Cerita Menarik di Balik Nama-nama Penghargaan Khusus di Festival Film Indonesia 2024
19 November 2024 |
16:19 WIB
1
Like
Like
Like
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Komite Festival Film Indonesia selalu memberikan nama penghargaan khusus untuk kategori Pilihan Penonton dan Kritik Film. Dua kategori yang terbilang baru muncul lagi dalam empat edisi terakhir ini memang cukup spesial.
Kendati terbilang baru, dua kategori ini punya nilai penting dalam kontribusinya membaca barometer perkembangan perfilman Indonesia. Sebab, dua kategori tersebut datang dari penilaian yang dilakukan oleh penonton Indonesia untuk film Indonesia.
Baca juga: Cerita Ketua Komite Ario Bayu Soal Konsep Festival Film Indonesia 2024
Kategori Pilihan Penonton misalnya, punya fungsi penting untuk menjadi ruang partisipasi masyarakat, khususnya pencinta film. Pilihan mereka ikut berkontribusi dalam menunjuk film atau pelaku film favorit mereka.
Sementara itu, kategori Kritik Film berperan penting menjembatani film dan penontonnya. Kategori ini juga berkontribusi memberi masukan dan evaluasi bagi pembuat film yang karyanya dikritik.
Saking spesialnya, kategori-kategori tersebut memiliki nama khusus untuk para pemenangnya. Mengutip laman resmi FFI, kategori Pilihan Penonton dan Kritik Film setiap tahunnya selalu memiliki nama penghargaan yang berbeda-beda. Nama penghargaan tersebut umumnya diambil dari tokoh perfilman Indonesia.
“Nama-nama tersebut dipilih sebagai bentuk apresiasi dan upaya memperkenalkan mereka yang berjasa di industri perfilman Indonesia,” tulis laman resmi FFI.
Tahun ini, untuk kategori Film Pilihan Penonton, Komite FFI 2024-2026 memilih nama Nya’ Abbas Akub sebagai nama penghargaannya. Nya’ Abbas Akub adalah salah satu tokoh perfilman penting yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Lahir pada 1931, Abbas memulai karier di dunia film pada 1952 setelah lulus ujian masuk sebagai asisten sutradara yang digelar oleh PERFINI pimpinan Usmar Ismail. Kala itu, dia langsung ditugasi untuk mendampingi D. Djajakusuma untuk memproduksi film Harimau Tjampa (1953).
Dia kemudian memulai debutnya sebagai sutradara pada 1954 lewat film Heboh. Film pertamanya yang juga ditulis sendiri tersebut cukup sukses. Tak lama kemudian, Abbas juga merilis film Tiga Buronan (1957).
Sepanjang kariernya, dia telah menyutradarai 34 film dengan mayoritas produksinya bergenre komedi. Dua di antaranya menjadi film terlaris pada masanya, yakni Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) dan Pelayan Sexy (1976).
Nama Abbas telah melalang buana ke ekosistem perfilman global. Skenario film Cintaku di Rumah Susun (1987) berhasil mengantarkannya meraih piala Skenario Terbaik di Festival Film Asia Pasifik 1988.
Dia juga pernah mendapat hadiah Usmar Ismail dari Dewan Film Nasional pada 1989, serta lima nominasi untuk kategori sutradara terbaik, cerita terbaik, dan skenario terbaik di FFI.
Karya terakhirnya, Boneka dari Indiana (1990) berhasil dianugerahi Piala Khusus Bing Slamet sebagai film komedi terbaik pada FFI 1991. Tak mengherankan bila kemudian namanya mendapat julukan bapak Film Komedi Indonesia.
Kemudian, untuk kategori Aktor Pilihan Penonton, Komite FFI 2024-2026 memilih nama Rachmat Hidajat sebagai nama penghargaannya. Rachmat adalah aktor legendaris yang sebenarnya tidak berniat menjadi pemain film.
