Refleksi Bibiana Lee tentang Akulturasi Budaya dalam Seteleng Are You a Peranakan?
19 November 2024 |
17:32 WIB
Belasan lukisan dengan citra kembang dan batik, terpampang penuh artistik di dinding ruang pameran Art:1 New Museum, Jakarta. Visual makhluk-makhluk mitologi Tionghoa, seperti qilin dan burung phoenix juga tergambar sehingga merepresentasikan dua kultur berbeda yang saling mengisi.
Senarai lukisan di muka hanyalah secuplik gambaran dari pameran tunggal Bibiana Lee, bertajuk Are You a Peranakan? Seteleng yang mencoba mengungkai dan menafsirkan ulang tradisi batik, terutama Tiga Negeri khas Lasem, yang berlangsung pada 9 November sampai 9 Desember 2024.
Dalam ilmu humaniora, peranakan merupakan proses bertemunya dua atau lebih kebudayaan dalam ruang kultural tanpa meninggalkan karakter budaya asli atau setempat. Tema tersebut dipilih dalam konteks mempertanyakan identitas peranakan dan memaknai nilai-nilai budaya lokal dalam konteks kekinian.
Baca juga: Pameran Primate Visions: Macaque Macabre & Dunia Fiksi Natasha Tontey
Ya, berbeda dari ekshibisi sebelumnya, Bibiana tampak ingin menghadirkan kebaruan, baik dari segi visual, ide, material, hingga penggunaan media yang lebih simbolik. Tahun lalu, seniman paruh baya itu lebih banyak menggunakan kata-kata dan simbol warna kulit, untuk mengkritik rasisme lewat bahasa rupa.
Kiwari, sang perupa mengaku memiliki ketertarikan dalam memilih motif Batik Tiga Negeri sebagai sumber inspirasi. Menurutnya, batik Tiga Negeri merupakan warisan budaya Bangsa Indonesia, karena selain memiliki kualitas estetis, motif kain ini juga sarat akan nilai-nilai simbolis dan filosofis.
Misalnya terefleksi dalam lukisan Soaring High (mix media on canvas, 100x100 cm, 2024) yang mengimak motif gunung ringgit, kawung, dan burung phoenix. Gunung ringgit adalah simbol kelapangan rezeki, sedangkan burung phoenix, merupakan hewan mitologi asal China yang melambangkan kemakmuran dalam tradisi peranakan Tionghoa.
"Kultur yang berbaur itu sama dengan kultur peranakan, yakni kultur yang terdiri lapis-lapis. Zaman dulu orang selalu mencari tempat yang lebih baik bagi kehidupan mereka. Burung phoenix ini melambangkan harapan baru, makanya saya menggunakan simbol tersebut sebagai inspirasi," kata perupa Bibiana Lee.
Lain dari itu, sang seniman juga mengaplikasikan motif batik parang, gringsing, kawung, bunga seruni, isen batu pecah, beras tumpah, dan qilin. Senarai motif tersebut kemudian juga dituang oleh sang seniman dalam sejumlah lukisan yang sarat makna dan inovasi yang menggugah.
Salah satunya terefleksi dalam karya berjudul The Heritage (mix media on canvas, 100x100 cm, 2024) yang menggambarkan motif bunga serunai. Uniknya, karya ini juga memiliki AR, yang secara interaktif dapat dijadikan sebagai refleksi untuk meregenerasi tradisi membatik atau setidaknya memakai batik.
Saat dipindai, bunga-bunga di dalam lukisan tersebut akan bermunculan di telapak tangan. Secara simbolik, citraan ini seolah menjadi momen estafet dari generasi tua ke yang muda untuk terus mengaktualisasikan tradisi membatik, yang kini mulai luntur, dan bahkan hampir tidak diminati generasi muda.
Ada pula Karya For a Better Future, dengan visualisasi Burung Hong di atas dasar motif isen- isen batu pecah dan beras tumpah. Motif tersebut menceritakan tentang para pendatang beretnis Tionghoa yang bekerja keras, bersama suku lain untuk memecahkan batu-batu besar menjadi kricak pada zaman kolonial.
Menurut sang seniman, masyarakat kala itu memang harus bekerja keras demi mencari sesuap nasi. sehingga disimbolkan oleh motif beras tumpah. Sedangkan, burung hong yang terbang di atas motif-motif tersebut hadir sebagai lambang harapan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik pada masa sekarang.
Kurator Citra Smara Dewi mengatakan, Batik Tiga Negeri merupakan simbol hibriditas dari beberapa budaya yaitu Tionghoa, Belanda, dan Jawa dan mewakili spirit kebhinekaan melalui persilangan budaya. Namun, alih-alih hanya membuat karya berlandaskan batik, sang seniman juga mengelaborasinya dengan spirit zaman.
Total, Bibiana menampilkan 14 karya yang terdiri dari 1 karya video, dan karya-karya dua dimensi interaktif berbasis digital art AR, dan 8 karya mixed media. Karya-karya dua dimensi, mayoritas menggunakan kanvas ukuran 1x1 meter, dengan menekankan teknik seni grafis, print digital, coletan, dan layer-layer tekstil pada kain organdi.
Baca juga: Ragam Wastra dan Budaya Batak di Pameran The Flying Cloth Merdi Sihombing
Sebagai seniman Visioner, Bibiana Lee, menurutnya memang memiliki kesadaran penuh fenomena tersebut, sehingga lahir karya-karya baru didukung kecanggihan teknologi. Kebaruan karya Bibiana pada pameran ini adalah penekanan pada aspek visual dan teknologi Augmented Reality (AR).
