Sejarah Penyebab Banjir Rob di Jakarta Sejak Era Hindia Belanda
19 November 2024 |
16:30 WIB
Banjir rob kembali menyapa warga DKI Jakarta pada pertengahan November 2024. Sejumlah titik di wilayah Jakarta Utara tercatat terendam oleh banjir sejak Senin (18/11/2024). Masalah akut yang terjadi tahunan ini masih saja terus berulang dan tak teratasi.
Banjir memang seolah sudah jadi bencana langganan bagi warga DKI Jakarta. Masalah ini sudah muncul bukan belakangan ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, kala kota ini masih bernama Batavia.
Menurut laman Pantau Banjir Jakarta, kota ini langganan banjir karena beberapa hal. Secara geografis, DKI Jakarta adalah dataran rendah yang berada di antara hulu sungai dan pesisir. Hal ini membuat wilayahnya kerap terdampak banjir.
Baca juga: Catat! Begini 7 Cara Efektif Bikin Rumah Anti Banjir
Banjir akibat rob jadi salah satu penyebab yang cukup sering lainnya. Berada di pesisir membuat wilayah Jakarta, terutama di bagian utara menjadi lebih rawan terkena pasang air laut.
Hal tersebut makin diperparah karena di sejumlah wilayah pesisir Jakarta, terjadi penurunan muka tanah yang signifikan. Pada akhirnya, dua kombinasi tersebut membuat pesisir kota tersebut lebih rawan banjir.
Selain dari banjir rob, banjir hujan lokal dan banjir kiriman juga jadi dua penyebab lain yang cukup sering terjadi. Masalah-masalah seperti drainase yang tidak memadai ditambah kota ini yang punya 13 aliran sungai membuat banjir seolah sudah jadi sahabat kota ini.
Sejarah mencatat, banjir pada Januari-Februari 1918 menjadi salah satu yang terparah. Kala itu, hujan lebat mengguyur Batavia. Banjir pun seketika datang dan merendam seluruh sudut kota.
Saat itu, permukiman elite Hindia Belanda yang disebut Wetevreden, atau sekarang menjadi Kampung tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang, juga ikut terdampak banjir. Selain itu, wilayah yang sekarang menjadi Pasar Baru, Tanah Lapang Singa, hingga Schoolweg juga ikut terendam.
Beberapa kawasan lain yang lebih dekat dengan Kali Ciliwung, seperti penduduk di Kampung Pejambon, bahkan harus mengungsi karena hunian mereka terendam banjir setinggi 1 meter.
Aktivitas di Jakarta sempat benar-benar terhenti. Sebab, selain banjir, trem listrik yang biasanya melintas berhenti, transportasi umum tidak jalan, dan membuat harga bahan pokok naik tajam.
Akibat banjir yang parah, Burgelijke Openbare Werken atau instansi pekerjaan umum kala itu, langsung bergegas mencoba memperbaiki tata kota. Dinas tersebut diketahui sampai mengajukan 500 ribu gulden kepada gubernur jenderal.
Hindia Belanda menangani banjir di Jakarta dengan membuat kanal. Fase pertama adalah pembuatan Banjir Kanal Barat yang terbentang dari Manggarai hingga ke Karet, lalu berbelok ke utara sampai menuju Muara Angke.
Pembangunannya dimulai sejak 1912 dan selesai pada 1919 oleh seorang Insinyur Pengairan Belanda Herman van Breen. Konsep pembangunan banjir kanal itu sebenarnya cukup sederhana.
Hindia Belanda ingin mengendalikan air dari hulu sungai dan membatasi volumenya ketika masuk ke kota. Oleh karena itu, mereka membangun kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung air, lalu dialirkan ke laut.
Sayangnya, strategi ini tak bertahan lama. Jakarta yang tumbuh dengan cepat membuat populasinya meningkat drastis. Perluasan permukiman penduduk dan kemunculan bangunan tinggi lama kelamaan menggerus kawasan resapan air.
Pada 1979 banjir besar kembali terjadi. Jakarta Selatan yang biasanya aman dari banjir, kala itu terdampak. Pondok Pinang bahkan sampai tenggelam hingga 2,5 meter akibat banjir.