Namun, kala itu, dia terus diajak oleh aktor Masito Sitorus untuk ikut bermain peran. Dia kemudian melakukan debut akting di film Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961) yang disutradarai oleh Usmar Ismail.
Di film keduanya, dia bermain dengan Masito di Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962, yang juga disutradara Usmar Ismail. Sepanjang kariernya, lebih dari 90 film telah dibintanginya. Perannya pun kompleks, dari drama romantis, drama religi, sampai drama keluarga.
Dalam kariernya, Abbas pernah mendapatkan delapan nominasi FFI, seperti pemeran pendukung pria terbaik hingga pemeran utama pria terbaik. Tiga di antara sukses dimenangkannya, yakni di film Apa Salahku (1976), Pacar Ketinggalan Kereta (1988), dan Boss Carmad (1990).
Selanjutnya, pada kategori Kritik Film, Komite FFI 2024-2026 kembali memakai nama Tanete Pong Masak sebagai nama penghargaannya. Ini adalah kali keempat sang sineas dipilih sebagai nama penghargaan.
Tanete Pong Masak dipilih karena beliau adalah satu dari sedikit cendekiawan film yang bergelar doktor di Indonesia. Karier akademisnya bermula dari studi sastra di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin. Dia kemudian melanjutkan studinya tentang linguistik terapan dan budaya Prancis di Université de Franche-Comté, Besançon, Prancis, dari 1976 hingga 1980.
Peraih beasiswa Pemerintah Prancis mengambil program doktoral tentang sejarah sosial dan sinema di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Paris, dari 1980 sampai 1989.
Baca juga: Festival Film Indonesia 2024 Hadirkan Kembali Piala Antemas, Ini Alasannya
Disertasinya yang berjudul Le Cinéma Indonésien (1926–1967): Études d'Histoire Sociale telah dibukukan menjadi Sinema Pada Masa Soekarno oleh FFTV IKJ Press.
Buku ini dianggap sangat penting bagi perfilman Indonesia karena menjadi satu dari sedikit literatur yang membahas aktivitas dan politik perfilman sebelum Orde Baru. Kerja-kerja cendekiawan ini telah mengngisi satu lubang besar dalam penulisan sejarah perfilman nasional.
Editor: Fajar Sidik
Kendati terbilang baru, dua kategori ini punya nilai penting dalam kontribusinya membaca barometer perkembangan perfilman Indonesia. Sebab, dua kategori tersebut datang dari penilaian yang dilakukan oleh penonton Indonesia untuk film Indonesia.
Baca juga: Cerita Ketua Komite Ario Bayu Soal Konsep Festival Film Indonesia 2024
Kategori Pilihan Penonton misalnya, punya fungsi penting untuk menjadi ruang partisipasi masyarakat, khususnya pencinta film. Pilihan mereka ikut berkontribusi dalam menunjuk film atau pelaku film favorit mereka.
Sementara itu, kategori Kritik Film berperan penting menjembatani film dan penontonnya. Kategori ini juga berkontribusi memberi masukan dan evaluasi bagi pembuat film yang karyanya dikritik.
Saking spesialnya, kategori-kategori tersebut memiliki nama khusus untuk para pemenangnya. Mengutip laman resmi FFI, kategori Pilihan Penonton dan Kritik Film setiap tahunnya selalu memiliki nama penghargaan yang berbeda-beda. Nama penghargaan tersebut umumnya diambil dari tokoh perfilman Indonesia.
“Nama-nama tersebut dipilih sebagai bentuk apresiasi dan upaya memperkenalkan mereka yang berjasa di industri perfilman Indonesia,” tulis laman resmi FFI.
Kategori Film Pilihan Penonton
Tahun ini, untuk kategori Film Pilihan Penonton, Komite FFI 2024-2026 memilih nama Nya’ Abbas Akub sebagai nama penghargaannya. Nya’ Abbas Akub adalah salah satu tokoh perfilman penting yang pernah dimiliki oleh Indonesia.Lahir pada 1931, Abbas memulai karier di dunia film pada 1952 setelah lulus ujian masuk sebagai asisten sutradara yang digelar oleh PERFINI pimpinan Usmar Ismail. Kala itu, dia langsung ditugasi untuk mendampingi D. Djajakusuma untuk memproduksi film Harimau Tjampa (1953).