"AR merupakan teknologi yang terintegrasi antara dunia digital dan dunia nyata. Dalam pameran ini teknologi yang digunakan perupa juga dapat memberikan pengalaman estetis secara atraktif, imersif, imajinatif, sekaligus edukatif," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Senarai lukisan di muka hanyalah secuplik gambaran dari pameran tunggal Bibiana Lee, bertajuk Are You a Peranakan? Seteleng yang mencoba mengungkai dan menafsirkan ulang tradisi batik, terutama Tiga Negeri khas Lasem, yang berlangsung pada 9 November sampai 9 Desember 2024.
Dalam ilmu humaniora, peranakan merupakan proses bertemunya dua atau lebih kebudayaan dalam ruang kultural tanpa meninggalkan karakter budaya asli atau setempat. Tema tersebut dipilih dalam konteks mempertanyakan identitas peranakan dan memaknai nilai-nilai budaya lokal dalam konteks kekinian.
Baca juga: Pameran Primate Visions: Macaque Macabre & Dunia Fiksi Natasha Tontey
Ya, berbeda dari ekshibisi sebelumnya, Bibiana tampak ingin menghadirkan kebaruan, baik dari segi visual, ide, material, hingga penggunaan media yang lebih simbolik. Tahun lalu, seniman paruh baya itu lebih banyak menggunakan kata-kata dan simbol warna kulit, untuk mengkritik rasisme lewat bahasa rupa.
Kiwari, sang perupa mengaku memiliki ketertarikan dalam memilih motif Batik Tiga Negeri sebagai sumber inspirasi. Menurutnya, batik Tiga Negeri merupakan warisan budaya Bangsa Indonesia, karena selain memiliki kualitas estetis, motif kain ini juga sarat akan nilai-nilai simbolis dan filosofis.
Misalnya terefleksi dalam lukisan Soaring High (mix media on canvas, 100x100 cm, 2024) yang mengimak motif gunung ringgit, kawung, dan burung phoenix. Gunung ringgit adalah simbol kelapangan rezeki, sedangkan burung phoenix, merupakan hewan mitologi asal China yang melambangkan kemakmuran dalam tradisi peranakan Tionghoa.
"Kultur yang berbaur itu sama dengan kultur peranakan, yakni kultur yang terdiri lapis-lapis. Zaman dulu orang selalu mencari tempat yang lebih baik bagi kehidupan mereka. Burung phoenix ini melambangkan harapan baru, makanya saya menggunakan simbol tersebut sebagai inspirasi," kata perupa Bibiana Lee.
Seorang pengunjung berdiri di depan karya Bibiana Lee dalam seteleng Are You a Peranakan? pada Selasa (12/11/2024) (sumber gambar: Hypeabs.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Lain dari itu, sang seniman juga mengaplikasikan motif batik parang, gringsing, kawung, bunga seruni, isen batu pecah, beras tumpah, dan qilin. Senarai motif tersebut kemudian juga dituang oleh sang seniman dalam sejumlah lukisan yang sarat makna dan inovasi yang menggugah.
Salah satunya terefleksi dalam karya berjudul The Heritage (mix media on canvas, 100x100 cm, 2024) yang menggambarkan motif bunga serunai. Uniknya, karya ini juga memiliki AR, yang secara interaktif dapat dijadikan sebagai refleksi untuk meregenerasi tradisi membatik atau setidaknya memakai batik.
Saat dipindai, bunga-bunga di dalam lukisan tersebut akan bermunculan di telapak tangan. Secara simbolik, citraan ini seolah menjadi momen estafet dari generasi tua ke yang muda untuk terus mengaktualisasikan tradisi membatik, yang kini mulai luntur, dan bahkan hampir tidak diminati generasi muda.
Ada pula Karya For a Better Future, dengan visualisasi Burung Hong di atas dasar motif isen- isen batu pecah dan beras tumpah. Motif tersebut menceritakan tentang para pendatang beretnis Tionghoa yang bekerja keras, bersama suku lain untuk memecahkan batu-batu besar menjadi kricak pada zaman kolonial.
Menurut sang seniman, masyarakat kala itu memang harus bekerja keras demi mencari sesuap nasi. sehingga disimbolkan oleh motif beras tumpah. Sedangkan, burung hong yang terbang di atas motif-motif tersebut hadir sebagai lambang harapan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik pada masa sekarang.
Kurator Citra Smara Dewi mengatakan, Batik Tiga Negeri merupakan simbol hibriditas dari beberapa budaya yaitu Tionghoa, Belanda, dan Jawa dan mewakili spirit kebhinekaan melalui persilangan budaya. Namun, alih-alih hanya membuat karya berlandaskan batik, sang seniman juga mengelaborasinya dengan spirit zaman.
Sejumlah karya karya Bibiana Lee dalam seteleng Are You a Peranakan? pada Selasa (12/11/2024) (sumber gambar: Hypeabs.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Baca juga: Ragam Wastra dan Budaya Batak di Pameran The Flying Cloth Merdi Sihombing
Sebagai seniman Visioner, Bibiana Lee, menurutnya memang memiliki kesadaran penuh fenomena tersebut, sehingga lahir karya-karya baru didukung kecanggihan teknologi. Kebaruan karya Bibiana pada pameran ini adalah penekanan pada aspek visual dan teknologi Augmented Reality (AR).
"AR merupakan teknologi yang terintegrasi antara dunia digital dan dunia nyata. Dalam pameran ini teknologi yang digunakan perupa juga dapat memberikan pengalaman estetis secara atraktif, imersif, imajinatif, sekaligus edukatif," katanya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.