dikembalikan ke konsumen itu adalah 100 persen alias sesuai dengan harga tiket yang dibeli.
Dalam hukum, ada istilah wanprestasi, yakni keadaan ketika salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi kewajiban atau prestasinya. Pembatalan acara termasuk wanprestasi dan biasanya untuk menanggulanginya perlu ada ganti rugi.
“Jadi, semestinya konsumen itu mendapatkan 100 persen ganti rugi dan masih mendapatkan kompensasi atau ganti rugi. Itu dua hal berbeda. Akan tetapi, kenyataannya, banyak yang justru tidak mendapat ganti rugi 100 persen karena dipotong,” imbuhnya.
Selain itu, biasanya dalam pengembalian tiket dalam bentuk lain, seperti voucher. Menurut Rio, hal tersebut sebenarnya berpotensi melanggar hak konsumen.
YLKI pun mendorong pemerintah untuk lebih serius dan membentuk instrumen hukum terkait aturan penyelenggaraan konser. Dalam aturan itu, menurutnya, perlu ada penanggung jawab tunggal yang lebih tinggi, apakah itu masuk ke ranah Kementerian Pariwisata atau Kementerian Ekonomi Kreatif atau Kepolisian.
Kemudian, pihaknya juga mendorong pengawasan di lapangan lebih diperketat. Tidak hanya soal mekanismenya saja, tetapi juga pelaku usaha. Sebab, ada beberapa penyelenggara konser yang EO-nya berasal dari luar negeri. Hal ini tentu akan menyulitkan jika terjadi pengaduan keluhan dan penyelesaiannya.
“Pengawasannya perlu menyeluruh, dari sebelum, pelaksanaan, sampai paska. Hal-hal dasar kayak penjualan tiket, batas ambang atas harga, sampai emergency call, itu juga hal-hal penting untuk diperjelas,” harapnya.
Baca juga: Ketua APMI Dino Hamid Soroti Dukungan Pemerintah Terkait Insiden Konser Musik Batal
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Selain Dua Lipa, konser Super Diva yang menggabungkan 3 Diva (Kris Dayanti, Ruth Sahanaya, Titi DJ) dan Super Girls (Lyodra, Tiara Andini, Ziva Magnolya) yang harusnya dijadwalkan pada Sabtu, 2 November 2024, juga mendadak ditunda sampai 17 Januari 2025.
Kemudian, gelaran NEVAEVA! Festival 2024, sebuah festival musik Korea yang rencananya mendatangkan 10 artis, juga gagal digelar pada 2 November 2024.
Baca juga: BPKN: Aduan Konser Gagal di Indonesia Tembus 200 Laporan dalam 2 Bulan Terakhir
Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo mengatakan pengaduan konsumen terhadap komoditas konser yang gagal atau bermasalah bukanlah hal baru. Isu ini sebenarnya telah mulai banyak jadi perhatian sejak setahun ke belakang.
Rio menyebut dalam satu tahun ini, pengaduan konsumen terhadap konser musik makin masif. Menurutnya, hal ini terjadi karena hingga sekarang pemerintah belum membuat regulasi yang jelas dan khusus terkait perlindungan konsumen terhadap komoditas konser.
Dengan makin banyak aduan, Rio melihat saat ini sudah muncul urgensi untuk membuat aturan penyelenggaraan konser yang lebih terstruktur. Tidak hanya soal keamanan saja, tetapi juga perlindungan terhadap konsumen jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai rencana.
“Sejauh ini, pengaduan tentang konser banyak terfokus di Jabodetabek. Kamis lalu, ada yang mengadukan terkait konser dan dia mewakili 900 konsumen,” ungkap Rio kepada Hypeabis.id.
Penonton sedang menyaksikan konser musik (Sumber gambar/ilustrasi: Pexels/ Wendy Wei)
Meski tampak sepele, Rio menyebut perubahan venue musik sebenarnya juga dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Hal ini karena akses transportasi menjadi berubah, selain itu pola tempat duduk juga berpotensi tidak sama.
Terkait aduan ini, Rio menuturkan para konsumen biasanya banyak mengeluh karena tempat duduk di kelas tiket yang dibelinya menjadi tidak sesuai harapan, karena lebih jauh dari saat masih di venue lama.
Kedua adalah pembatalan konser. Menurut Rio, aduan terkait konser yang batal jumlahnya cukup banyak. Hal ini tentu saja merugikan konsumen, terlebih jika pembatalannya dilakukan hanya beberapa jam atau hari jelang konser berlangsung.
Ketiga adalah mekanisme refund. YLKI mencatat ada beberapa permasalahan refund tiket konser batal yang belum memiliki mekanisme jelas. Hal ini membuat proses pembayarannya menjadi berjalan lama.
Selain itu, hitung-hitungan pengembalian dana juga terkadang jadi masalah lain yang pelik. Menurut Rio, jika konser benar-benar batal, seharusnya uang yang dikembalikan ke konsumen itu adalah 100 persen alias sesuai dengan harga tiket yang dibeli.
Dalam hukum, ada istilah wanprestasi, yakni keadaan ketika salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi kewajiban atau prestasinya. Pembatalan acara termasuk wanprestasi dan biasanya untuk menanggulanginya perlu ada ganti rugi.
“Jadi, semestinya konsumen itu mendapatkan 100 persen ganti rugi dan masih mendapatkan kompensasi atau ganti rugi. Itu dua hal berbeda. Akan tetapi, kenyataannya, banyak yang justru tidak mendapat ganti rugi 100 persen karena dipotong,” imbuhnya.
Selain itu, biasanya dalam pengembalian tiket dalam bentuk lain, seperti voucher. Menurut Rio, hal tersebut sebenarnya berpotensi melanggar hak konsumen.
YLKI pun mendorong pemerintah untuk lebih serius dan membentuk instrumen hukum terkait aturan penyelenggaraan konser. Dalam aturan itu, menurutnya, perlu ada penanggung jawab tunggal yang lebih tinggi, apakah itu masuk ke ranah Kementerian Pariwisata atau Kementerian Ekonomi Kreatif atau Kepolisian.
Kemudian, pihaknya juga mendorong pengawasan di lapangan lebih diperketat. Tidak hanya soal mekanismenya saja, tetapi juga pelaku usaha. Sebab, ada beberapa penyelenggara konser yang EO-nya berasal dari luar negeri. Hal ini tentu akan menyulitkan jika terjadi pengaduan keluhan dan penyelesaiannya.
“Pengawasannya perlu menyeluruh, dari sebelum, pelaksanaan, sampai paska. Hal-hal dasar kayak penjualan tiket, batas ambang atas harga, sampai emergency call, itu juga hal-hal penting untuk diperjelas,” harapnya.
Baca juga: Ketua APMI Dino Hamid Soroti Dukungan Pemerintah Terkait Insiden Konser Musik Batal
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.