Dia kemudian memulai debutnya sebagai sutradara pada 1954 lewat film Heboh. Film pertamanya yang juga ditulis sendiri tersebut cukup sukses. Tak lama kemudian, Abbas juga merilis film Tiga Buronan (1957).
Sepanjang kariernya, dia telah menyutradarai 34 film dengan mayoritas produksinya bergenre komedi. Dua di antaranya menjadi film terlaris pada masanya, yakni Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) dan Pelayan Sexy (1976).
Nama Abbas telah melalang buana ke ekosistem perfilman global. Skenario film Cintaku di Rumah Susun (1987) berhasil mengantarkannya meraih piala Skenario Terbaik di Festival Film Asia Pasifik 1988.
Dia juga pernah mendapat hadiah Usmar Ismail dari Dewan Film Nasional pada 1989, serta lima nominasi untuk kategori sutradara terbaik, cerita terbaik, dan skenario terbaik di FFI.
Karya terakhirnya, Boneka dari Indiana (1990) berhasil dianugerahi Piala Khusus Bing Slamet sebagai film komedi terbaik pada FFI 1991. Tak mengherankan bila kemudian namanya mendapat julukan bapak Film Komedi Indonesia.
Kategori Aktor Pilihan Penonton
Kemudian, untuk kategori Aktor Pilihan Penonton, Komite FFI 2024-2026 memilih nama Rachmat Hidajat sebagai nama penghargaannya. Rachmat adalah aktor legendaris yang sebenarnya tidak berniat menjadi pemain film.Namun, kala itu, dia terus diajak oleh aktor Masito Sitorus untuk ikut bermain peran. Dia kemudian melakukan debut akting di film Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961) yang disutradarai oleh Usmar Ismail.
Di film keduanya, dia bermain dengan Masito di Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962, yang juga disutradara Usmar Ismail. Sepanjang kariernya, lebih dari 90 film telah dibintanginya. Perannya pun kompleks, dari drama romantis, drama religi, sampai drama keluarga.
Dalam kariernya, Abbas pernah mendapatkan delapan nominasi FFI, seperti pemeran pendukung pria terbaik hingga pemeran utama pria terbaik. Tiga di antara sukses dimenangkannya, yakni di film Apa Salahku (1976), Pacar Ketinggalan Kereta (1988), dan Boss Carmad (1990).
Kategori Kritik Film
Selanjutnya, pada kategori Kritik Film, Komite FFI 2024-2026 kembali memakai nama Tanete Pong Masak sebagai nama penghargaannya. Ini adalah kali keempat sang sineas dipilih sebagai nama penghargaan.Tanete Pong Masak dipilih karena beliau adalah satu dari sedikit cendekiawan film yang bergelar doktor di Indonesia. Karier akademisnya bermula dari studi sastra di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin. Dia kemudian melanjutkan studinya tentang linguistik terapan dan budaya Prancis di Université de Franche-Comté, Besançon, Prancis, dari 1976 hingga 1980.
Peraih beasiswa Pemerintah Prancis mengambil program doktoral tentang sejarah sosial dan sinema di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), Paris, dari 1980 sampai 1989.
Baca juga: Festival Film Indonesia 2024 Hadirkan Kembali Piala Antemas, Ini Alasannya
Disertasinya yang berjudul Le Cinéma Indonésien (1926–1967): Études d'Histoire Sociale telah dibukukan menjadi Sinema Pada Masa Soekarno oleh FFTV IKJ Press.
Buku ini dianggap sangat penting bagi perfilman Indonesia karena menjadi satu dari sedikit literatur yang membahas aktivitas dan politik perfilman sebelum Orde Baru. Kerja-kerja cendekiawan ini telah mengngisi satu lubang besar dalam penulisan sejarah perfilman nasional.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.