Sejak saat itu, banjir selalu jadi bencana rutin di kota ini. Beberapa di antaranya adalah banjir besar, seperti pada 1996, 2007, 2013, hingga yang teranyar adalah 2019-2020.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Banjir memang seolah sudah jadi bencana langganan bagi warga DKI Jakarta. Masalah ini sudah muncul bukan belakangan ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, kala kota ini masih bernama Batavia.
Menurut laman Pantau Banjir Jakarta, kota ini langganan banjir karena beberapa hal. Secara geografis, DKI Jakarta adalah dataran rendah yang berada di antara hulu sungai dan pesisir. Hal ini membuat wilayahnya kerap terdampak banjir.
Baca juga: Catat! Begini 7 Cara Efektif Bikin Rumah Anti Banjir
Banjir akibat rob jadi salah satu penyebab yang cukup sering lainnya. Berada di pesisir membuat wilayah Jakarta, terutama di bagian utara menjadi lebih rawan terkena pasang air laut.
Hal tersebut makin diperparah karena di sejumlah wilayah pesisir Jakarta, terjadi penurunan muka tanah yang signifikan. Pada akhirnya, dua kombinasi tersebut membuat pesisir kota tersebut lebih rawan banjir.
Selain dari banjir rob, banjir hujan lokal dan banjir kiriman juga jadi dua penyebab lain yang cukup sering terjadi. Masalah-masalah seperti drainase yang tidak memadai ditambah kota ini yang punya 13 aliran sungai membuat banjir seolah sudah jadi sahabat kota ini.
Banjir rob di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (23/6/2023). (Sumber foto: JIBI/Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)
Sejarah banjir telah tercatat sejak lama. Menurut laman DPRD DKI Jakarta, kota bernama Batavia ini telah sering mengalami banjir, terutama ketika musim hujan tiba.
Saat itu, permukiman elite Hindia Belanda yang disebut Wetevreden, atau sekarang menjadi Kampung tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang, juga ikut terdampak banjir. Selain itu, wilayah yang sekarang menjadi Pasar Baru, Tanah Lapang Singa, hingga Schoolweg juga ikut terendam.
Beberapa kawasan lain yang lebih dekat dengan Kali Ciliwung, seperti penduduk di Kampung Pejambon, bahkan harus mengungsi karena hunian mereka terendam banjir setinggi 1 meter.
Aktivitas di Jakarta sempat benar-benar terhenti. Sebab, selain banjir, trem listrik yang biasanya melintas berhenti, transportasi umum tidak jalan, dan membuat harga bahan pokok naik tajam.
Akibat banjir yang parah, Burgelijke Openbare Werken atau instansi pekerjaan umum kala itu, langsung bergegas mencoba memperbaiki tata kota. Dinas tersebut diketahui sampai mengajukan 500 ribu gulden kepada gubernur jenderal.
Hindia Belanda menangani banjir di Jakarta dengan membuat kanal. Fase pertama adalah pembuatan Banjir Kanal Barat yang terbentang dari Manggarai hingga ke Karet, lalu berbelok ke utara sampai menuju Muara Angke.
Pembangunannya dimulai sejak 1912 dan selesai pada 1919 oleh seorang Insinyur Pengairan Belanda Herman van Breen. Konsep pembangunan banjir kanal itu sebenarnya cukup sederhana.
Hindia Belanda ingin mengendalikan air dari hulu sungai dan membatasi volumenya ketika masuk ke kota. Oleh karena itu, mereka membangun kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung air, lalu dialirkan ke laut.
Sayangnya, strategi ini tak bertahan lama. Jakarta yang tumbuh dengan cepat membuat populasinya meningkat drastis. Perluasan permukiman penduduk dan kemunculan bangunan tinggi lama kelamaan menggerus kawasan resapan air.
Pada 1979 banjir besar kembali terjadi. Jakarta Selatan yang biasanya aman dari banjir, kala itu terdampak. Pondok Pinang bahkan sampai tenggelam hingga 2,5 meter akibat banjir.
Sejak saat itu, banjir selalu jadi bencana rutin di kota ini. Beberapa di antaranya adalah banjir besar, seperti pada 1996, 2007, 2013, hingga yang teranyar adalah 2019-2020.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.